Bagikan:

JAKARTA - Belakangan ini aktivisme digital di media sosial Twitter berhasil mendorong beberapa kasus yang sempat terpendam karena luput dari perhatian publik. Hingga muncul istilah "delik viral". Istilah untuk menyebut respons aparat yang harus menunggu suatu kasus viral baru ditindak. Di satu sisi aktivisme digital meningkat, tapi di sisi lain krediiltas polisi seperti merosot. 

Belum lama ini, kisah netizen Twitter bernama akun @arlinath yang mengaku kehilangan adik laki-lakinya selama lebih dari lima tahun viral. Dirinya dan keluarga sudah mencoba melaporkan polisi dan mencari sang adik kemana-mana, tapi tak membuahkan hasil. Keluarganya pun sempat menyerah lantaran kondisi adiknya tunawiara.

Namun setelah curhat di Twitter pada Selasa 12 Oktober, adiknya yang sudah lebih dari lima tahun menghilang akhirnya ketemu. "Sebenarnya juga kita udah nyerahkarena g ada petunjuk sama sekali. dia tunawicara. nama nya Yehezkiel, biasa di panggil Eskil. tolong siapapun yang pernah liat dia atau tau keberadaan nya bisa dm gua. sebelom nya makasih banyak," tulis akun @arlinath.

Bocah berumur 13 tahun akhirnya diketahui keberadaannya oleh seorang netizen bernama @Puji6781478. Warganet pun menyertakan foto Yehezkiel yang terbaru. Setelah dikonfirmasi, foto tersebut ternyata memang benar adik yang dicari selama ini.

Kemarin, @arlinath memposting bahwa ia telah berhasil menemukan adiknya. "Thx God, I found it." Kisah yang mengharukan memang.

Twit viral itu sontak dibanjiri komentar positif. "Keren banget the power of sosmed. Disaat polisi udah nyerah dan kasus ditutup, malah selang sehari langsung ketemu lewat Twitter," komentar salah satu warganet.

Belakangan ini agaknya media sosial khususnya Twitter menjadi tempat alternatif peraduan warganet yang tengah ketiban masalah. Tak sedikit warganet yang merasa lebih terbantu menceritakan masalahnya di media sosial daripada ke aparat yang berwenang. Bahkan belum lama ini tagar #PercumaLaporPolisi riuh di lini masa.

Percuma lapor polisi

Tagar #PercumaLaporPolisi mencuat, membawa skeptisme pada profesionalisme polisi, tatkala gemparnya liputan Project Multatuli tentang dugaan pemerkosaan tiga anak di Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Mengutip artikel berjudul Tiga Anak Saya Diperkosa, Saya Lapor ke Polisi. Polisi Menghentikan Penyelidikan yang ditulis Eko Rusdianto, diceritakan bagaimana kasus ini berkembang. 

Seorang pria, konon aparatur sipil negara (ASN) setempat dilaporkan mantan istrinya. Pria itu disebut memerkosa tiga anak kandungnya, yang semuanya masih di bawah sepuluh tahun saat peristiwa.

Kasus ini pertama kali dilaporkan pada 9 Oktober 2019 ke Mapolres Luwu Timur. Penyelidikan kasus dugaan pemerkosaan anak itu berjalan dua bulan di Mapolres Luwu Timur. Namun kemudian dihentikan penyidik karena tak ada bukti tindak pidana asusila.

Namun setelah kasus ini viral dan dimuat ulang di beberapa media nasional, akhirnya kasus kembali dibuka. 14 Oktober kemarin, kepolisian menyatakan membuka kembali proses penyeledikan kasus dugaan pemerkosaan tiga anak di bawah umur oleh ayah kandung ini.

"Penyidik telah membuat laporan polisi model A tertanggal 12 oktober 2021, perihal adanya dugaan pencabulan anak di bawah umur. Itu ditulis pelaku dalam proses lidik," kata Kabag Penum Divisi Humas Polri Kombes Pol Ahmad Ramadhan di Bareskrim Mabes Polri.

"Iya (dilanjutkan), kalau dibuat laporan polisi, itu berarti keseriusan Polri dalam menangani kasus ini," katanya. Sedikit banyak gelombang dukungan warganet mungkin membuat polisi kembali menyoroti kasus ini. Dan sekarang penyelidikan masih berjalan.

Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus (Foto: Rizki/VOI)

Sebelum kasus dugaan pemerkosaan anak Luwu Timur, fenomena serupa juga terjadi di kasus dugaan perundungan pegawai Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Kasus yang telah terjadi sejak hampir satu dekade lalu itu baru kembali diusut sekarang.

Kemudian terbaru, aktivisme publik juga sedikit banyak "memengaruhi" proses hukum seorang wanita pedagang sayur di Deli Serdang, bernama Litiwari Iman Gea. Sudah habis dihajar oleh seseorang yang diduga preman sebulan lalu, kini ia malah terancam dipenjara. Alasannya, si pelaku balas melaporkan Gea ke polisi.

Gea lantas mengutarakan kondisinya di Facebook dan kemudian viral. Respons publik pada kasus ini membuat "delik viral" bekerja. Istilah ini berasal dari Twitter untuk menyebut respons aparat yang harus menunggu suatu kasus viral baru bertindak. Dua hari setelah Gea curhat, Kabid Humas Polda Sumut Kombes Hadi Wahyudi mengumumkan kasusnya akan ditarik ke kepolisian yang lebih tinggi.

Aktivisme digital

Sosiolog dari UIN Syarif Hidayatullah, Tantan Hermansyah mengamini kalau ruang digital saat ini punya pengaruh besar terhadap peradaban manusia saat ini. Dan aktivisme digital ini sebetulnya bukan fenomena yang sama sekali baru.

"Tentang akvitisme digital belakangan ini sebetulnya bukan merupakan fenomena baru. Karena dia muncul seiring dengan realitas kebudayaan yang sekarang sering disebut dengan era revolusi industri 4.0. Di mana era ini, meniscayakan bahwa ruang digital itu nyaris diduplikasi atau dipergunakan masyarakat seperti ruang nyata," jelas Tantan kepada VOI.

Vitalnya ruang digital, kata Tantan, bisa dilihat ketika seperti munculnya aturan-aturan yang berlaku dari lembaga besar seperti negara dan organisasi-organisasi besar. "Di dalam ruang digital itu kita melihat seperti ada aturan seperti munculnya UU ITE terus bahkan fatwa MUI, fatwa Muhammadiyah, ini menandakan ruang itu menjadi ruang penting dalam kehidupan berkebudyaan di era 4.0 yang dikatakan juga menuju era 5.0."

Ilustrasi (Sumber: Unsplash)

Ruang digital, ujar Tantan, saat ini tak hanya dijadikan platform untuk branding. Lebih dari itu, ruang digital sangat bisa dimanfaatkan untuk memberikan pengaruh sampai mendapatkan cuan.

"Di sisi lain, ruang digital pun sekarang, sudah dijadikan oleh banyak kalangan bukan hanya untuk branding. Lebih jauh dari itu. Misal untuk memberikan pengaruh, mengendors, menginfluence, bahkan mendapatkan cuan," jelas Tantan.

Salah satu pengaruh yang tak luput dari aktivisme digital ini yakni berhasil menciptakan apa yang disebut warganet Twitter "delik viral." Istilah untuk menyebut kasus yang baru diusut setelah viral.

"Inilah masalahnya, mungkin saya tidak tau apakah siber polis harus ada khusus yang memantau lalu lintas itu (media sosial) atau misalnya apakah hal-hal yang sifatnya sosial fenomenal harus viral dulu baru direspon oleh pihak penegak hukum. Saya kira kalau begitu tidak benar juga ya, harusnya peristiwa-peristiwa yang terkait dengan kehidupan orang banyak di dunia nyata, tidak mesti harus viral dulu baru direspon," ungkap Tantan.

Baca Informasi lain tentang VIRAL atau baca tulisan menarik lain dari Ramdan Febrian Arifin.

BERNAS Lainnya