Bagikan:

JAKARTA - Polisi Korea Selatan telah meluncurkan penyelidikan terhadap aplikasi pesan terenkripsi Telegram terkait dugaan keterlibatannya dalam distribusi konten deepfake yang eksplisit secara seksual, seperti dilaporkan oleh kantor berita Yonhap pada  Senin, 2 September.

Yonhap mengutip pernyataan dari Kepala Kantor Investigasi Nasional. Namun, biro investigasi siber dari kantor tersebut menolak untuk memberikan komentar lebih lanjut terkait laporan ini.

Penyelidikan ini muncul setelah adanya kemarahan publik dan politik terhadap pornografi digital deepfake yang menampilkan perempuan Korea Selatan, di mana media lokal melaporkan bahwa konten semacam ini sering ditemukan di ruang obrolan Telegram.

Langkah ini juga dianggap sebagai tindak lanjut dari pernyataan Komisaris Badan Polisi Nasional, Cho Ji-ho, pada  Senin sebelumnya. Cho menyatakan bahwa pihaknya sedang meninjau kemungkinan untuk menyelidiki aplikasi pesan terenkripsi dengan tuduhan mendukung tindakan kriminal.

Otoritas Korea Selatan pekan lalu telah berjanji untuk memperketat penanganan kejahatan deepfake yang eksploitasi seksual, bersamaan dengan penyelidikan di Prancis terhadap Pavel Durov, pendiri Telegram yang lahir di Rusia, terkait dengan dugaan kejahatan terorganisir di platform tersebut.

Dalam sidang di parlemen, ketika ditanya tentang aktivitas kriminal di Telegram, Cho mengakui bahwa investigasi terhadap penyedia layanan pesan yang aman sangat rumit dan memakan waktu.

Telegram tidak segera menanggapi permintaan komentar dari media pada  Senin. Namun, pekan lalu mereka mengatakan bahwa mereka secara aktif memoderasi konten berbahaya di platformnya, termasuk pornografi ilegal.

Korea Selatan merupakan negara yang paling sering menjadi target pornografi deepfake, di mana penyanyi dan aktrisnya menjadi 53% dari individu yang tampil dalam deepfake tersebut, menurut laporan tahun 2023 dari Security Hero, sebuah startup asal Amerika Serikat yang fokus pada perlindungan pencurian identitas.

Polisi di negara tersebut melaporkan bahwa jumlah kasus kejahatan seksual deepfake yang mereka tangani sejauh tahun ini telah meningkat menjadi 297 kasus, dibandingkan dengan 156 kasus sepanjang tahun 2021 saat data pertama kali dikumpulkan. Sebagian besar korban dan pelaku kejahatan tersebut adalah remaja.

Selain mendesak perusahaan media sosial untuk lebih aktif bekerja sama dalam menghapus dan memblokir konten semacam itu, regulator media Korea Selatan juga telah meminta otoritas Prancis untuk kerja sama rutin terkait masalah yang melibatkan Telegram serta memfasilitasi komunikasi langsung dengan platform tersebut.

Pemerintah Korea Selatan juga mengumumkan pada  Jumat, 30 Agustus, bahwa mereka akan mendorong pemberlakuan undang-undang yang lebih ketat untuk menjadikan pembelian atau menonton deepfake eksploitasi seksual sebagai tindakan kriminal.