Bagikan:

JAKARTA - Soeharto dan Orde Baru (Orba) pernah serius memajukan sektor pertanian. Mereka mencoba segala cara supaya tanaman padi bisa surplus. Pelatihan dan akses pupuk dibuka dilebar. Petani bahagia. Hasil panen jadi melimpah.

Narasi itu membuat Indonesia mencapai swasembada beras. Prestasi itu mendatangkan puja-puji. Namun, swasembada beras tak berumur panjang. Indonesia terpaksa mengimpor kembali beras pada 1990-an. Jumlah impor kian banyak saat krisis ekonomi menerpa Indonesia.

Andil Soeharto dan Orba membangun Indonesia cukup besar. Empunya kuasa melakukan pembangunan di segala lini. Sektor pangan pun tak lantas dilupakan. Soeharto masih ingat benar bagaimana sengsaranya rakyat kala resesi ekonomi menerba Indonesia pada era 1960-an.

Harga pangan meningkat dan rakyat Indonesia jadi sengsara. Soeharto tak ingin kejadian itu kembali terjadi di era Orba. Ia mulai fokus membangun pertanian di Indonesia. Fokus utamanya adalah meningkatkan hasil produksi beras.

Keinginan itu digelorakan jadi sebuah program. Bimbingan Massal (BIMAS), namanya. Orba pun melibatkan banyak pihak, pemerintah, dan swasta. Program itu pun mampu membantu masyarakat untuk meningkatkan hasil padi.

Medali FAO yang diberikan kepada Presiden Soeharto atas keberhasilan Indonesia mencapai swasembada pangan pada 1986. (Perpusnas)

Mereka diberikan bantuan penyuluhan, pupuk, dan pestisida. Rakyat itu turut diberikan pemahaman dan akses terkait hadirnya teknologi baru di dunia pangan. Angka produksi beras Indonesia perlahan-lahan meningkat pada 1970-an.

Indonesia pun mampu mencukupi berasnya sendiri dengan produksi sebanyak 25,8 juta ton. Jumlah itu jauh berbeda dari masa-masa awal Orba yang hanya mampu memproduksi 12,2 juta ton. Prestasi itu membuat Organisasi Pangan Dunia milik PBB, FAO kagum.

Soeharto pun diminta untuk berbicara ke forum resmi mereka. The Smiling General diminta untuk berbagi pengalaman dan strategi dalam meningkatkan produksi pertanian. Fao pun memngaresiasi Soeharto dengan memberikan penghargaan kepada Soeharto pada 1986. FAO memberikan medali emas yang berukir kalimat: From Rice to Self Sufficiency.

“Kepada wartawan Direktur Jenderal FAO Dr. Edouard Souma mengatakan pemberian medali tersebut baru pertama kali dilakukan oleh FAO mewakili 158 negara anggota. Pemimpin tertinggi organisasi pangan sedunia itu menyampaikan terima kasih kepada Presiden Soeharto atas pidato yang disampaikan pada sidang peringatan 40 tahun FAO di Roma Italia.”

“Dalam kesempatan ini Dirjen FAO akan menerima bantuan pangan tahap pertama dari para petani Indonesia untuk rakyat Afrika yang sedang dilanda kekurangan pangan, bantuan ini dijanjikan daam sidang FAO Roma tahun lalu, sebanyak 100.150 ton beras dan akan diserahkan dalam bentuk uang senilai 17,5 miliar rupiah. Baru pertama kali ia alami selama menjadi Dirjen FAO selama sepuluh tahun maupun oleh pejabat sebelumnya,” tertulis dalam buku Presiden RI ke II Jenderal Besar H.M. Soeharto dalam berita: 1985-1986 (2008).

Kembali Impor

Keberhasilan swasembada beras terus digelorakan oleh Soeharto dan Orba. Mereka menjadikan itu sebagai suatu kebanggaan dan prestasi. Apalagi, Indonesia sempat sama sekali tak mengimpor beras pada tahun 1985-1986.

Pengamat Ekonomi , Faisal Basri mengungkap Indonesia bahkan turut mengekspor beras masing-masing 106 ribu ton pada 1985 dan 231 ribu ton pada 1986. Belakangan ekspor beras Indonesia jadi meredup.

Pemerintah Orba dianggap gagal dalam mengembangkan produksi beras supaya terus mencapai swasembada beras. Kegagalan itu dipicu dengan tak semua wilayah cocok untuk ditanam padi. Pun  fokus pemerintah melulu menjaga stabilitas harga saja.

Beras impor yang didatangkan Indonesia dari beberapa negara, seperti India, Vietnam, dan Thailand. (Perum Bulog)

Upaya pemerataan dianggap akan muncul dengan sendirinya. Namun, tak terjadi.  Kondisi itu diperparah pula dari penyeragaman bibit padi yang digunakan. Ide penyeragaman bibit bak senjata makan tuan. Satu sisi penyeragaman membuat banyak varietas padi di Jawa musnah.

Sisi lainnya, penyeragaman itu nyatanya banyak membawa hama dan membuat petani gagal panen. Sederet masalah itu membuat Indonesia kembali mengimpor ratusan ribu ton pada 1990-an. Jumlah itu melonjak tajam hingga mendekati 3 juta ton.

Impor beras Indonesia kian meningkat kala krisis ekonomi 1997-1998 hadir. Alhasil, mimpi Indonesia kembali swasembada beras jadi sulit. Bahkan, hingga kini mimpi itu tak pernah lagi terwujud.

“Ketahanan pangan pada saat itu hanya ditinjau dari stabilitas harga beras, sementara pemerataan dan struktur dasar ekonomi tidak terbangun dengan baik. Hal tersebut yang menyebabkan pada akhirnya Indonesia harus kembal: mengimpor beras memasuki dekade 1990-an. Bahkan pada 1995, ketergantungan Indonesia atas impor beras mencapai sekitar 3 juta ton. Situasi tersebut selanjutnya makin diperparah dengan situasi krisis ekonomi yang melanda kawasan Asia pada 1997.”

“Orde Baru juga menjadikan beras sebagai sesuatu yang sakral dan memiliki derajat tinggi sehingga yang tidak memakannya adalah orang-orang yang terbelakang dan kuno. Propaganda tersebut memberangus tradisi kuliner lokal masyarakat seperti jagung, ubi, ketela, kentang dan lain-lain. Pada kenyataannya, memang tidak semua daerah di Indonesia cocok untuk ditanami padi, Hal tersebut pada akhirnya yang kembali menguatkan ketergantungan Indonesia dengan beras dan saat kawasan produsen beras tidak lagi mampu menutup kebutuhan di kawasan lain,” ungkap Dhianita Kusuma Pertiwi dalam buku Mengenal Orde Baru (2021).