Presiden Soeharto dapat Medali Emas dari FAO dalam Sejarah Hari Ini, 21 Juli 1986
Presiden Soeharto dan Ibu Tien Soeharto saat menghadiri panen raya di lokasi transmigrasi Tanah Miring III, Manokwari, Irian Jaya pada 7 Mei 1994. (Antara)

Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari Ini, 36 tahun yang lalu, 21 Juli 1986 Presiden Soeharto mendapat medali emas dari organisasi pangan dan pertanian milik PBB, Food and Agriculture Organization (FAO). Medali emas itu didapat Soeharto karena Indonesia berhasil swasemba pangan.

Medali itu dinamakan: From Rice to Self Sufficiency. Keberhasilan itu jadi bukti komitmen nyata Soeharto dalam menggeber sektor pertanian. Pun swasembada beras digunakan pula untuk membantu FAO memerangi kelaparan di Afrika.

Komitmen Soeharto memajukan sektor pangan tak perlu diragukan. Sedari kecil Soeharto akrab dengan masalah pertanian. Semuanya karena Soeharto terlahir sebagai anak seorang petani. Ia telah menyaksikan bagaimana sulitnya kehidupan pribadi petani. Apalagi dalam menanam padi.

Kebanyakan petani acap kali dipusinkan dengan banyak masalah. Dari cara bertanam yang masih tradisional sampai akses terhadap pupuk. Tambah apes lagi jika petani mengalami gagal panen. Kegagalan itu buat petani makin jatuh dalam kubangan kemiskinan.

Soeharto pun ingin mengubahnya setelah menjadi orang nomor satu di Indonesia. Ia pun bersiasat. Pembangunan di sektor pertanian jadi target utama. Segala daya dan upaya diarahkan oleh pemerintah Orde Baru (Orba). Berbagai kebijakan dan fasilitas penunjang disiapkan. Antara lain pembangunan waduk, irigasi, pabrik pupuk, dan pengembangan sumber daya manusia.

Presiden Soeharto (duduk depan kanan) saat menghadiri peringatan 40 tahun FAO di Roma, Italia pada 11 November 1985. (Dok. FAO)

Instrumen itulah yang menjadi alasan Indonesia dapat jadi salah satu pengimpor beras terbesar di dunia pada 1980-an. Perihal itu sebagai bukti jika strategi yang digunakan oleh Soeharto dalam mendongkrak produktivitas petani tepat guna.

“Sebagian prestasi Soeharto yang perlu dicetak tebal adalah keberhasilannya mencapai swasembada pangan, mamasyarakatkan Keluarga Bencana (KB), serta membangun perumahan untuk rakyat. Sukses pangan melalui swasembada, bahakn bergaung sampai ke seluruh dunia.”

“Setelah berpuluh tahun menjadi negara pengimpor beras terbesar di dunia, pada 1984 – atau 17 tahun setelah Soeharto menduduki kursi presiden – Indonesia mampu memenuhi kebutuhan berasnya sendiri, dengan produksi sebanyak 25,8 juta ton. Bandingkan dengan masa-masa awal Orba, yang Cuma 12,2 juta ton,” tertulis dalam Harian Republika sebagai disusun Sugiono M.P. dalam buku Selamat Jalan Pak Harto (2008).

FAO kagum atas prestasi Soeharto. Jenderal yang memimpin Indonesia selama 32 tahun itu diminta FAO untuk berbicara di forum resmi mereka. Soeharto diminta berbagi pengalaman serta strategi dalam meningkat produktivitas petani.

Puncaknya, keberhasilan swasembada pangan diapresiasi penuh oleh FAO. Direktur Jenderal FAO Dr. Eduard Souma memberikan Soeharto medali emas di Bina Graha, Jakarta pada 21 Juli 1986. Medali itu sebagai bukti dari komitmen Soeharto menggangkat sektor pertanian. Apalagi swasembada pangan digunakan pula oleh Indonesia untuk membantu FAO memerangi kelaparan di Afrika.

Medali FAO yang diberikan kepada Presiden Soeharto atas keberhasilan Indonesia mencapai swasembada pangan pada 1986. (Perpusnas) 

“Kepada wartawan Direktur Jenderal FAO Dr. Edouard Souma mengatakan pemberian medali tersebut baru pertama kali dilakukan oleh FAO mewakili 158 negara anggota. Pemimpin tertinggi organisasi pangan sedunia itu menyampaikan terima kasih kepada Presiden Soeharto atas pidato yang disampaikan pada sidang peringatan 40 tahun FAO di Roma Italia.”

“Dalam kesempatan ini Dirjen FAO akan menerima bantuan pangan tahap pertama dari para petani Indonesia untuk rakyat Afrika yang sedang dilanda kekurangan pangan, bantuan ini dijanjikan daam sidang FAO Roma tahun lalu, sebanyak 100.150 ton beras dan akan diserahkan dalam bentuk uang senilai 17,5 miliar rupiah. Baru pertama kali ia alami selama menjadi Dirjen FAO selama sepuluh tahun maupun oleh pejabat sebelumnya,” tertulis dalam buku Presiden RI ke II Jenderal Besar H.M. Soeharto dalam berita: 1985-1986 (2008).