Belanda Jatuhkan Hukuman Pengasingan ke Tiga Serangkai dalam Sejarah Hari, 18 Agustus 1913
Tiga serangkai pendiri Indische Partij, dari kiri: Soewardi Soerjaningrat, Ernest Douwes Dekker, Tjipto Mangoenkoesoemo. (Harry A Poeze, et al., In Heat Land van de Overheeser: Indonesiers in Nederland 1600-1950, Dordrecht Foris Publications 1986)

Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 109 tahun yang lalu, 18 Agustus 1913, Belanda memberi hukuman pengasingan kepada Tjipto Mangoenkoesoemo, Ernest Douwes Dekker, dan Soewardi Soerjaningrat. Tiga serangkai itu dianggap Belanda sebagai pemberontak. Pembawa gerakan radikal menentang Belanda.

Empunya kuasa lalu mengeluarkan surat perintah yang menegaskan Soewardi diasingkan ke Bangka, Tjipto ke Banda, dan Ernest ke Kupang. Namun, mereka menolak. Mereka justru minta diasingkan ke Belanda dan dikabulkan.

Kenangan masa pergerakan nasional tiada dua. Masa itu jadi penentu utama kaum bumiputra lepas dari belenggu penjajahan Belanda. Semuanya bermula dari kalangan kaum bumiputra terpelajar yang ingin bangsanya maju. Organisasi Boedi Oetomo (BO) pun dibentuk. Tujuannya mulia.

Mereka ingin memperjuangkan kaumnya memperoleh pendidikan yang layak. Soewardi dan Tjipto ada di dalamnya. Namun, keduanya hanya sebentar. Adanya indikasi BO mengekslusifkan diri dianggap sebagai benalu. Alih-alih mementingkan nasib kaum jelata, BO diduga hanya peduli pada kepentingan kaum priayi belaka.

Tjipto dan Soewardi memilih keluar BO. Bukan berarti rehat dari dunia politik. keduanya justru bergabung dengan Ernest membentuk Indische Partij (IP) pada 25 Desember 1912. IP jadi kendaraan politik Tiga Serangkai menentang pemerintah kolonial Hindia-Belanda.

Dari kiri: Soewardi Soerjaningrat, Ernest Douwes Dekker, Tjipto Mangoenkoesoemo. (Wikimedia Commons)

Pintu IP pun dibuka selebar-lebarnya. Semua suku bangsa yang hidup dan besar di Hindia-Belanda dapat bergabung. Tiada pembeda. Si kaya atau jelata. Si Bumiputra atau Indo-Belanda. Semuanya diterima. Bentuk sikap itu acap kali diwujudkan dalam kata: satu untuk semua, semua untuk satu.

“Gagasan Hindia Belanda untuk warga Hindia Belanda merupakan barang baru bagi penduduk pribumi berpendidikan Barat. Rapat raksasa yang diselenggarakan IP merupakan hal baru yang memberi amat banyak inspirasi bagi Tjokroaminoto sampai berhasil menjadi Ketua Centraal Sarekat Islam (CSI).”

“Bahasa yang digunakan IP waktu itu benar-benar mengejutkan. Dalam rapat raksasanya di Bandung, Dekker mengumumkan deklarasi perang melawan tirani, atau pernyataan perang budak pembayar pajak kolonial terhadap Belanda, negara pemeras,” ungkap Takashi Shiraishi dalam buku 1000 Tahun Nusantara (2000).

Munculnya IP mengejutkan Belanda. Apalagi IP menjadikan surat kabar De Ekspres sebagai corong propaganda melawan Belanda. Tulisan-tulisan di koran tersebut begitu menyudutkan Belanda. Sindiran-sindiran keras tak terelakkan. IP pun dianggap terlalu radikal oleh Belanda.

Tiga Serangkai akhirnya diciduk. Belanda pun memutuskan untuk mengasingkan ketiganya pada 18 Agustus 1913. Rencananya Soewardi akan diasingkan ke Bangka, Tjipto ke Banda, dan Ernest ke Kupang. Namun, ketiganya justru sepakat untuk menolak penempatan di wilayah Hindia-Belanda. Ketiganya memilih untuk diasingkan ke negeri Belanda. Ajaibnya usul itu dikabulkan empunya kuasa.

Lambang Indische Partij, parpol pertama pada masa penjajahan Belanda di Nusantara. (Wikimedia Commons)

“Ketiga orang tadi diinterogasi sebagaimana mestinya, tetäpi itu cuma formalitas agar memenuhi ketentuan hukum. Pada 18 Agustus 1913 Tjipto Mangoenkoesoemo dibuang ke Banda; Soewardi ke Bangka. Douwes Dekker diasingkan ke Kupang di Timor. Upaya Douwes Dekker menjangkau penduduk bumiputra khususnya para intelektual muda bumiputra menjadi pertimbangan utama bagi keputusan tersebut.”

“Ketiganya meluruskan, dan ini hak orang yang dijatuhi hukuman demikian, untuk memohon dizinkan pergi ke dan menetap di Eropa. Gubernur Jenderal Hindia-Belanda Idenburg mengabulkan permohonan ini. Tinjaunnya adalah membuat ketiga orang itu tidak berbahaya, dan tidak mengirim ekspedisi penghukuman atau pembalasan,” tegas Kees van Dijk dalam buku Hindia Belanda dan Perang Dunia I 1914 – 1918 (2013).