Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 109 tahun yang lalu, 23 Oktober 1913, Majalah De Indier terbit pertama kali di Belanda. Nama besar Tjipto Mangoenkoesoemo ada di baliknya. Majalah yang terdiri dari 12 halaman itu menjadi corong perjuangan Tjipto di Negeri Kincir Angin.

Alias sebagai ikhtiar lanjutan menyebarkan ide-ide kemerdekaan. Ia ingin segenap intelektual di Belanda mendapatkan informasi bermutu terkait tanah air dan perjuangannya. Tujuannya supaya nyala api anti kolonialisme dan perjuangan kemerdekaan tetap menyala.

Tiada waktu yang terbuang percuma untuk melawan penjajahan di mata Ernest Douwes Dekker, Soewardi Soerjaningrat (kemudian dikenal: Ki Hajar Dewantara), dan Tjipto Mangoenkoesoemo. Itulah yang membuat ketiganya dikenal sebagai figur ‘berbahaya’ di Hindia-Belanda. Orang-orang pun menjuluki mereka Tiga Serangkai.

Mereka membentuk Indische Partij (IP) sebagai kendaraan politik pada 1912. Pintu partai politik itu dibuka selebar-lebarnya untuk seluruh rakyat Hindia-Belanda. Tiada pembeda. Satu untuk semua, semua untuk satu. Gagasan itu dipegang terus hingga IP menjadi musuh besar pemerintah kolonial Belanda.

Pahlawan nasional Tjipto Mangoenkoesoemo. (Wikimedia Commons)

Bukan tanpa alasan. Tindak-tanduk IP bikin Belanda gerah. IP mendeklarasikan perang melawan tirani. Mereka berani menyebut Belanda sebagai negara pemeras. Koran-koran pun dimanfaatkan untuk jadi coron perjuangan. Tulisan-tulisan ketiganya acap kali menyudutkan Belanda. Sekalipun beberapa di antaranya berbentuk sindiran.

Belanda pun menempatkan IP ke dalam daftar hitam. Tiga Serangkai pun diciduk. Namun, penjara dianggap Belanda tak membuat mereka jerah. Satu-satunya opsi paling masuk akal adalah mengasingkan ketiganya. Awalnya mereka bertiga ingin diasingkan di tempat yang berbeda. Ajaibnya Tiga Serangkai lalu diasingkan ke Belanda.

“Douwes Dekker, Tjipto, Soewardi merupakan generasi pertama nasionalis Indonesia yang menghendaki Hindia-Belanda untuk warga Hindia-Belanda. ketiganya sama-sama punya andil dalam proyek jangka panjang yang sama: membangun Hindia-Belanda (Indonesia) yang merdeka dan bebas. Namun, mereka memahami proyek ini sebagai suatu yang jauh lebih besar dibandingkan sekedar mencapai negara Indonesia merdeka.”

“Penciptaan manusia yang dapat mengatakan seandainya saya seperti visi Soewardi, dan transformasi revolusioner orang Jawa menjadi ksatria yang dapat berdiri tegak melawan setiap penyalahgunaan kekuasaan seperti visi Tjipto. Mereka aktif dalam tahun-tahun 1910-an dan 1920-an ketika Hindia masih di bawah kekuasaan Belanda dan ketika kata Indonesia masih harus dilahirkan, tetapi tulisan-tulisan mereka masih bersama kita,” ungkap Takashi Shiraishi dalam buku 1000 Tahun Nusantara (2000).

Tiga Serangkai: Soewardi Soerjaningrat, Ernest Douwes Dekker, dan Tjipto Mangoenkoesoemo. (Wikimedia Commons) 

Alih-alih berhenti menyuarakan terkait anti kolonialisme, Tiga Serangkai justru tambah semangat di Belanda. Perjuangan mereka tak ditanggalkan begitu saja. Malahan perjuangan itu semakin menyala. Mereka ikut aktif dalam organisasi mahasiswa di Belanda.

Tjipto Mangoenkoesoemo apalagi. Ia bahkan membuat majalah sendiri bersama rekannya, Frans Berding. Majalah De Indier namanya. Majalah itu jadi corong perjuangan Tjipto supaya semangat melawan penjajahan Belanda tetap menyala. Majalah De Indier terbit perdana pada 23 Oktober 1913.

“Namun bersama tokoh-tokoh lain yang seasas mereka membentuk Indiers Comité (Komite Orang Hindia) yang bertujuan menyebarkan informasi tentang Hindia dan cita-cita IP. Dari kelompok itulah datangnya keuangan yang diperlukan untuk menerbitkan Majalah De Indier, Weekblad geuijd aan het geestelik en maatschappelik leven van Indie en Oost-Azie (Orang Hindia, Mingguan untuk Kehidupan Batiniah dan Kemasyarakatai Hindia dan Asia Timur).”

“Redaksi terdiri atas Frans Berding dan Tjipto Mangoenkoesoemo. Edisi pertama terbit pada 23 Oktober 1913. Majalah itu, yang terdiri atas 12 halaman, terutama diisi dengan beritaberita hangat, khususnya sejauh berita-berita itu menjadi kepentingan IP,” ungkap Sejarawan Harry A. Poeze dalam buku Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950 (2008).