JAKARTA - Polisi 'seleb', Aipda Ambarita dimutasi setelah video viral yang menunjukkan ia dan timnya di Polres Jakarta Timur memeriksa handphone seorang pemuda tanpa alasan jelas. Yang menarik, dalam video viral itu si pemuda berupaya membela diri namun kalah argumen. Kami susun panduan bagi kita, masyarakat sipil ketika ada polisi paksa periksa handphone kita.
Polda Metro Jaya telah mengonfirmasi adanya kesalahan prosedur dalam pemeriksaan yang dilakukan Ambarita dan tim. Ambarita kini dikabarkan juga menjalani pemeriksan di Divisi Propam Polda Metro Jaya.
"Pak Ambarita itu ada dugaan kesalahan SOP ... Tetapi ada dugaan pelanggaran disiplin yang dilakukan karena ada ketentuan SOP untuk penggeledahan. Makanya kita lakukan pemeriksaan di Propam," ungkap Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus, Selasa, 19 Oktober.
Meski begitu Yusri menjelaskan alasan mutasi Ambarita ke Bagian Humas didasari pada kemampuan Ambarita di bidang multimedia. Ambarita dianggap memiliki pengaruh, terutama jika melihat basis pengikutnya yang besar di media sosial. Selain Ambarita, Yusri juga menjelaskan alasan serupa untuk mutasi Aiptu Jakaria, yang dikenal Bang Jack.
Mutasi Aiptu Ambarita dan Aiptu Jack tertuang dalam Surat Telegram bernomor ST/458/X/KEP./2021 per 18 Oktober 2021. "Punya kelebihan. Boleh buka sekarang YouTube-nya pak Ambarita, media sosial ... Kami butuh orang-orang seperti pak Jacklin untuk bisa membantu kami bermain, mengelola humas ini," terang Yusri.
Jika polisi memaksa periksa handphone kita tanpa alasan
Polisi tiba tiba ambil HP lalu periksa isi HP dgn alasan mau memeriksa barangkali ada rencana perbuatan pidana yg dilakukan melalui HP.
Boleh tapi harus didahului dugaan tindak pidana. Sejak kapan pak pol bebas geledah HP dan privasi orang atas dasar suka suka dia? pic.twitter.com/3CiVv8Vo3t
— Naon? (@xnact) October 16, 2021
Ada yang menarik dari kasus pemeriksaan handphone oleh Ambarita dan tim. Dalam video, pemuda yang diminta handphone-nya sempat membela diri, memertanyakan alasan polisi memeriksa handphone-nya. Ambarita dan tim mendesak, menguji pemahaman hukum sang pemuda, yang akhirnya menyerah dari adu argumen.
Seperti dikatakan Yusri di atas, yang dilakukan Ambarita dan tim adalah pelanggaran prosedur. Jadi penting bagi kita, masyarakat sipil membekali diri dengan wawasan hukum untuk menghadapi desakan-desakan polisi macam Ambarita dan tim. Ada sejumlah dasar hukum yang dapat kita jadikan argumen ketika menghadapi situasi semacam ini.
Pertama, gunakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Pasal 30 Ayat (1) UU ITE mengatur larangan: Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik milik Orang lain dengan cara apapun.
Sistem elektronik yang dimaksud dalam pasal ini termasuk handphone. Frasa tanpa hak juga memiliki makna bahwa tiada lain yang berhak selain kita sebagai pemilik privasi. Adapun pihak-pihak yang dikecualikan dalam situasi tertentu adalah orang yang kita izinkan dan pihak berwenang. Nah, pihak berwenang ini juga tidak sembarang.
Pihak berwenang yang dimaksud adalah penyidik. Ambarita dan tim bukan penyidik karena konteks penindakan yang dilakukan tidak dalam ranah penyidikan. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menjelaskan penyidikan adalah proses ketika seseorang telah jadi tersangka. Sementara, yang dilakukan Ambarita dan tim adalah patroli.
Mengacu situs Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Kepolisian Negara Indonesia (Lemdik Polri), dijelaskan panduan patroli oleh kepolisian termaktub dalam Bahan Ajar (Hanjar) Fungsi Teknis Sabhara (Patroli).
Materi itu mengatur cara bertindak khusus apabila polisi menemukan dugaan tindak pidana dalam patroli. Polisi hanya berhak memberhentikan dan melakukan penggeledahan tanpa memeriksa handphone.
Larangan periksa handphone ini diperkuat dengan Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Perkapolri) Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Aturan ini turut mencantumkan aturan teknis penggeledahan.
Pasal 32 Ayat (2) mengatur larangan bagi petugas dalam melakukan penggeledahan orang. Intinya penggeledahan tidak boleh berlebihan dan mengakibatkan terganggunya hak privasi orang yang digeledah. Konteks privasi di sini termasuk handphone.
Jika segala hal di atas tidak menghentikan kengototan polisi untuk memeriksa handphone kita, saatnya kembali ke UU ITE. Pasal 46 UU ITE mengatur sanksi pidana terhadap pelanggaran privasi sebagaimana diatur Pasal 30 Ayat (1), sebagaimana dijelaskan di awal. Pasal 46 berbunyi:
Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
*Baca Informasi lain soal POLISI atau baca tulisan menarik lain dari Yudhistira Mahabharata.