JAKARTA - Penjajah Belanda pernah kepincut dengan kecerdasan Tjipto Mangoenkoesoemo. Narasi itu diperlihatkan Tjipto kala mengikuti ujian masuk Sekolah Pendidikan Dokter Bumiputra, STOVIA. Tjipto mampu lolos dengan nilai terbaik dan mendapatkan beasiswa.
Tjipto membuktikan bahwa Belanda tak salah pilih. Ia mampu jadi lulusan terbaik STOVIA, bahkan ia sempat diberikan tanda jasa oleh Ratu Wilhelmina. Namun, bukan berarti idealisme Tjipto dapat dibeli. Tjipto justru berbalik melawan penjajah Belanda.
Keberuntungan mengiringi kehidupan Tjipto kecil. Pria kelahiran Pacangaan, Jepara itu tergolong sebagai bagian kaum bumiputra yang beruntung. Tjipto mampu mengakses pendidikan karena ayahnya seorang guru yang notabene priayi rendahan.
Narasi itu membuat keluarganya berharap Tjipto tumbuh jadi insan cerdas dan mengangkat derajat keluarga dengan bekerja sebagai ambtenaar (pegawai bumiputra yang bekerja untuk Belanda). Tjipto disekolahkan orang tuanya di Ambarawa.
Keputusan itu membawakan hasil. Bakat Tjipto dalam memahami pelajaran dan kepemimpinan kian menonjol. Kondisi itu membuat Tjipto lulus dengan mudah dari Europeesche Lagere School (ELS). Kelulusan itu semakin lengkah dengan berhasilnya Tjipto lulu dalam ujian Klein Ambtenaar dengan peringkat pertama.
Keberhasilan itu tak membuat Tjipto berpuas diri. Ia mengatakan kepada orang tuanya tiada memiliki niatan jadi pegawai bumiputra, apalagi bekerja untuk penjajah. Keluarganya pun kaget. Jalan tengah pun diambil. Orang tuanya meminta Tjipto untuk melanjut pendidikannya ke STOVIA di Batavia (kini: Jakarta).
Tjipto diminta untuk jadi dokter. Profesi itu dianggap jalan kesuksesan. Pucuk dicinta ulam tiba. Tjipto menjajal ujian masuk STOVIA. Ia dapat masuk dengan nilai terbaik. Ia lantas mendapatkan beasiswa pada 1899.
Tjipto tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Ia mampu menjalankan perannya sebagai mahasiswa dengan baik. Waktu belajar itu juga dimanfaatkan Tjipto untuk aktif berorganisasi dan mengasah kepekaan terhadap nasib kaumnya yang dijajah Belanda.
Ia masuk Budi Utomo dan mengenal banyak pejuang kemerdekaan. Antara lain Ernest Douwes Dekker dan Soewardi Soerjaningrat (kini dikenal sebagai Ki Hajar Dewantara). Tjipto pun lulus dari STOVIA pada 1905.
“Di Stovia itu, dia termasuk golongan siswa terbaik: Hanya karena sifatnya itu sering terjadi bentrokan dengan penjaga di Stovia yaitu Papa Jeane, karena itu tidak mengherankan kalau Tjipto juga pernah meringkuk di ‘kamar tikus’ (serupa kamar isolasi) selama lima hari sebagai hukuman maksimum di asrama itu. Bakatnya yang besar segera pula diketahui oleh gurunya.”
“En begaafaleerling (murid yang berbakat besar), kata gurunya. Tjipto adalah seorang anak yang selalu menunjukkan kesungguhan dan ini nampak dari raut mukanya. Namun hal itu tak berarti bahwa dia tak pernah tertawa. Kalau dia tertawa, terasa sejuklah bagi siapa yang diajak tertawa. Sekilas pandang nampak Tjipto sebagai seorang pendiam. Dialah yang juga paling banyak mendebat dan berpidato. Dari pada pergi berpesta, dia lebih suka membaca di kamarnya atau menghadiri ceramah-ceramah,” terang Soegeng Reksodihardjo dalam buku dr. Cipto Mangunkusomo (1992).
Melawan Belanda
Boleh jadi Tjipto telah menerima beasiswa dari Belanda. Namun, bukan berarti tindak-tanduk Tjipto justru membuatnya mendukung penjajah. Tjipto dengan terang-terangan memilih posisi berseberangan dengan Belanda.
Tjipto sama sekali tak peduli jika Belanda pernah memberinya tanda jasa dari Ratu Wilhelmina, Ridderkruis of the Oranje Nassau Order. Suatu penghargaan karena perannya sebagai dokter yang ikut memerangi wabah pes di Malang pada 1912.
Tjipto pun memilih keluar dari Budi Utomo yang terlalu elitis. Ia lalu bergabung dengan kawan seperjuangannya, Ernest Douwes Dekker (DD) dan Soewardi Soerjaningrat. Ketiganya yang dikenal sebagai Tiga Serangkai membentuk kendaraan politik untuk melawan Belanda.
Indische Partij (Partai Hindia), namanya. Tjipto pun secara aktif menggunakan medium surat kabar De Expres milik Partai Hindia sebagai corong propaganda. Tulisan-tulisannya membuat Belanda berang. Tjipto dan Partai Hindia pun dianggap berbahaya bagi Belanda dan Tiga Serangkai diasingkan ke Belanda 1913.
Narasi itu justru tak membuat Tjipto jera. Hukuman pengasingan justru membuat nyalinya menyala. Ia terus berjuang memutus mata rantai penjajahan di negeri penjajah. Pun kala ia pulang dari tanah pengasingan.
Tjipto banyak berkutat jadi mentor dari pejuang kemerdekaan macam Soekarno. Aktivitas perlawanan itu terus dilakukan Tjipto hingga Belanda gerah dan mengasingkan Tjipto kali kedua ke Pulau Banda pada 1928.
Fakta itu membuktikan bahwa beasiswa yang diberikan Belanda tak membuat Tjipto kehilangan idealismenya membawa Indonesia merdeka. Perjuangan terus dilakukan, walau ia sendiri tak sempat merasakan melihat Indonesia merdeka karena ia meninggal dunia pada 8 Maret 1943.
BACA JUGA:
“DD, Tjipto, Soewardi merupakan generasi pertama nasionalis Indonesia yang menghendaki Hindia Belanda untuk warga Hindia Belanda. Ketiganya sama-sama punya andil dalam proyek jangka panjang yang sama membangun Hindia Belanda/ Indonesia yang merdeka dan bebas. Namun, mereka memahami proyek ini sebagai sesuatu yang jauh lebih besar dibandingkan sekedar mencapai negara Indonesia merdeka.”
“Penciptaan manusia yang dapat mengatakan ‘seandainya saya’ seperti dalam visi Soewardi, dan transformasi revolusioner orang jawa menjadi ksatria yang dapat berdiri tegak melawan penyalagunaan kekuasaan seperti dalam visi Tjipto,” ungkap Takashi Shiraishi dalam buku 1000 Tahun Nusantara (2000).