JAKARTA - Inisiatif jurnalisme publik, Project Multatuli merilis hasil liputan dugaan pemerkosaan tiga anak di Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Penanganan perkara oleh kepolisian disoroti. Di media sosial, tagar #percumalaporpolisi membawa skeptisme pada profesionalisme polisi. Benarkah polisi terbiasa menolak laporan, terutama yang menyangkut kejahatan seksual? Jika terjadi, apa yang harus dilakukan?
Mengutip artikel berjudul Tiga Anak Saya Diperkosa, Saya Lapor ke Polisi. Polisi Menghentikan Penyelidikan yang ditulis Eko Rusdianto, diceritakan bagaimana kasus ini berkembang. Seorang pria, konon aparatur sipil negara (ASN) setempat dilaporkan mantan istrinya. Pria itu disebut memerkosa tiga anak kandungnya, yang semuanya masih di bawah sepuluh tahun saat peristiwa.
Sang mantan istri, yang dalam artikel CNN Indonesia ditulis dengan inisial RA menjelaskan dugaan pemerkosaan terungkap setelah ia melihat sejumah luka fisik dan perubahan perilaku pada anaknya. Suatu malam, sang anak mengatakan pada RA: Mamak... Ayah na anu pepe' ku. Artikel Project Multatuli menerjemahkan, ”Mamak, ayah melakukan sesuatu pada vagina saya."
Hari itu, 7 Oktober 2019. Selain anak sulungnya, anak bungsu RA juga mengeluhkan sakit di alat vital dan dubur. RA kemudian membawa ketiga anaknya ke kantor Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak, Dinas Sosial Luwu Timur. Kepala Bidang Pusat Pelayanan Firawati kemudian mempertemukan RA dengan mantan suaminya.
Tanggal 9 Oktober 2019, RA melapor ke Mapolres Luwu Timur. Seorang petugas polisi wanita mengantarkan ketiga anaknya ke sebuah puskesmas untuk visum, tanpa pendampingan. Kemudian, ketiganya dimintai keterangan oleh penyidik berseragam, tanpa didampingi RA, penasihat hukum, pekerja sosial ataupun psikolog.
RA diminta menandatangani berita acara pemeriksaan (BAP) tersebut tapi dilarang membacanya terlebih dulu. Lima hari berselang, Polres Luwu Timur memberitahukan perkembangan hasil penyelidikan. Laporan RA telah diterima dan akan diselidiki oleh Aipda Kasman. RA mendatangi kantor Polres untuk menanyakan hasil visum ketiga anaknya.
RA juga sekaligus memberikan satu celana dalam berwarna pink yang terdapat bercak darah. Hal itu dilakukan atas inisiatifnya sendiri. Jumat, 18 Oktober, polisi mengabarkan hasil visum dari puskesmas. Seorang penyidik menyatakan “tidak ditemukan apa-apa.” Pada hari yang sama, RA diinterogasi tanpa penasihat hukum.
“Saya disuruh tanda tangan di bagian bawah laporan itu. Saya bilang nanti saya tanda tangan setelah ini dilanjutkan. Tapi, penyidik memaksa saya. Dan saya ikut tanda tangan. Karena sudah siang dan saya mau pulang untuk buat makanan anak-anak.”
“Nah, saya pikir sekarang, saya jadi bego kenapa saya tanda tangan,” tambah RA.
Pekan berikutnya, Polres Luwu Timur mengabarkan perkembangan kasus bahwa penyelidik telah menginterogasi RA, terduga pemerkosa, dan ketiga anak. Pemeriksaan medis konon telah dilakukan beserta hasil visum et repertum. Polisi juga menjelaskan rencana lanjutan bahwa ketiga anak akan diperiksa medis dan psikologis ke Biddokkes Polda Sulawesi Selatan di Makassar.
***
*Hingga saat ini situs web Project Multatuli belum bisa diakses. Laporan lengkap bisa dibaca di sini: Project Multatuli.
Penghentian penyelidikan
Penyelidikan kasus dugaan pemerkosaan anak itu berjalan dua bulan di Mapolres Luwu Timur, sebelum dihentikan penyidik karena tak ada bukti tindak pidana asusila. Hal itu dikonfirmasi anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poengky Indarti, ketika dihubungi VOI untuk menggali temuan apa yang didapat Kompolnas terkait kasus ini.
"Kalau pertimbangan polisi, enggak cukup bukti. Jadi dari keterangan saksi. Kemudian korban dilihat. Diperiksa. Dari situ kan sudah cukup jadi bahan. Terus kemudian ketika memutuskan dihentikan, itu kan ada gelar perkara. Enggak serta merta dihentikan."
"Dari gelar perkara itu dilihat keterangan saksi, terus bukti-bukti, dari korban. Seperti itu. Dan itu bersesuaian. Gimana enggak bersesuaian ininya, gitu kan? Sehingga terus kemudian yang dilakukan kepolisian mengatakan enggak cukup bukti. Ditutup," tutur Poengky.
Poengky juga mengatakan telah meminta keterangan dari Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) terkait kasus ini. Propam, kata Poengky telah melakukan pemeriksaan. Hasilnya disimpulkan penyidikan sesuai prosedur.
"Lalu dari sisi polisi, aku sudah komunikasi juga dengan Kadiv Propam. Propam juga sudah turun, kok. Sudah periksa. Mereka sampaikan bahwa penyidikan sudah sesuai dengan proses. Sesuai prosedur."
Mabes Polri angkat suara. Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Polri Brigjen Rusdi Hartono mengatakan hal sama dengan Poengky. Petugas, katanya tak menemukan cukup bukti untuk menaikkan kasus itu ke tahap penyidikan. Meski begitu Rusdi menjelaskan kasus dapat dibuka kembali apabila ditemukan bukti-bukti baru.
"Apabila kita bicara tentang penghentian penyidikan, itu bukan berarti semua sudah final. Apabila memang dalam proses berjalannya ada ditemukan bukti yang baru, maka tidak menutup kemungkinan penyidikannya akan dibuka kembali," kata Rusdi, dikutip Antara.
Wakil Direktur LBH Makassar Abd Aziz Dumpa mengatakan kasus ini pada dasarnya tak layak dihentikan. "Kenapa? karena proses penyidikannya sejak awal terjadi malprosedur. Sekarang terkesan justru berpihak kepada terduga pelaku," katanya, dikutip Merdeka.
Menurut Aziz Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TPA) Luwu Timur juga melakukan pelanggaran dalam pendampingan korban. Pasalnya, Kepala Bidang Pusat Pelayanan Firawati mengaku kenal dengan terduga pelaku.
"Ini kan sudah kami adukan P2TPA Lutim, karena dia melanggar. Nah, pada waktu itu P2TPA ternyata berteman dengan terduga pelakunya," kata dia.
Keanehan lain yang ditangkap Aziz adalah pemeriksaan dan penyelidikan yang hanya berlangsung dua bulan. Padahal menurutnya Polres Luwu punya cukup waktu untuk melakukan pendalaman. Lalu, soal pemeriksaan terhadap ibu korban di psikiater yang malprosedur.
"Seolah-olah mereka menganggap ini sebagai balas dendam. Karena ibu dan ayah korban sudah bercerai, padahal tidak ada hubungannya ... Masa pemeriksaan psikiater hanya lima belas menit sudah keluar hasilnya. Pasahal pemeriksaan psikiater itukan ada tahap-tahapnya dan membutuhkan waktu," tuturnya.
Poengky menyarankan RA dan sejumlah pihak yang mendukung advokasinya untuk mengambil jalur praperadilan. Ini bisa dilakukan untuk menggugat penyimpangan-penyimpangan yang dinilai terjadi dalam proses penyelidikan.
"Jadi challenge untuk bisa membuktikan bahwa yang mereka anggap, mereka maksudnya kawan-kawan LBH dan korban, yang mereka anggap 'Ah, polisi enggak sesuai ini, nih.' Nah itu akan dibuktikan di praperadilan. Enggak bisa, misalnya ada bukti lalu minta dibuka sendiri. Itu enggak bisa," kata Poengky.
Benarkah #PercumaLaporPolisi?
Anggota Kompolnas Poengky Indarti menolak narasi skeptisme yang digaungkan dalam tagar #PercumaLaporPolisi, apalagi jika yang mendasarinya adalah kasus dugaan pemerkosaan di Luwu Timur. Menurut Poengky polisi dalam kasus itu telah menjalani prosedur yang seharusnya.
Poengky juga tak terima jika dikatakan polisi abai pada kasus-kasus kejahatan seksual secara umum. Kata Poengky kasus kejahatan seksual bahkan jadi atensi khusus kepolisian. Buktinya, kata dia adalah keberadaan unit PPA (Pelayanan Perempuan dan Anak.
"Jadi kalau kasus korbannya perempuan atau laki-laki. Katakan laki-laki, misalnya disodomi, korban kasus pelecehan seksual, itu yang nangani PPA. Unit PPA ini yang langsung akan gerak. Nah ketika mereka gerak, katakan untuk periksa saksi, korban, tersangka. Kalau periksa korban itu biasa didampingi P2TP2A," Poengky,
"Dan yang dilakukan di Luwu itu kan standar juga. Sudah dilakukan sama mereka. Harus dibuktikan dulu itu P2TP2A berpihak atau enggak. Kan polisi enggak mungkin menjelekkan diri sendiri, dengan ada bukti dibilang enggak ada bukti. Nah susah itu kalau sudah gitu," tutur Poengky.
Meski begitu Poengky mengakui keluhan terhadap profesionalisme polisi masih tinggi. Menurut data, dalam kurun waktu Agustus 2020 hingga Agustus 2021, Kompolnas menerima 4.112 pengaduan. Dari seluruh aduan itu, 79 persen di antaranya terkait pelayanan buruk.
Yang terbanyak soal penanganan kasus yang berlarut-larut. Selanjutnya, terkait Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP). Banyak masyarakat yang melaporkan perkara namun perkembangan lanjutan dari perkaranya tak diinformasikan. Terakhir yang mendominasi laporan adalah penyalahgunaan wewenang.
Adapun yang spesifik soal pelecehan seksual, Poengky menceritakan contoh kasus yang pernah ia tangani. Kasus itu menunjukkan pelayanan buruk polisi, di mana sebuah laporan pelecehan seksual berlarut-larut. Hal itu terjadi karena polisi tak memahami konsep pelecehan seksual.
"Ternyata polisi menyatakan laporan ini pencabulan, mohon maaf, meremas payudara. Kemudian dilaporin. Dipanggil. Tapi dari saksi-saksi yang diperiksa, mereka bilang, 'Tidak meremas payudara, meremas pantat.' Tapi itu kan pencabulan. Jadi sibuk di konteks itu ... Jadi saya berpikir, 'Oh ini mindset-nya ngawur.'
"Kalau kayak gitu kita sampaikan ke mereka agar penyidik diberi pemahaman, pencerahan, bahwa apa yang dia katakan itu masih belum terbukti, belum ada saksi yang ngomong, itu sudah pelecehan seksual. Orang dirangkul kemudian enggak suka, itu sudah pelecehan," Poengky.
Lalu apa yang bisa dilakukan ketika terjadi masalah dalam pelaporan polisi?
Pertama, pahami dulu pada dasarnya polisi dilarang mempersulit apalagi mengabaikan masyarakat yang membutuhkan perlindungan dan pelayanan. Hal ini diatur dalam Kode Etik Profesi Polisi (KEPP) Pasal 15.
Anggota polisi yang melanggar aturan tersebut dapat disanksi, mulai dari kewajiban membuat permohonan maaf, mengikuti pembinaan mental, turun jabatan hingga diakhiri masa dinas kepolisiannya. Sanksi diatur dalam Pasal 21 KEPP.
Jika kita mengalami atau menemukan pengabaian atau dipersulit dalam proses pelaporan, kita dapat melakukan pengaduan ke Sentra Pelayanan Propam di Gedung Utama Lantai 1 Mabes Polri. Pengaduan juga bisa dilakukan dengan mengunjungi situs web Propam Polri (propam.polri.go.id) atau lewat email ke: [email protected] atau mengirim WhatsApp ke: 081384682019.
Ada sejumlah dokumen yang harus kita siapkan, yaitu identittas lengkap pelapor dan kronologis peristiwa yang hendak diadukan. Selain ke Propam kita juga bisa mengadukan cacat pelayanan polisi ke Ombudsman.
Adapun sejumlah dokumen yang harus dipersiapkan adalah identitas, uraian kronologis peristiwa, surat kuasa, dokumen legalitas --jika pelapor adalah badan hukum, yayasan atau LSM, dan bukti peristiwa serta izin untuk merahasiakan identitas pelapor.
*Baca Informasi lain soal POLISI atau baca tulisan menarik lain dari Yudhistira Mahabharata.