Bagikan:

JAKARTA - Otoritas Korea Selatan pada  Rabu 28 Agustus meminta Telegram dan platform media sosial lainnya untuk bekerja sama dalam menghapus dan memblokir konten deepfake yang bersifat seksual. Ini dilakukan  sebagai upaya meredakan kemarahan publik dan politik atas masalah ini.

Langkah-langkah ini dilakukan setelah laporan dari beberapa media domestik menyebutkan bahwa gambar dan video deepfake yang bersifat seksual dari wanita Korea Selatan sering ditemukan di ruang obrolan Telegram.

Komisi Standar Komunikasi Korea (KCSC) mengumumkan akan mendirikan hotline 24 jam bagi para korban, dan jumlah personel pengawas yang memonitor kejahatan seksual digital akan digandakan dari 70 menjadi 140 orang. Badan Kepolisian Nasional Korea juga menyatakan akan melakukan upaya selama tujuh bulan untuk memberantas kejahatan seksual online.

Ketua KCSC, Ryu Hee-lim, dalam sebuah pertemuan darurat menyampaikan bahwa komisi tersebut berencana membentuk badan konsultatif untuk meningkatkan komunikasi dengan perusahaan media sosial tentang penghapusan dan pemblokiran konten deepfake yang bersifat seksual. Untuk perusahaan yang tidak memiliki kantor di Korea Selatan, pihaknya ingin membuka saluran tatap muka untuk konsultasi reguler.

"Produksi, kepemilikan, dan distribusi video kejahatan seksual deepfake adalah kejahatan serius yang menghancurkan martabat individu dan hak pribadi," kata Ryu.

Selain Telegram, KCSC akan meminta kerja sama dari platform X, serta Facebook dan Instagram milik Meta, dan YouTube milik Google. Hingga kini, perusahaan-perusahaan tersebut belum memberikan tanggapan atas permintaan komentar dari media.

Kritik terhadap Telegram di Korea Selatan semakin intensif setelah penangkapan Pavel Durov, pendiri Telegram asal Rusia, pada akhir pekan lalu sebagai bagian dari penyelidikan Prancis terkait pornografi anak, perdagangan narkoba, dan penipuan di aplikasi pesan terenkripsi tersebut.

Kasus kejahatan seksual deepfake di Korea Selatan meningkat dari 156 kasus pada tahun 2021 ketika data pertama kali dikumpulkan, menjadi 297 kasus hingga tahun ini, di mana sebagian besar pelakunya adalah remaja, menurut kepolisian. Korban biasanya perempuan, termasuk siswa sekolah dan tentara wanita di militer Korea Selatan.

Tahun ini, masyarakat Korea Selatan telah membuat lebih dari 6.300 permintaan bantuan ke KCSC untuk menghapus konten deepfake yang bersifat seksual. Sebagai perbandingan, pada tahun lalu terdapat hampir 7.200 kasus di mana komisi tersebut setuju untuk membantu menghapus konten.

"Telegram kini menjadi platform pilihan utama bagi pelaku kejahatan seksual deepfake," kata Kim Yeo-jin, kepala Pusat Respons Kekerasan Seksual Siber Korea, yang menambahkan bahwa polisi perlu melakukan lebih banyak tindakan.

Dalam banyak kasus, korban diberitahu oleh polisi bahwa melaporkan kejadian tersebut tidak akan efektif karena kontennya berada di Telegram, yang membuat penangkapan pelaku menjadi sulit, tambahnya.  

Informasi mengenai bagaimana perusahaan media sosial menanggapi permintaan dari otoritas Korea Selatan sulit didapatkan. Namun, data polisi yang diterbitkan oleh anggota parlemen Kim Young-bae pada tahun 2020 menunjukkan bahwa polisi mengirim tujuh permintaan bantuan kepada Telegram melalui email untuk penyelidikan kejahatan seksual digital antara Februari dan Agustus tahun tersebut, namun Telegram tidak menanggapi satupun dari permintaan tersebut.