Bagikan:

JAKARTA - Manisnya omongan kongsi dagang Belanda (VOC) dapat membius siapa saja. Penguasa lokal macam Pangeran Jayawikarta kepincut. Penguasa Jayakarta itu merasa untung memberikan izin Kompeni bangun gudang dan pemukiman Belanda.

Keduanya lalu bak sekutu. Namun, penjajah tetaplah penjajah. Omongannya tak bisa dipercaya. Kompeni mengubah gudang bak benteng pertahanan. Meriam ditempatkan. Kompeni menyerang Jayakarta hingga takluk dan mengubah Jayakarta jadi Batavia.

Kompeni terpukau dengan keuntungan perdagangan rempah di Nusantara. Mereka berencana menaklukkan banyak wilayah untuk memonopoli perdagangan rempah. Masalah muncul. Mereka takkan mendapatkan keuntungan maksimal jika tak membuat permukiman Eropa di Nusantara.

Kompeni pun mulai menjajaki keinginan memiliki negeri koloni. Ragam tempat di Nusantara coba dijajaki. Ambon pernah dipilih jadi pusat kekuasaan Kompeni. Namun, Ambon bukan tempat stategis dan jauh dari rute perdagangan Asia.

Lukisan yang menggambarkan aktivitas perdagangan di sebuah pasar di Batavia. (Wikimedia Commons)

Kompeni lalu melirik Banten. Kondisi Banten sebagai salah satu bandar lada jadi muaranya. Kondisi itu ditunjang dengan banyaknya pedagang mancanegara yang datang – China hingga Inggris. Awalnya Kompeni cukup mengagumi wilayah Banten.

Namun, Kesultanan Banten justru dekat dengan Inggris. Kompeni lalu mengalihkan pandangan ke wilayah di dekat Banten: Jayakarta. Wilayah Jayakarta yang jadi vasal Kesultanan Banten dianggap sama strategisnya.  

Jayakarta sudah menjadi salah satu pusat perdangangan paling sibuk di Nusantara. Banyak pedagang China, India, Melayu, hingga Jepang yang singgah. Pengamatan itu didasarkan karena Kompeni sudah menjalin kerja sama dengan penguasa setempat, Pangeran Jayawikarta sedari 1610-an.

Kerja sama itu membuahkan hasil. Belanda diizinkan membuat gudang dan rumah-rumah tempat tinggal sederhana di tepi timur mulut Sungai Ciliwung. Gudang itu digunakan untuk keperluan perdagangan dan singgah Kompeni.

Pangeran Jayawikarta merasa senang-senang saja. Kehadiran Belanda dianggapnya membawa keuntungan bagi Jayakarta.

“Pada tahun 1610 orang Belanda diizinkan membangun sebuah gudang dan rumah-rumah dari kayu di tepi timur mulut Ciliwung. Waktu kapal Belanda pertama kali berbuh di Jayakarta, dalam kota ini terdapat tiga ribu rumah, yang dikelilingi pagar tanaman hijau.”

“Sejak tahun ini kapal Belanda sering singgah di Palabuhan Jayakarta untuk membeli sayur dan mengambil air minum yang bersih. Untuk memperoleh izin mendirikan gudang, Belanda membayar 1.200 real kepada Pangeran Jayawikarta,” ungkap Sejarawan Adolf Heuken dalam buku Tempat-Tempat Bersejarah di Jakarta (2007).

Omongan Penjajah Tak Bisa Dipercaya

Kompeni memanfaatkan dengan baik perjanjian dengan Pangeran Jayawikarta. Namun, Kompeni yang mulai di bawah kuasa Jan Pieterszoon Coen mulai berpikiran licik. Gubernur Jenderal VOC itu memiliki rencana mengubah gudang menjadi benteng pertahanan.

Bangunan-bangunan baru dengan tembok yang melindungi bangunan mulai dibangun. Kompeni sampai mendatangkan tenaga pembangunan dari luar Jayakarta. Hubungan itu sempat terganggu dengan rencana Belanda memasukkan beberapa meriam ke permukiman mereka.

Pangeran Jayawikarta berang dan mencoba meminta jawaban. Alih-alih langsung marah, Pangeran Jayawikarta justru terbuai dengan alasan Kompeni. Mereka beralasan perdagangan di Jayakarta begitu masif. Kompeni berdalih untuk keamanan mereka memerlukan meriam.

Pangeran Jayawikarta bak kerbau yang dicocok hidungnya. Penguasa Jayakarta itu percaya saja. Meriam-meriam pun coba ditembakkan ke dekat Keraton Jayakarta dan berhasil. Pangeran Jayawikarta lagi-lagi meminta konfirmasi.

Rumah Gubernur Jenderal Belanda di Batavia pada masa kekuasaan VOC. (Wikimedia Commons) 

Mereka lagi-lagi berdalih untuk melakukan tes supaya bisa membantu Jayakarta kala dikepung musuh. Omongan Kompeni ditelan mentah-mentah. Alhasil, Pangeran Jayakarta kena getahnya. Orang Belanda di Jayakarta kian bertambah.

Penambahan itu membuat Coen memilih untuk berbalik menyerang Jayakarta dan berhasil pada 1619. Kondisi itu menjadi bukti bahwa omongan penjajah Belanda tak dapat dipercaya. Apalagi, di atas puing-puing kehancuran Jayakarta, Kompeni justru membangun ‘imperium’ yang baru: Batavia.

“Jayakarta dibakar habis, dan diduduki VOC. Coen langsung memerintahkan pembangunan satu benteng baru yang lebih besar dan satu kota Belanda yang kecil, yang dibangun dalam beberapa tahun berikutnya mengikuti gaya di negeri leluhur, dengan kanal dan jembatan."

"Untuk waktu lama Coen menolak memberi nama Batavia pada diriannya, tapi pada 4 Maret 1621, para direktur Kompeni –Hereen Zeventien—menguatkan resolusi yang diambil oleh garnisun Batavia. Dengan penaklukan Jayakarta dan pendirian Batavia, diikuti blockade atas pelabuhan Banten berhasil mengontrol Laut Jawa,” terang Bernard H.M. Vlekke dalam buku Nusantara (2008).