Bagikan:

JAKARTA - Sebuah surat pernyataan tiga anak menyerahkan ibu kandung mereka ke panti jompo viral. Kabar ini jadi perdebatan norma. Banyak yang mengangkat perspektif Barat, di mana hal ini cenderung lebih normal. Argumen yang meski dominan, sayangnya gagal menemui logika.

Surat itu mencantumkan nama ibu Trimah, perempuan 65 tahun yang tinggal di Magelang, Jawa Tengah. Ketiga anak Trimah mengajukan surat pernyataan yang mereka tandatangani itu ke panti jompo Griya Lansia Husnul Khotimah, Malang, Jawa Timur.

"Bersepakat untuk menyerahkan perawatan orang tua kami kepada Griya Lansia Husnul Khatimah Malang, dikarenakan kesibukan kami masing-masing," tertulis dalam surat, dikutip VOI, Senin, 1 November.

"Apabila orang tua kami meninggal dunia, maka kami menyerahkan proses pemakaman orang tua kami kepada Griya Lansia Husnul Khatimah. Surat keterangan ini dibuat tanpa paksaan dari pihak manapun," sambungan dalam surat tersebut.

Surat itu diunggah akun Instagram @malangdonasi. Dalam unggahan tersebut dijelaskan kondisi ibu Trimah kini sudah tak bisa berjalan dan hanya bisa merangkak. Dijelaskan juga alasan akun tersebut mengunggah surat pernyataan tiga anak Ibu Trimah.

"Semoga kita bisa memetik pelajaran," tulis Griya Lansia Husnul Khatimah.

"Kami dari GRIYA LANSIA HUSNUL KHATIMAH MALANG, menyatakan SIAP merawat mbah Trimah sampai tutup usia," sambung mereka.

Ibu Trimah telah bicara ke media massa. Ia mengaku betah sebenarnya di Griya Lansia Husnul Khatimah meski tetap berharap bisa kembali dijemput anak-anaknya. Ibu Trimah juga menjelaskan ketiga anaknya telah berkeluarga. Dua menetap di Jakarta. Satu lagi di Pekalongan, Jawa Tengah.

Sebuah video viral lain beredar, menyusul ramainya surat pernyataan tiga anak ibu Trimah. Video itu menampilkan rekaman audio, dengan suara wanita yang mengaku salah satu anak ibu Trimah. Wanita itu menolak disebut membuang ibu Trimah.

Menurutnya upaya merawat ibu Trimah telah dilakukan oleh saudara-saudaranya yang lain sejak ibu Trimah terkena serangan stroke pertama. Namun perempuan dalam audio itu menyebut ibu Trimah kerap membuat ulah, memancing keributan dengan menantu dan cucu-cucunya sendiri.

"Dari awal stroke pertama dia sudah diurusin sama anaknya yang paling kecil. Tapi dia itu selalu bikin ulah, tiap hari berantem sama mantu dan cucunya. Sampai adik saya bingung harus bagaimana ... Akhirnya adik saya yang laki-laki tidak kuat," tutur wanita dalam audio.

Wanita itu juga mengatakan alasan mereka menitipkan ibu Trimah adalah agar ibu Trimah dapat dibimbing oleh Griya Lansia Husnul Khatimah. "Katanya di sana seperti pondokan. Akan dibimbing. 'Akan kami ajarin ibadah.' ... Terus terpaksa saya antarkan ke sana."

Kami mencoba memverikasi validitas audio itu ke pengelola kanal Jelajah Story yang jadi pengunggah pertama audio bersuara wanita. Namun hingga tulisan ini tayang, belum ada jawaban.

Perdebatan norma

Ibu Trimah (Instagram/@malangdonasi)

Tentu kami tidak pada kapasitas menghakimi keputusan tiga anak ibu Trimah. Yang jelas perdebatan norma ini menarik. Sejumlah narasi diangkat. Sebagian besar menyatakan visi hari tua mereka. Ada yang menyiapkan diri hidup di panti jompo. Lainnya berdoa agar anak mereka tak seperti tiga anak ibu Trimah.

"Tega banget sumpah. Yang ada tinggalin dululah kesibukannya. Kalau bisa resign aja. Itu ibumu loh, anjir. Toh percaya aja deh pasti ada aja rezekinya dari sumber yang lain dan ga bakal kita duga. Ini menurut pengalaman pribadi aja sih," tulis akun @jaessthetics.

Akun lain, @urssmile menulis: Bodo amat dibilang close minded. Tp aku ga tega ninggalin ortu aku, walaupun di panti jompo. Semoga aku ada rezeki buat ngurus orang tua aku. Aku sibuk kerja pun aku yakin ga bakal seharian kerja. Pasti ada luang buat mereka. Hire nanny kek atau apa kek lah ga tega deh. Loudly crying face.

Narasi lain yang cukup dominan dalam perdebatan ini adalah narasi pembanding antara perspektif 'orang Indo' dan orang Barat. Misalnya narasi yang dilontarkan akun @auxiliaries_, yang menulis: Kaget bener orang-orang Indo kalau liat orang lain secara sadar milih buat nitipin orang tuanya di panti jompo. Social contruct yang berlebihan.

Sistem Barat dan Timur Tengah

Ilustrasi foto (Sumber: Claudia Van Zyi/Unsplash)
 

Kami setuju ini berkaitan erat dengan social construct atau konstruksi sosial. Tapi soal "berlebihan"? Rasanya kata itu tidak tepat.

 

Sebab dengan memahami ini sebagai buah dari konstruksi sosial kita seharusnya tahu pandangan negatif soal panti jompo atau beda budaya merawat orang tua antara kita dan Barat tak terbentuk tiba-tiba. Banyak faktor yang melatarbelakanginya. Alasan utama kenapa tak tepat membandingkan perspektif masyarakat kita dengan perspektif Barat.

 

Sosiolog Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, Tantan Hermansah menjelaskan dalam konteks masyarakat, ada tiga aspek yang memengaruhi hubungan kita dengan orang tua: keyakinan dan nilai, sosial, serta ekonomi. Ketiga aspek ini saling berkaitan.

 

Pandangan majemuk ini bisa diklasifikasi ke dalam dua sistem. Pertama yang mengacu pada sistem Barat --Amerika Serikat, Jepang, Korea, sebagian besar negara Eropa, dan sebagainya. Pandangan kedua mengacu pada sistem Timur Tengah, termasuk India, Pakistan, Bangladesh.

 

Pada sistem Barat, budaya merawat orang tua lansia tak begitu terikat dalam norma. Ini berakar dari pola asuh, di mana hubungan anak dan orang tua dibangun dalam koridor kemandirian. Orang tua melepas anak hidup mandiri di usia tertentu. Pola asuh berbasis kemandirian ini turut memengaruhi bagaimana hubungan anak dengan orang tua di usia lanjutnya.

 

Beda sistem Barat, beda pula sistem Timur Tengah. Masyarakat Iran, India hingga Pakistan memiliki budaya asuh yang melekat. Amat umum melihat anak-anak yang sudah berumah tangga tetap hidup bersama orang tua mereka, yang dalam budaya Arab dikenal dengan istilah 'combined family'.

Di Indonesia

Di Indonesia, dua pandangan di atas sama-sama hidup. Yang membedakan adalah kelas sosial. Masyarakat menengah ke atas, yang memiliki sumber daya ekonomi mulai menerapkan sistem Barat. Sebaliknya, penduduk miskin masih menganut sistem Timur Tengah, dengan kebanyakan dari mereka merawat orang tua sendiri. Mana yang dominan?

Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang digelar Indonesian Geriatrics Society (IGS) pada Maret 2019 menunjukkan 40,46 persen lansia tinggal bersama tiga generasi atau keluarga besar, dari nenek ke cucu. 27,3 persen lain tinggal bersama keluarga. Sisanya tinggal bersama pasangan dan lainnya.

Kecenderungan ini juga yang melandasi desain kebijakan-kebijakan pemberdayaan lansia di Indonesia. Kementerian Sosial (Kemensos) memiliki beberapa program kunci. Pertama Asisten Rehabilitasi Nasional (ATENSI). Kebijakan ini mengarah pada penguatan sistem rehabilitasi sosial yang terintegrasi dengan perlindungan lansia.

Suasana di Yayasan Griya Lansia Husnul Khatimah, Malang (Instagram/@malangdonasi)
Selain itu ada juga Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS) Lanjut Usia. Program ini bertujuan meningkatkan kesadaran masalah kelanjutusiaan di seluruh sektor. Lewat program ini diharapkan terjadinya peningkatan peran serta masyarakat dan swasta dalam pelayanan sosial lansia. 

 

Program-program di atas mengedepankan sifat-sifat yang berbasis keluarga. Beralasan jika melihat data Susenas di atas. Selain ATENSI dan LKS, Kemensos juga memiliki program Home Care, yang secara skema mirip dengan The National Family Caregiver Support Program (NFCSP), program pemberdayaan lansia yang jadi salah satu unggulan AS.

 

Keduanya sama-sama berbasis keluarga. Bedanya sistem suport negara dalam NFCSP berorientasi pada keluarga yang merawat lansia. Sementara program Kemensos berfokus pada si lansia, baik mereka yang hidup sendiri di rumah atau yang dirawat keluarga. Bantuan yang diberikan antara lain pelayanan kesehatan, bantuan gizi, hingga bimbingan sosial dan mental serta bantuan usaha ekonomi produktif.

Kesibukan kita

Kembali ke persoalan ibu Trimah. Sosiolog UIN Syarif Hidayatullah, Tantan Hermansah turut menyoroti kesibukan yang melatarbelakangi keputusan tiga anak ibu Trimah menitipkannya ke panti jompo.

 

Zaman modern telah mengubah kita, kata Tantan. Proses modernisasi berdampak pada hubungan antarmanusia. Kita, manusia modern mengisi kehidupan dengan bekerja. Hal yang merefleksikan fungsi kita sebagai mesin pencetak profit.

 

"Zaman dahulu orang bekerja tidak dari pagi sampai malam. Bahkan di desa-desa mereka menggarap kebun hanya dari pagi sampai siang. Sementara siangnya sampai sore itu diisi dengan beragam kegiatan sosial dan ke kemasyarakatan," kata Tantan.

"Di era modern hal ini sulit terjadi, di mana durasi bekerja sebagian orang itu jauh lebih lama, yang sangat memungkinkan akan kesulitan mengalokasikan waktu untuk kegiatan sosial jika harus dilakukan setiap hari."

Pencetus sosiologi modern, Emile Durkheim telah menggambarkan ini dalam banyak landasan teorinya. Bahwa sistem dan pola kerja manusia modern yang kaku dan ketat turut mendorong hubungan antarmanusia di dalamnya.

"Membuat pelakunya (pekerja) harus taat sedemikian rupa kepada institusi kerjanya. Maka kemudian alokasi waktu untuk mengurus yang lain akan menjadi sangat kurang. Terlebih lagi jika harus merawat orang tuanya. Sementara dia sendiri memiliki keluarga yang harus diurus."

"Jadi apa yang terjadi pada keluarga di atas itu hanya merupakan proses yang bisa saja terjadi seiring dengan perubahan sistem kehidupan. Mungkin masalahnya hanya pada aspek kesopanan saja, di mana ini tidak biasa dalam sistem budaya masyarakat Indonesia," tutur Tantan.

*Baca Informasi lain soal VIRAL atau baca tulisan menarik lain dari Yudhistira Mahabharata.

BERNAS Lainnya