JAKARTA - Kehadiran kongsi dagang Belanda, VOC kerap dianggap juru selamat. Barang siapa yang lelah hidup miskin di Belanda, dapat bergabung dengan Kompeni. Mereka akan ditempatkan di negeri koloni, termasuk di Batavia (kini: Jakarta).
Hidup bak raja dan kaya raya jadi jaminan. Namun, masalah muncul. Umur orang Belanda di negeri tropis relatif singkat. Banyak di antara mereka yang menua dan hidup sebatang kara. Kompeni bersiasat. Masalah sosial itu ‘diobati’ dengan membangun banyak panti jompo.
Kesuksesaan VOC dalam perdagangan rempah disambut dengan gegap gempita. Seisi Belanda pun melihat kompeni bak harapan. Alih-alih Kompeni hanya membawa keuntungan kepada para pengusaha Belanda, kehadiran kongsi dagang itu justru menjelma jadi mesin pengubah nasib kaum jelata.
Kaum miskin kota, dari yatim piatu dan kalangan tak berpindidikan mulai mencoba mengadu nasib dengan bergabung dengan Kompeni. Semuanya karena masuk Kompeni tak sulit. Asal bukan Katolik, peluang mereka besar jadi pegawai Kompeni.
Urusan nantinya mereka ditempatkan di daerah jajahan yang berbahaya tak jadi soal. Satu-satu yang mereka pikirkan adalah bagaimana dapat kabur dari kemiskinan. Syukur-syukur mereka dapat ditempatkan di pusat kuasa Kompeni di Batavia.
Narasi itu karena kehidupan di Batavia serba terjamin. Mereka dijadikan sebagai warga nomor satu. Gaji mereka boleh jadi tak besar, tapi pemasukan tambahan (korupsi) bisa lebih dari cukup. Pegawai Kompeni bisa membangun segalanya di Batavia, dari rumah gedong hingga punya budak.
Kehidupan foya-foya macam pesta dapat dilangsungkan dalam tiap kesempatan. Sesuatu yang mereka takkan mampu didapat jika hidup di Belanda. Boleh jadi dulu tak ada yang mau hidup pensiun di Batavia. Mereka memilih pulang kampung.
Seiring waktu perubahan mulai hadir. Mereka justru betah hidup penuh kemewahan di negeri koloni. Mereka hidup bak raja. Kondisi itu berlangsung dalam waktu yang cukup lama.
BACA JUGA:
“Tapi sebagian besar dari mereka yang selamat menjadikan Nusantara kampung halaman mereka yang permanen. Di Belanda kebanyakan mereka termasuk dalam kelas miskin dan mereka datang ke Hindia (kini: Indonesia) sebagai pelaut dan serdadu, berharap memperoleh keberuntungan di Asia. Hanya sedikit yang berhasil, dan bagi sebagian besar dari mereka, begitu mereka berhasil jadi pejabat tinggi di Timur Jauh, pulang ke Belanda tidaklah menarik.”
“Di Asia mereka hidup seperti raja; di Belanda mereka warga biasa, tersingkir dari kasta para regent (pejabat), penguasa oligarkis yang mengontrol Republik. Lagi pula, banyak orang Belanda secara legal mengawini perempuan bumiputra, dan untuk alasan sosial para direktur itu berusaha mencegah emigrasi kaum bumiputra ke Eropa. Ada pula yang punya kepentingan tetap berada di Timur,” ungkap Bernard H.M. Vlekke dalam buku Nusantara (2008).
Bangun Panti Jompo
Hidup bak raja dan kaya raya memang menjanjikan. Namun, satu-satu masalah yang akan dihadapi –cepat atau lambat— oleh pegawai VOC adalah hidup menua sebatang kara. Banyak di antara pegawai Kompeni yang mulanya datang membawa sanak famili ke Batavia lalu kehilangan ibu mertua, ipar, hingga anak.
Pangkal masalahnya adalah orang Belanda dan iklim tropis tak pernah bersahabat. Mereka yang datang bisa saja beberapa bulan setelah tiba meninggal dunia. Kondisi itu membuat pegawai Kompeni menua hidup sebatang kara dan sakit-sakitan. Mereka meninggal dunia pun tiada tahu.
Kondisi itu membuat mereka yang tadinya kaya raya kemudian jatuh miskin. Semua dana yang dimiliki digunakan untuk membiayai mereka dihari tua. Lama-kelamaan biaya itu habis dan lansia hidup sebatang kara tadi bak menanti ajal saja.
Kompeni pun ambil sikap. Mereka melihat fenomena lansia hidup sebatang kara sebagai sebuah masalah sosial yang harus dipecahkan. Apalagi, petinggi Kompeni kebanyakan berasal dari penganut Calvinisme yang taat. Mereka merasa memiliki kewajiban untuk menjaga sesama.
Ide pembangunan panti jompo pun dilakukan sejak 1680-an. Pegawai kompeni yang sakit, tua renta, hingga tak berdaya akan diangkut ke panti jompo. Bahkan, mereka diangkut bersamaan dengan harta benda yang tersisa. Harta-harta itu akan dilelang dan uangnya disumbangkan untuk panti jompo.
Kondisi berbeda dialami lansia yang kondisinya belum cukup parah. Mereka akan dibiarkan berada di rumah. Namun, kompeni tetap bertanggung jawab dengan pemberian santunan bulanan. Panti jompo yang dihadir di Batavia bahkan bisa menampung hingga 300 lansia lebih pada 1725. Pembangunan panti jompo lalu diikuti pula oleh etnis China untuk kaumnya di Batavia.
Ajian membangun panti jompo dianggap mereka upaya yang cukup membantu lansia untuk menikmati hari tuanya. Sekalipun panti jompo yang dibangun jauh dari kata nyaman. Ruangan yang jorok dan fasilitas yang terbatas jadi masalah. Fakta itu kadang kala membuat lansia mati-matian tak mau dievakuasi ke panti jompo. Beberapa justru memilih menua sebatang kara sampai hartanya habis tak bersisa.
“Bagi masyarakat Batavia ketika itu, kehadiran panti fakir miskin, rumah penampungan, panti jompo, rumah sakit jiwa, atau apa pun namanya, merupakan jawaban terhadap sejumlah masalah masyarakat berat dan kemiskinan. Kendati sering atas biaya sendiri orang bersangkutan.”
“Bagi banyak warga, gambaran dari bangunan yang kotor, penuh dengan orang lansia dan renta, orang sakit jiwa dan pecandu minuman keras – semua itu cukup mengerikan sehingga mereka selalu berusaha mendapatkan santunan bulanan dari kas Dewan Diakoni, ketimbang harus masuk ke dalam bangunan tersebut,” ujar Sejarawan, Hendrik E. Niemejier dalam buku Batavia: Masyarakat Kolonial Abad XVII (2012).