Mengurai Akar Masalah Menjamurnya Tukang Parkir Liar
Ilustrasi juru parkir (Unsplash/am)

Bagikan:

JAKARTA - Fenomena menjamurnya tukang parkir ramai dibicarakan di media sosial Twitter. Pro kontra pun bermunculan. Mungkin pada dasarnya warga tak menolak keberadaan tukang parkir selama  diatur lebih jelas oleh pemerintah setempat dan tidak memakan "gaji buta."

Pemilik akun Twitter @RDNADN membagikan foto sebuah banner di salah satu minimarket bertuliskan: PARKIR GRATIS. Banner tersebut juga menyarankan kalau konsumen merasa dirugikan apabila ada yang meminta uang parkir, maka dipersilakan melapor polisi, lengkap dengan pasal-pasal yang dapat menjerat si tukang parkir. Sontak tulisan itu menjadi viral.

"Khusus konsumen, apabila ada pihak meminta uang parkir dan anda merasa dirugikan, silahkan laporkan pasal 368-371 KUHP ke Polsek terdekat," seperti tertulis pada foto banner yang diunggah @RDNADN.

Pro-kontra pun bermunculan. Banyak yang mendukung kebijakan minimarket itu untuk tak lagi membayar parkir. Sebab memang tak sedikit warga yang mengeluh kepada tukang parkir ilegal yang tak ada bekerja tapi ingin diberi uang.

Pemilik akun @SayaBukanJamil misalnya. Ia berkisah, pada suatu hari dirinya mengunjungi salah satu minimarket dekat rumahnya untuk mengambil uang di ATM. Tatkala ia meninggalkan tempat itu dan mencoba tak memberi uang kepada si tukang parkir karena tidak ada recehan, ia kena protes.

"Gimana ya, dia disitu juga ngeliatin motor enggak, bantu narik motor enggak, bantu nyebrangin enggak. Cuma sibuk maen hp, jadi motor yang parkir dicuekin dan dipaksa suruh bayar," keluhnya.

Hal yang sama juga dikeluhkan @putherrr. Ia mengatakan selalu memilih minimarket yang tak ada tukang parkirnya, supaya tidak menggerutu di dalam hati karena uang dua ribu rupiah saja. "Mau ikhlas juga susah, markirin enggak... tahu-tahu menghalangi jalan pulang hahaha."

Meski begitu, tak sedikit juga yang merasa tak masalah dengan kehadiran tukang parkir liar. Bahkan tak sedikit pula yang merasa terbantu atas keberadaan mereka.

Pemilik akun @babanana misalnya, ia mengaku tak masalah dengan adanya tukang parkir liar. "Asal dia keliatan kerjanya, bantu narikin motor, berhentiin kendaraan dari lawan arah kalau nyebrang."

Bumper sosial?

Yang menarik, ada salah satu orang berpendapat kalau tukang parkir ilegal merupakan bumper sosial. Pendapat itu datang dari @arfibambani. Artinya, menurut dia memberi mereka uang seribu dua ribu bakal "menangkal" dari tindakan kriminal yang membahayakan.

"Sekali lagi, tukang parkir ilegal adalah bemper ilegal. Seribu dua ribu Anda akan bikin mereka tak lakukan tindak kriminal lebih besar dan membahayakan," tulis pemilik akun @arfibambani.

Ia membandingkan dengan keadaan di New York, Amerika Serikat yang tingkat kriminalitasnya tinggi. Menurutnya negara maju seperti AS di mana tatanan sosialnya sudah mapan, pengangguran justru lebih sulit untuk hidup.

"Mereka sulit mengembangkan 'ekonomi kreatif' macam jadi jaga parkir. Pilihannya tinggal mengemis, minta duit ke orang."

Kesimpulannya, menurut dia tukang parkir ilegal, pengamen, PKL, adalah gejala sosial. "Kita tidak bisa mengenyahkan symptom tanpa selesaikan akar masalahnya: pekerjaan. Bisa jadi ada root problem lagi dari pekerjaan: pendidikan."

Lantas apakah benar demikian? Apakah menjamurnya tukang parkir liar patut dibiarkan?

Ilustrasi tukang parkir (Unsplash/Farel Yesha)

Akar masalah

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu tahu akar masalah mengapa saat ini tukang parkir liar terlihat semakin menjamur. Dan Sosiolog Universitas Gajah Mada (UGM) Suprapto punya jawabannya.

Menurut hasil penelitian Suprapto, menjamurnya parkir liar bukan karena sempitnya lapangan kerja. Namun karena orang lebih suka memilih-milih pekerjaan.

" Hasil penelitian saya itu melihat fenomena parkir liar bukan karena lapangan kerja sempit. Tapi karena orang lebih suka memilih-milih pekerjaan," kata Suprapto kepada VOI.

Suprapto mengatakan pernah menjumpai para tukang parkir liar, pengamen, dan pengemis di perempatan Pingit, Yogyakarta. Ia kemudian menawarkan pekerjaan lain dan meminta mereka meninggalkan pekerjaannya itu. Tapi mereka menolak.

"Tapi dia menjawab 'bapak kalau enggak niat ngasih enggak apa-apa kok pak.' Itu artinya, dia lebih memilih menengadahkan tangan tanpa bekerja. Daripada dia misalnya melakukan pekerjaan yang dianggap berat," jelas Suprapto.

Ilustrasi (Unsplash/Handi Sugihartia)

Sementara itu, penyebab lainnya yang tak bisa dipungkiri menurut Suprapto adalah rasa malas bagi para tukang parkir yang gaji buta. "Ada juga sebagian yang malas, mereka yang menghilang ketika kendaraan datang, tapi muncul ketika kendaraan mau pergi. Sehingga mau uangnya aja. Kendati banyak juga tukang parkir yang rajin, yang betul-betul merapihkan kendaraan, menyebrangkan, dan pekerjaan lainnya," kata Suprapto.

Oleh karena itu, Suprapto sendiri sebetulnya tidak ingin kalau tukang parkir liar menjamur. Mereka, kata Suprapto, harus diperhatikan dan diatur.

"Artinya ada tukang parkir liar kadang kala dia ketika kendaraan datang dia diam. Ketika kendaraan mau pergi dia muncul. Itukan memang sangat tidak adil," kata Suprapto.

Perlu diatur

Sosiolog Suprapto menjelaskan, para tukang parkir liar yang memakan gaji buta bisa menimbulkan ketidakadilan. "Karena keadilan adalah sesuatu yang diberikan sesuai darma bakti seseorang. Kalau orang itu tidak melakukan aktivitas apapun kemudian meminta imbalan, ini tidak dibenarkan."

Kata Suprapto, keberadaan tukang parkir ilegal perlu diatur. Mereka setidaknya harus didaftarkan oleh pemerintah daerah.

"Ketika orang memang mau menjadi tukang parkir, atau sekarang kita juga melihat ada orang yang menyebrangkan di pertigaan jalan dan di situ tidak ada polisi lalu lintas, saya kira tidak masalah. Asal orang-orang ini mendaftar ke pemda atau kalau tidak daftar pemda, atau kepolisian peka," jelas Suprapto.

Menurut Suprapto, warga tak akan masalah mengeluarkan uang dua-tiga ribu, asalkan para tukang parkir tersebut betul-betul kerja dan tidak liar. "Itu kita enggak masalah bayar tiga ribu, ketika dia betul-betul kerja, mencarikan tempat yang kosong, mengatur parkir. Intinya dua poin: tidak liar, dan mereka bekerja," pungkas Suprapto.

*Baca Informasi lain tentang MEGAPOLITAN atau baca tulisan menarik lain dari Ramdan Febrian Arifin.

BERNAS Lainnya