Bagikan:

JAKARTA - Pegawai kongsi dagang Belanda, VOC kerap tak mampu menjaga moralnya di Batavia (kini: Jakarta). Saban hari mereka hobi berpesta – mabuk dan main wanita. Aktivitas itu dilakukan seperti tiada hari esok.

Masalah muncul. Banyak yang tak memiliki simpanan yang cukup saat pensiun. Kondisi itu membuat Dewan Deakoni –dewan gereja—ambil sikap. Empunya kuasa tak ingin rekan sebangsanya terlantar dan kesepian. Mereka lalu menyediakan dua opsi, masuk panti jompo atau mendapat santunan.

Urusan berlayar jauh-jauh ke Nusantara tak pernah mudah. Risikonya tak main-main: kematian. Namun, demi mengubah nasib dari rakyat miskin ke orang kaya, resiko itu banyak diambil. Kaum miskin kota, yatim piatu, hingga pengusaha gagal datang ke Nusantara sebagai pegawai VOC.

Mereka menganggap bergabung ke Kompeni jadi satu-satunya jalan keluar jadi kaya raya. Nyatanya, kedatangan mereka membawa masalah. Adab ala Eropa seakan ditanggalkan. Moral pegawai Kompeni jatuh pada titik terendah di pusat pemerintahan VOC di Batavia.

Mereka banyak melakukan kegiatan yang bertentangan dengan agama karena uang mudah didapat. Mereka doyan mabuk dan main wanita. Kondisi itu membuat banyak anak-anak di luar nikah yang terlantar. Pun kehadiran mereka turut meninggikan angka aborsi.

Gambaran kehidupan di Batavia pada masa kekuasaan VOC. (Wikimedia Commons)

Kompeni pun mencoba bertindak sebagai polisi agama. Mereka yang kedapatan melakukan kegiatan terlarang akan dikenakan hukuman berat. Hukuman mati, misalnya. Perlahan-lahan penerapan hukuman terkait pelanggaran moral tak dilakukan.

Imbasnya ke mana-mana. Bahkan membawa masalah baru. Mereka yang tergolong pejabat tinggi Kompeni bisa dengan senang hati kembali ke Belanda setelah pensiun. Mantan pejabat itu pulang dengan uang yang banyak. namun, tidak dengan mereka pegawai biasa, utamanya kelasi.

Kehidupan foya-foya membuat mereka terpaksa menghabiskan masa pensiun di Batavia. Mereka mencoba bertahan dengan harta seadanya. Kondisi itu kian sulit karena masalah kesehatan mulai hadir. Pun beberapa di antaranya mulai gila.

Syukur-syukur pensiunan pegawai VOC memiliki keluarga yang dapat menjaga. Namun, beberapa di antaranya justru hidup sebatang kara. Fenomena itu telah diamati oleh Mejelis Gereja hingga Dewan Gereja (Dewan Diakoni).

Potret kehidupan sosial di Batavia era kongsi dagang Belanda, VOC. (Wikimedia Commons)

Mereka tak ingin sesama komunitas Eropa hidup nelangsa di masa tua. Petinggi VOC dan Dewan Gereja pun mulai menghadirkan Armenhuis (rumah miskin: Panti Jompo) sejak 1629. Panti itu turut menampung lansia dari umat Kristen Batavia, kaum Mardijker (budak yang dibebaskan), dan budak belian Kristen.

“Pada abad ke-17 diakoni mengasuh juga banyak orang miskin –lansia-- berkebangsaan Eropa danAsia yang tinggal tersebar di kota. Setelah pemberian pertolongan kepada orang miskin perseorangan mengalami reorganisasi menyeluruh, Wisma Orang Miskin (armenhuis) menjadi tempat penampungan utama bagi lansia yang sakit, miskin, atau sakit jiwa,” ungkap Hendrik E. Niemeijer dalam buku Arsip-arsip Vereenigde Oostindische Compagnie VOC dan Lembaga-Lembaga Pemerintahan Kota Batavia (2007).

Beri Santunan

Kebijakan membangun panti jompo sempat mendapatkan kritik. Efektivitas dipertanyakan. Kondisi itu membuat Dewan Gereja tak melulu mengandalkan panti jompo untuk membantu lansia. Mereka yang notabene lansia belum terkena penyakit kronis, bangkrut, dan gila diperbolehkan berada di rumah.

Dewan Gereja pun tetap bertanggung jawab dengan memberikan mereka santunan tiap bulannya. Kondisi itu membuat orang di Batavia menyebut lansia yang sudah tak bekerja itu sebagai: orang miskin yang digaji.

Mereka diberikan santunan supaya para lansia dapat mengurus diri mereka sendiri di rumahnya masing-masing. Kala mereka mulai tak mampu mengurus diri, maka lansia itu akan diangkat ke panti jompo. Artinya, semua harta yang dimiliki lansia kemudian dilelang dan digunakan untuk memakmurkan lansia di panti jompo.

Jumlah santunan yang diberikan Dewan Gereja memang tak besar. Namun, cukup membantu. Bantuan itu diberikan kepada ribuan orang. Santunan akan bertambah besar ketika banyak pejabat yang peduli mengulurkan tangannya membantu.

Mereka ikut menambah santunan dengan memberikan sedekah dan ransum beras setiap bulan. Potret itu serupa yang dihadirkan di Negeri Kincir Angin. Supaya Panti Jompo tak menumpuk pikirnya. Belakangan seiring pemugaran panti jompo jumlah mereka yang menerima santunan dikurangi pada 1686.

Dewan Gereja ingin benar-benar menyeleksi mana lansia yang benar-benar harus ditolong dan mana yang masih dapat mandiri. Mereka ingin memberikan bantuan kepada lansia yang benar-benar berhak. Semua itu karena keuangan Dewan Gereja yang mulai menipis.

VOC membangun panti jompo dan memberi santunan untuk lansia, meskipun melakukan penjajahan di Nusantara. (Wikimedia Commons)

 “Selebihnya diseleksi ketat dan sisanya hanya sekitar ratusan fakir miskin yang masih boleh tinggal di rumah masing-masing. Kebanyakan dari mereka adalah warga tua atau janda yang mempunyai kedudukan sosial tertentu (janda orang Eropa).”

“Dengan jumlah terbatas warga miskin Eropa tetap diperbolehkan menerima santunan bulanan di rumah mereka, begitu pula sejumlah warga mestizo (darah campuran) dan wanita pribumi Kristen, tetapi jumlah tunjangan mereka jauh lebih kecil dari yang diterima warga Eropa,” terang Hendrik E. Niemeijer dalam buku Batavia: Masyarakat Kolonial Abad XVII (2012).