JAKARTA - Pemerintah akan menghentikan penggunaan air tanah di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya. Ini dilakukan sebagai upaya menjaga kualitas tanah Jakarta, termasuk menahan agar Ibu Kota tak segera tenggelam. Masalahnya dilematis. Jika kita pakai air tanah, Jakarta tenggelam. Jika bukan menyedot air dari tanah, darimana kita dapat air bersih?
"Jadi, kami harus menghentikan penggunaan air tanah di DKI Jakarta dan sekitarnya. Tentu untuk menjaga agar penurunan tanah di Jakarta tak terjadi kembali," ungkap Direktur Jenderal Cipta Karya Kementerian PUPR Diana Kusumastuti, dilansir Antara, Senin, 4 Oktober.
Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta menyebut larangan penggunaan air tanah tak pantas diberlakukan. Alasannya, "Coverage pengadaan air pipa kita baru 64 persen, itu kan tidak pantaslah kalau kita melarang air tanah," kata Kepala Dinas Sumber Daya Air (SDA) Yusmada dalam rapat kerja bersama Komisi D DPRD DKI Jakarta, Selasa, 5 Oktober.
Yusmada juga menjelaskan hingga hari ini warga Jakarta masih sangat bergantung pada air tanah sebagai sumber air baku, selain Waduh Jatiluhur di Purwakarta, Jawa Barat. Pemprov DKI, kata Yusmada punya mekanisme lain untuk membatasi penyedotan air tanah, yakni pajak tanah.
Mekanisme itu diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 10 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan dan Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan. "Itu dalam kerangka kita mengontrol air tanah, terutama air tanah dalam yang komersial," kata Yusmada.
Selain pajak, Pemprov DKI juga sedang menggodok regulasi untuk mengatur zona bebas air tanah. Zonasi itu nanti ditetapkan di lokasi-lokasi yang telah terjangkau jaringan air perpipaan. "Area-area yang sudah dilayani perpipaan sudah cukup wajib kita melakukan pelarangan air tanah. Zona bebas air tanah sedang disiapkan peraturan gubernurnya," Yusmada.
Dilema lama air dan tanah di Ibu Kota
Pada Oktober 2019, jurnal Nature Communications merilis hasil penelitian yang memprediksi Jakarta tenggelam pada 2050. Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Intan Suci Nurhati menjelaskan sejumlah hal yang bisa jadi penyebab Jakarta tenggelam. Salah satunya, perilaku masyarakat, seperti penyedotan air tanah menggunakan sumur bor.
"Kalau untuk Jakarta sendiri, ibaratnya (dampaknya) karena perubahan iklim sampai Jakarta Utara, tapi karena ada pengambilan air tanah (dampaknya) sampai Monas. Misalnya seperti itu, ini perbandingan saja," terang Intan, dikutip Kompas.com.
Intan, yang juga anggota panel ilmuwan Intergovernmental Panel on Climate Change PBB menjelaskan, di Jakarta, penurunan tanah akibat perilaku masyarakat berperan lebih ketimbang perubahan iklim itu sendiri. Karenanya, selain mendalami dampak perubahan iklim, otoritas juga harus mencari solusi paten menghentikan penyedotan air tanah.
Dua hal itu, kata Intan akan sangat memengaruhi solusi apa yang harus diambil. "Kalau kita bicara kota seperti Jakarta, jika kita mau menyelamatkan kota ini dari kenaikan permukaan laut dan kita tidak hati-hati melihat mana sih faktor yang lebih dominan, takutnya fokus kita enggak benar."
"Misalnya kalau di Jakarta menekan penggunaan air tanah, itu efeknya akan sangat membantu (mengurangi dampak kenaikan air laut yang lebih besar). Nah itu salah satu cara yang bisa kita lakukan secara lokal," tutur Intan.
Juli 2020, Pemprov DKI Jakarta merilis data soal pelanggan air bersih PAM Jakarta. Menurut data itu, kubikasi air dari PAM bertumbuh sebesar dua persen di setiap tahun sejak 2013. Air bersih di Jakarta dipasok oleh PT PAM Jaya, yang bermitra dengan PT Palyja --menangani pasokan air wilayah barat-- dan PT Aetra untuk wilayah timur.
Dikutip dari situs Jakarta.go.id, pada 2019, jumlah pelanggan air bersih terdata sebanyak 878.268 pelanggan, dengan jumlah produksi dan kubikasi air yang terjual masing-masing sebesar 631,96 juta m3 dan 362,63 juta m3. Artinya, setiap satu pelanggan PAM rata-rata menghabiskan 719,6 m3 selama tahun 2019.
Pertumbuhan dua persen ini berdampak pada peningkatan nilai rupiah yang didapat oleh PAM di setiap tahun, kecuali 2014 dan 2019. Terhitung, pada 2018 nilai rupiah yang didapatkan PAM sebanyak Rp2,74 triliun. Sementara, pada tahun 2019, PAM mendapat Rp2,43 triliun, turun sekitar 11 persen. Penurunan ini merupakan yang terbesar selama periode tersebut.
Berdasarkan data PAM Jaya DKI Jakarta, kelompok non-niaga jadi pelanggan terbesar dengan jumlah 743.555 pelanggan atau sekitar 85 persen dari total pelanggan air bersih di DKI Jakarta. Jumlah pelanggan air bersih terbesar selanjutnya adalah kelompok niaga dengan jumlah pelanggan sebesar 123.432 pelanggan.
Dalam kelompok non-niaga, rumah tangga jadi jumlah pelanggan air bersih terbesar, yaitu 739.944 atau 99,5 persen dari total pelanggan kelompok non niaga. Volume air yang disalurkan oleh PAM paling banyak terjadi pada 2019, yaitu kepada pelanggan rumah tempat tinggal. Ini sesuai dengan jumlah pelanggan air bersih pada kelompok rumah tangga yang juga terbanyak di DKI Jakarta.
Volume air yang disalurkan PAM kepada rumah tempat tinggal hingga 16 juta m3 atau sekitar 53 persen dari total volume air yang disalurkan di DKI Jakarta. Hal ini membuat nilai rupiah yang didapat PAM dari kelompok rumah tempat tinggal juga terbanyak yaitu sebesar Rp0,95 triliun atau 39 persen.
Meskipun jumlah pelanggan instansi pemerintah lebih banyak 66 persen dari jumlah pelanggan hotel/obyek wisata. Namun jumlah volume air yang disalurkan kepada kelompok pelanggan hotel/obyek wisata lebih banyak yaitu sebesar tiga juta m3. Sehingga nilai rupiah yang didapat juga jauh lebih banyak yaitu sebanyak Rp411,022 miliar.
Dalam artikel yang terbit di Kompas pada 2019, Direktur Utama PAM Jaya Bambang Hermowo menyebut tahun 2030 sebagai target di mana seluruh warga Jakarta akan mendapat akses air pipa bersih. PAM tengah bekerja sama dengan Dinas SDA DKI Jakarta untuk membangun sistem penyediaan air di berbagai titik.
Langkah pemerintah pusat
Pemerintah pusat bukan tak tahu persoalan ini. Direktur Jenderal Cipta Karya Kementerian PUPR Diana Kusumastuti menjelaskan pemerintah pusat sedang membangun dua proyek sistem penyediaan air minum (SPAM) regional, yakni Jatiluhur 1 dan Karian Serpong.
Dua proyek itu ditargetkan selesai pada 2024. Proyek ini penting agar penggunaan air tanah oleh masyarakat DKI Jakarta dan sekitarnya bisa dihentikan. Pembangunan dua SPAM itu, dijelaskan Diana menggunakan skema kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU).
SPAM itu akan memenuhi kebutuhan air bagi warga DKI Jakarta dan sekitarnya, termasuk Bekasi dan Karawang. Sumber airnya akan diambil dari Bendungan Jatiluhur untuk SPAM regional Jatiluhur 1. Lalu, sumber air SPAM Karian Serpong akan berasal dari Bendungan Karian.
"Hal ini karena wilayah DKI Jakarta tidak memiliki sumber air baku," kata Diana.
Sebelumnya, Menteri PUPR Basuki Hadimuljono mengatakan proyek KPBU SPAM Karian Serpong akan mencegah penurunan permukaan tanah di wilayah Jakarta. Jika kebutuhan air dari wilayah barat Jakarta sudah terpenuhi, maka pemerintah bisa melarang penggunaan air tanah di wilayah Jakarta dan sekitarnya.
*Baca Informasi lain soal AIR atau baca tulisan menarik lain dari Diah Ayu Wardani dan Yudhistira Mahabharata.
BERNAS Lainnya