JAKARTA - Oknum polisi secara brutal menangkap kemudian membanting seorang mahasiswa yang tengah berdemo ke trotoar. Oknum TNI membantu Rachel Venya lari dari karantina. "Ada yang pernah menulis, kata 'oknum' adalah kata yang paling tidak dapat dipertanggungjawabkan," tulis Seno Gumira Ajidarma.
Sejak dulu kata "oknum" kerap digunakan untuk mengalihkan sebuah permasalahan sistemik menjadi persoalan personal orang per orang. Di Orde Baru (Orba), polisi dan TNI punya privilege khusus dalam politik bahasa ini.
Melihat Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001), ada beberapa arti dari kata oknum. Pertama, penyebut diri Tuhan dalam agama Katolik. Kedua, orang seorang; perseorangan. Dan yang ketiga, orang atau anasir, dalam pemaknaan yang kurang baik. Seno menyoroti arti yang ketiga.
Seno menutur bahwa wartawan zaman Orba paham "kalau ada alat negara, seperti polisi atau militer menjadi berita karena melakukan tindak kejahatan, tanpa harus disuruh lagi mereka wajib menuliskannya 'oknum polisi' atau 'oknum ABRI' dan semacam itu," tulis Seno dalam artikel berjudul Oknum dalam Politik Bahasa yang tayang dalam Majalah Tempo tahun 2014 silam.
"Tidak akan diingkari bahwa pelaku kejahatan bersangkutan adalah memang polisi atau anggota ABRI (kini TNI), tapi kata 'oknum' digunakan untuk menggarisbawahi bahwa yang bersangkutan tidaklah mewakili lembaga kepolisian atau angkatan bersenjata itu sendiri. Dalam bahasa awam: tidak semua polisi seperti itu, seperti juga tidak semua anggota ABRI seperti itu."
Meski tak terlalu jelas secara spesifik titik sejarah pertama kali "oknumisasi" dipraktikkan, politik bahasa ini, menurut Seno memuncak di Orba. Penguasa mendorong banyak media menggunakan strategi semiotik itu, yang kadang cukup dipaksakan. Bahkan ada konsekuensi bagi media jika luput menyematkan kata oknum dalam pemberitaan polisi/TNI bermasalah.
"Keteledoran menyematkan kata 'oknum' ini dalam pemberitaan media bisa mengundang peringatan. Perbincangan berbagai kasus menyangkut pelanggaran hukum oleh polisi dan tentara selalu dilakukan dengan menekankan kata 'oknum.'"
Politik bahasa membentuk realitas sosial
Begitulah politik bahasa hidup dan berkembang di media massa. Ia jadi representasi tipologi sosial politik khalayak yang jadi sumber beritanya. Dalam konteks Orba, posisi polisi/TNI dalam hierarki kekuasaan berperan besar dalam melestarikan oknumisasi.
"Setiap elite sesuai dengan ideologinya akan menyusun kamus yang khas. Kamus ini kemudian akan dimasyarakatkan melalui aparatur negara, organisasi dan lembaga-lembaga sosial," tulis Ekarini Saraswati dalam Rekayasa Bahasa Politik Orde Lama dan Orde Baru.
Salah satu politik bahasa yang erat dengan Orba adalah eufemisme atau penghalusan makna kata yang dianggap tabu oleh masyarakat. Dalam konteks aparat, selain oknumisasi, mengganti kata "menangkap" dengan "mengamankan" juga salah satunya.
Penggunaan eufemisme yang salah akan mendorong pertumbuhan masyarakat ke tatanan nilai yang tak benar. Sebagian pejabat negeri cenderung menggunakan ungkapan pelembut untuk menutupi ketidakberhasilan mereka dalam menjalankan tugasnya.
"Bila diberitakan ada koruptor yang lari dari penjara, maka dikatakan akibat kesalahan prosedur padahal 'dilarikan' dengan maksud menghindari pengungkapan fakta yang sebenarnya."
Eufemisme adalah perusakan bahasa. Dilihat dari segi informasi, eufemisme merupakan bentuk paling sederhana dari ketidakjujuran informasi. Penggunaannya akan menghalangi kita untuk melihat dengan jernih dan tajam.
"Kita terbawa untuk menghindari fakta-fakta yang menyakitkan dan menjadi tidak realistis melihat kenyataan."
*Baca Informasi lain soal POLITIK atau baca tulisan menarik lain dari Yudhistira Mahabharata.