JAKARTA - Hidup erat dengan kemiskinan jadi makanan sehari-hari rakyat Peru. Narasi itu membuat seisi Peru menginginkan perubahan. Pedro Castillo pun muncul bak juru selamat. Sosok aktivis yang kemudian jadi Presiden Peru itu membawa harapan dengan janji: takkan ada lagi kemiskinan.
Suatu janji yang sulit diwujudkan. Alih-alih dapat menggalakkan program pro rakyat, Castillo justru gagal membendung inflasi dan korupsi. Ia justru ingin membubarkan parlemen supaya kuasanya bertahan. Kuasa itu membuatnya dimakzulkan.
Sederet negara di Amerika Latin pernah menganggap sosialisme adalah alat perubahan. Paham itu dianggap sebagai ajian supaya suatu negara dapat berdaulat dan menyingkirkan tangan asing. Rakyat Peru pun memikirkan hal yang sama.
Mereka merasa banyak di antara pemangku kebijakan justru mendaulat neoliberalisme sebagai jalan hidup. Padahal paham itu membuat Peru condong pro barat dan pemodal, ketimbang memikirkan nasib rakyat. Kondisi itu berlangsung cukup lama.
Semuanya berubah kala aktivitas seorang petinggi serikat guru muncul ke permukaan pada era 2000-an. Pedro Castillo, namanya. Castillo kala itu dianggap sebagai perwujudan penuh tokoh revolusioner. Sebab, Castillo berasal dari ‘rahim’ kaum miskin Peru.
Ayahnya hanya seorang petani yang buta huruf. Keterbatasan itu justru tak membuat Castillo menyerah dan menerima nasib bak rakyat tertindas. Ia pun berjuang keras untuk dapat mengakses pendidikan dan berhasil.
Ia mulai mengejar cita-citanya mencerdaskan anak bangsa dengan menjadi guru. Namun, profesi itu justru membuatnya lebih peka melihat ketidakadilan. Ia mulai bertransformasi sebagai aktivis guru. Ia mampu menggelorakan pemogokan guru di seantero Peru pada 2017.
Pemogokan itu dilakukannya supaya pemerintah peduli nasib guru dengan meninggikan gaji dan tunjangan. Fenomena pemogokan yang dipimpin Castillo jadi berita besar di seantero negara. Sosoknya dianggap pembawa harapan untuk Peru di masa yang akan datang.
Hasilnya gemilang. Castillo ikut dalam kontestasi politik Pilpres Peru 2021. Partai Peru Libre jadi kendaraan politiknya yang ampuh. Dukungan kepada Castillo muncul di mana-mana, dari petani hingga peternak. Popularitas itu kian gemilang dengan jargon Castillo: tidak akan ada lagi orang miskin di negara kaya.
Kemenangan pun diraihnya. Bahkan, ia mampu mengalahkan pesaingnya Keiko Fujimori –simbol kaum elite-- yang notabene putri mantan Presiden Peru, Alberto Fujimori.
“Banyak pendukung Castillo mengatakan mereka memilihnya dengan harapan ada sosok yang mampu mereformasi sistem ekonomi neoliberal yang diterapkan presiden terdahulu, Alberto Fujimori. Sistem tersebut, kata mereka, memang menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang stabil dan mengendalikan inflasi, namun pada akhirnya justru membuat jutaan orang jatuh dalam kubangan kemiskinan.”
“Kesenjangan yang menyakitkan ini menjadi semakin mencolok ketika virus corona menyerang. Virus ini telah melanda Peru, negara dengan angka kematian akibat COVID-19 per kapita tertinggi di dunia. Hampir 10 persen penduduknya telah jatuh ke dalam kemiskinan pada tahun lalu,” ungkap Julie Turkewitz dalam tulisannya di laman The New York Times berjudul Pedro Castillo, Leftist Political Outsider, Wins Peru Presidency (2021).
Pemakzulan Pedro Castillo
Kemenangan Castillo disambut dengan gegap gempita. Seisi Peru lalu menganggapnya sebagai juru selamat yang siap mengangkat rakyat dari kubangan kemiskinan. Apalagi, Castillo mampu menjanjikan akan menasionalisasi proyek sumber daya alam yang sebelumnya dikuasai asing.
Proyek sumber daya alam itu meliputi gas, emas, perak, tembafa, litium, hingga uranium. Castillo berjanji akan menggunakan jabatannya untuk memanfaatkan keuntungan hasil bumi untuk memakmurkan rakyat.
Janji pun tinggal janji. Urusan bertindak sebagai eksekutif, apalagi orang nomor satu Peru tak pernah mudah. Minimnya pengalaman Castillo di dalam pemerintahan jadi musabab. Castillo dianggap kurang cakap memimpin. Ia tak mampu menempatkan orang yang tepat sebagai menteri.
Alih-alih membantu pemerintahan, kehadiran menteri-menteri itu justru merugikan negara karena berlaku korup. Kondisi itu diperparah dengan kroni-kroninya yang terkena kasus dugaan korupsi.
Borok Castillo satu demi satu mulai terungkap ke publik. Payahnya Castillo membendung inflasi jadi contoh. Ia pun dianggap menggunakan jabatannya untuk mengontrol militer. Anggota parlemen yang notabene didominasi kubu sayap kanan –pendukung Fujimori-- berang bukan main.
Kepemimpinan Castillo diragukan akan membawa perubahan bagi Peru. Upaya pemakzulan pun coba dilakukan. Sekalipun beberapa kali gagal. Puncaknya Castillo bersiasat ingin membubarkan parlemen hingga mendirikan pemerintahan darurat.
Nyatanya, siasat itu jadi senjata makan tuan. Tiada yang merestui tindakan Castillo. Alhasil, pemakzulan baru benar-benar terjadi pada 7 Desember 2022. Pelengseran itu membuat Castillo mendekam di penjara karena tuduhan pemberontakan.
Castillo berpendapat pemakzulannya dilakukan karena dendam politik. Fakta itu membuat seisi Peru bergejolak. Pendukung Castillo –dari kaum tani hingga peternak—turun ke jalan untuk memprotes keputusan parlemen Peru.
BACA JUGA:
Aksi itu memakan puluhan korban jiwa. Namun, tak berimbas lebih. Posisi Castillo lalu digantikan oleh wakilnya, Dina Boluarte. Pemakzulan itu membuat Castillo gagal disejajarkan dengan pemimpin revolusioner Amerika Latin lainnya macam Evo Morales (Presiden Bolivia era 2006-2019) hingga Rafael Correa (Presiden Ekuador era 2007-2017).
“Saya tidak pernah melakukan kejahatan pemberontakan, saya tidak mengangkat senjata, saya juga tidak memanggil siapa pun untuk mengangkat senjata. Pihak yang mengangkat senjata untuk mengakhiri hidup lebih dari 30 warga Peru adalah pemerintah saat ini, yang menyebabkan lebih dari 20 orang hilang dan lebih dari 200 orang terluka,” ujar Castillo sebagaimana dikutip The Guardian dalam laporannya berjudul Peru’s Ousted President Pedro Castillo Says He is a Victim of Political Revenge (2022).