Sejarah Hari Ini, 16 Agustus 1917: Ki Hajar Dewantara Sebut Nasionalisme dan Sosialisme adalah Senjata Kemerdekaan Indonesia
Bapak Pendidikan Nasional yang juga pejuang Kemerdekaan Indonesia, Ki Hajar Dewantara. (Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 106 tahun yang lalu, 16 Agustus 1917, Soewardi Soerjaningrat (kemudian dikenal sebagai Ki Hajar Dewantara) menyebut perjuangan melepas belenggu penjajahan tak harus berfokus pada satu ideologi. Nasionalisme atau sosialisme dianggapnya tak jauh beda.

Ideologi itu hanya senjata. Sebab, tujuannya adalah Indonesia merdeka. Narasi itu dituangkan Soewardi dalam Harian Het Volk yang terbit di Negeri Kincir Angin. Sebelumnya, Soewardi dikenal sebagai pejuang kemerdekaan Indonesia yang dianggap berbahaya oleh Belanda.

Kepekaan Soewardi terhadap nasib kaum bumiputra tiada dua. Ia menentang keras segala bentuk penjajahan dan diskriminasi penjajah Belanda. Laku hidup itu ia tunjukkan ketika menempuh pendidikan lanjutan ke Sekolah Pendidikan Dokter Bumiputra, STOVIA.

Alih-alih tunduk dengan penjajah Belanda, semangat Soewardi menentang kuasa Belanda justru menjadi-jadi. Aturan-aturan yang melanggengkan diskriminasi di STOVIA ditentangnya. Sikap itulah yang membuatnya ogah melanjutkan pendidikan di STOVIA.

Ia justru lebih tertarik untuk menjadi jurnalis memperjuangkan hajat hidup kaum bumiputra. Semangat membara Soewardi kemudian dilirik oleh Ernest Douwes Dekker (DD). Soewardi lalu diajak DD bersama Tjipto Mangoenkoesoemo membentuk Indische Partij (Partai Hindia).

Ketiganya –yang kemudian dijuluki Tiga Serangkai—jadi paket lengkap pemberontak radikal di mata Belanda. Kehadiran Partai Hindia jadi kendaraan politik Soewardi. Segala bentuk kebijakan penjajah Belanda kerap dikritik Soewardi. Apalagi, Partai Hindia memiliki Surat Kabar De Expres sebagai corong bersuara.

Tokoh Indische Partij (Partai Hindia), bawah dari kiri: Tjipto Mangoenkoesoemo, Ernest Douwes Dekker, dan Soewardi Soerjaningrat (Ki Hajar Dewantara). (Wikimedia Commons)

Soewardi, DD, dan Tjipto secara bergantian melemparkan kritik atas Belanda. Puncaknya, Soewardi membuat sebuah artikel kesohor. Als ik eens Nederlander was (Seandainya Aku Seorang Belanda), judulnya. Artikel yang terbit pada 1913 itu membuat Belanda geram bukan main.

Ia melemparkan kritik kepada Belanda yang merayakan kemerdekaan mereka dari jajahan Prancis, padahal Belanda sendiri menjajah di tempat perayaan berlangsung. Artikel itu kemudian membuat Belanda mengambil tindakan tegas. Tiga Serangkai ditahan Belanda. Mereka lalu diasingkan ke Negeri Belanda karena dianggap berbahaya.

“Dengan demikian, Soewardi membuka horizon baru bagi bumiputra untuk membayangkan dirinya menjadi apa saja dengan ungkapan brilian: seandainya saya. Dengan ungkapan itu, seseorang dapat membayangkan dirinya berbeda dengan dirinya dalam realitas yang berbeda dari yang ada di sini dan sekarang, di hadapan diri sendiri. Tidak berlebihan untuk mengatakan orang Indonesia lahir dari artikel ini. Segera setelah artikelnya terbit, Soewardi ditangkap dan dibuang ke Belanda,” terang Takashi Shiraishi dalam buku 1000 Tahun Nusantara (2000).

Kehidupan Soewardi di Negeri Belanda tak kalah progresif. Ia terus melanggengkan profesinya sebagai jurnalis dan aktif dalam organisasi mahasiswa bumiputra di negeri Belanda, Perhimpunan Indonesia (PI). Ia kerap melanggengkan kritiknya terhadap penjajah Belanda.

Pun ia juga aktif melanggengkan persahabatan kepada seluruh pejuang kemerdekaan dan Partai Buruh Sosial-Demokrat (SDAP) di tanah Belanda. Baginya, apapun ideologinya --nasionalis atau komunis-- tak terlalu penting. Ideologi hanyalah senjata, bukan tujuan.

Pandangan itu di utarakan dalam artikelnya di Harian Het Volk pada 16 Agustus 1917. Soewardi ingin semuanya bersatu dan saling merangkul untuk satu tujuan mulia. Tujuan itu adalah Indonesia merdeka. Pun ia meminta untuk menggunakan ideologi masing-masing sebagai senjata melawan penjajahan dan kebodohan.

“Kami orang Hindia (kini: Indonesia) merasakan benar bahwa nasionalisme dalam perjuangan kami ini hanya merupakan senjata, bukan tujuan. Pada tahap pertama senjata itu masih kami perlukan, sebab perjuangan yang kami hadapi sekarang ini adalah melawan imprealisme Negeri Belanda. Namun, demokrasi pun terdapat di dalam gudang senjata kami dan senjata ini akan mencegah kami ambil langkah-langkah keliru dalam kami menempuh jalan yang sulit menuju kemerdekaan itu.”

“Semoga kaum sosialis dan bangsa Hindia bersedia berjuang bahu membahu, sebab di waktu ini mereka mengabdi pada kepentingan yang sama. Apabila tujuan bersama itu nanti tak tercapai, percayalah, banyak di antara kaum demokrat-nasional sekarang ini akan menjadi demokrat-sosialis juga. Mereka akan berbondong-bondong mengambil tempatnya masing-masing di belakang panji-panji merah,” ujar Sowardi Soerjaningrat sebagaimana dikutip Harry A. Poeze dalam buku Di Negeri Para Penjajah (2008).