Pidato Presiden Soeharto Jelang Kemerdekaan Indonesia ke-40, 16 Agustus 1985: Tinggalkan Perjuangan Bersifat Kedaerahan
Presiden Soeharto berpidato di depan sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat. (Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA - Hari ini, 37 tahun yang lalu, 16 Agustus 1985, Presiden Soeharto menyampaikan pidato kenegaraannya di depan sidang Dewan Perwakilan Rakyat. Pidato itu di utarakan dengan maksud supaya pejabat meneladani jejak para pahlawan yang telah mendahului perjuangan.

Segala macam jejak kepahlawanan harus diadaptasikan di dalam kehidupan bermasyarakat. Kepada kemajuan berpikir, misalnya. Perjuangan-perjuangan yang bersifat kedaerahan harus ditinggalkan. Sebab, perjuangan harus lebih luas: untuk bangsa Indonesia.

Presiden Soeharto menyampaikan pidato kenegaraannya sehari sebelum kemerdekaan Indonesia ke-40. Ia meminta kepada segenap rakyat Indonesia, utamanya pejabat publik untuk merenungi perjuangan pejuang kemerdekaan di masa lampau. Baik dari kelebihan dan kekurangannya.

Indonesia memiliki banyak pahlawan. Ada pula pahlawan-pahlawan yang bercorak kedaerahan. Antara lain perjuangan Pangeran Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol, atau Cut Nyak Dhien. Perjuangan bersifat kedaerahan itu memiliki hasil jauh dari kata signifikan jika diaplikasikan kini.

Ilustrasi hari kemerdekaan Indonesia 17 Agustus. (wallpaperspreed.id)

Presiden Soeharto bercerita bahwa sifat-sifat kedaerahan itu telah ditinggalkan oleh pejuang kemerdekaan era kebangkitan nasional. Indonesia masuk kepada babak baru. Babak yang modern. Alias pejuang kemerdekaan mulai merintis kehadiran wawasan kebangsaan dan wawasan modern.

Semua itu adalah benih utama untuk menjawab tantangan zaman. Karenanya lahirlah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Sebuah bekal yang cukup untuk membawa Indonesia menjadi bangsa yang disegani oleh dunia.

“Dalam Pergerakan Kemerdekaan yang berwawasan kebangsaan dan modern itu bangkit ungkapan-ungkapan yang menonjolkan segi keagamaan, bangkit ungkapan-ungkapan yang menonjolkan segi kerakyatan, bangkit ungkapan-ungkapan yang menonjolkan segi kemanusiaan, bangkit pula ungkapan-ungkapan yang menonjolkan segi keadilan sosial. Karena merupakan Pergerakan Kemerdekaan yang bersumber pada semangat kebangsaan, maka ungkapan-ungkapan tadi digalinya dari nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat dan budaya Indonesia sendiri.”

“Semua ungkapan-ungkapan yang bersumber dari budaya bangsa sendiri itu lah yang kemudian dirangkum dalam kesatuan yang utuh dan serasi oleh Pendiri-pendiri Republik ini, oleh bapak-bapak Kemerdekaan Nasional kita, dalam Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945,” ungkap Presiden Soeharto dalam pidatonya.

Perjuangan Indonesia mempertahankan kemerdekaan juga tak kalah heroik. Masa revolusi tak kalah menyengsarakan rakyat. Harta maupun nyawa banyak dikorbankan oleh bangsa Indonesia. Semuanya untuk satu tujuan merdeka. Pun semangat itu harus diteladani di kemudian hari.

Pelantikan Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia periode 1988-1993 di hadapan Sidang Paripurna ke-11 MPR RI di Gedung DPR/MPR Jakarta, 11 Maret 1988. (Antara)

Melalui perjuangan yang lama itu Indonesia memperoleh kematangan dalam bernegara. Pelajaran berharga. Alias Indonesia jadi mampu berdiri melawan marabahaya setelah setelah kemerdekaan. Segala macam masalah itu dapat menjadi penuntun Indonesia supaya menjadi besar di mata dunia.

“Sejak pengakuan kedaulatan dan pada tahun-tahun sesudahnya kita berjuang melawan bahaya-bahaya yang datang dari federalisme, separatisme, kesukuan, kedaerahan, ekstrem kanan dan ekstrem kiri. Tidak jarang segala ancaman dan bahaya tadi bercampur dengan subversi asing.”

“Semuanya itu kita rasakan sebagai bagian dari perkembangan dan pertumbuhan bangsa kita ke arah kematangan dan kedewasaan. Semuanya itu merupakan pelajaran yang sangat berharga, walaupun harus kita bayar dengan sangat mahal,” tambah Presiden Soeharto.