JAKARTA - Sunda Kelapa, Jayakarta, Batavia. Begitu sering Jakarta berganti nama. Di antara nama-nama itu, Batavia jadi yang paling kesohor. Sejak ditaklukkan daerah Jayakarta pada 1619 oleh kongsi dagang Belanda, VOC, Batavia menjelma jadi pusat perdagangan paling strategis se-Asia Tenggara.
"Letaknya (Batavia) yang strategis membuat kedua koloni ini menjadi pusat pemerintahan mereka dengan mengabaikan kenyataan bahwa iklim Batavia mungkin yang paling buruk di dunia," tulis Adam Smith, dikutip Thomas Stamford Raffles dalam mahakaryanya, The History of Java (1817).
Pesatnya perdagangan di Batavia membuat orang-orang lupa bahwa kota ini dibangun dari puing-puing kehancuran daerah kekuasaan Pangeran Jayakarta. Semua bangunan, baik itu rumah hingga masjid dibakar dan dihancurkan tanpa sisa.
Kemudian, di atas puing-puing itu Gubernur Jenderal VOC yang pernah menjabat dua kali (1619-1623 dan 1627-1629) Jan Pieterszoon Coen membangun benteng baru yang lebih besar. Beberapa tahun selanjutnya, Coen membangun satu kota Belanda kecil. Disebut begitu karena arsitekturnya yang mengikuti gaya negeri leluhur, lengkap dengan kanal dan jembatan. Pembangunan itu jadi penanda dimulainya fase awal penjajahan Belanda atas Indonesia.
Drama perebutan Jayakarta
Setidaknya ada empat kekuatan yang memperebutkan wilayah milik Pangeran Jayawikarta, Jayakarta. Empat kekuatan itu adalah Belanda, Inggris, Banten, hingga pasukan Pangeran Jayawikarta sendiri. Dari sekian banyak kekuatan asing, kompeni yang paling lihai. Mereka mampu menyembunyikan hasrat merebut kekuasaan. Datang seakan kawan, Belanda membuat perjanjian dengan Pangeran Jayawikarta.
Penandatanganan perjanjian antara VOC dengan Pangeran Jayawikarta pun terjadi pada 1610. VOC berhasil merebut hati penguasa lokal. Dalam buku Batavia Kota Hantu (2010), Alwi Shahab menjelaskan, dalam salah satu isi perjanjian, pihak Jayakarta memperbolehkan orang Belanda membuat gudang dan mengambil kayu untuk pembuatan kapal-kapalnya di Teluk Jakarta.
Sirat niat lain sejatinya dapat terbaca dari situ. Tentang hasrat Belanda memonopoli perdadangan di kawasan tersebut. Hal itu sesuai dengan program politik yang ditulis oleh Coen semasa muda. Coen menulis program politiknya berdasarkan dua alasan. Pertama, bahwa perdagangan dengan timur diperlukan untuk kesejahteraan Republik Belanda. Kedua, orang Belanda punya hak legal untuk meneruskan perdagangan ini, bahkan memonopoli perdagangan di banyak tempat.
Coen pun diam-diam mendirikan benteng pada 1617. Pendirian benteng itu kemudian tercium oleh Pangeran Jayawikarta. Dirinya mengaku tak senang dengan tabiat Belanda, sehingga Sang Pangeran meminta bantuan Inggris untuk menyerang benteng VOC.
“ini adalah perang terbuka. Sebelas kapal Inggris berpatroli di Dermaga Jayakarta dan mengancam akan memotong semua komunikasi dengan dunia luar. Dengan tujuh kapalnya, Coen bertempur melawan mereka selama tiga jam. Lalu dia memutuskan untuk mundur sementara waktu dari musuh yang lebih unggul,” ungkap Bernard H.M Vlekke dalam buku Nusantara (1959).
Coen pun mundur ke Banda, Maluku untuk menggalang bantuan lebih besar dalam menghadapi kedua kekuatan. Selepas kepergian Coen, benteng Belanda secara ajaib selamat. Kendati demikian, hal itu bukan karena kepahlawanan orang-orang Belanda, melainkan karena Inggris maupun pangeran Jayawikarta yang masing-masing ingin menguasai benteng itu. Sementara, Sultan Banten tidak mau membiarkan salah satu dari mereka memilikinya.
Dalam nuansa penuh frustasi, garnisun Belanda hampir menyerahkan Benteng kepada Pangeran Jayakarta. Kelak, pasukan Banten mencegahnya sehingga wilayah Jayakarta direbut oleh Kesultanan Banten. Imbasnya Pangeran Jayakarta terusir dari daerah kekuasaannya sendiri. Tak hanya itu, diusirnya Pangeran Jayakarta membuat Inggris mundur teratur karena lebih mementingkan permukiman dan barang-barangnya di Pelabuhan Banten.
“Ini memberikan keberanian baru kepada garnisun Belanda. Dan antara jam-jam doa dan malam-malam pesta pora dengan anggur dan wanita, mereka bersumpah dengan khidmat akan mempertahankan benteng itu selama Tuhan mengizinkan,” tambah Vlekke.
Setelah mengambil keputusan Berani itu, para perwira baru tersadar bahwa Benteng tersebut tak memiliki nama. Lantas, semua anggota garnisun langsung mengadakan pertemuan pada 12 Maret 1619. Pertemuan itu menyepakati nama benteng tersebut: Batavia. “Demikianlah asal-usul Kota Batavia jauh dari kejayaan.”
Pada saat Coen kembali dari Banda membawa bala bantuan pada 29 Mei 1916, Coen langsung memimpin seribu pasukan untuk menyerang Kesultanan Banten. Karena unggulnya persenjataan, serangan tersebut hanya membuat satu orang pasukan Belanda gugur. Kota Jayakarta pun ditaklukkan.
Asal-usul nama Batavia
Kemenangan tersebut ternyata meninggalkan kekecewaan pada diri Coen. Kekecewaan tak lain karena dirinya melihat nama "Batavia" hadir di dinding benteng. Padahal, Coen ingin sekali menamakan Bentengnya dengan nama dari daerah kelahirannya, Hoorn. Pada masa itu, orang Belanda masih menjunjung tinggi rasa provinsialisme, di mana setiap daerah yang direbut langsung dinamai oleh daerah tempat mereka lahir.
Coen tak kehabisan akal. Coen lalu memerintahkan membangun benteng baru yang lebih besar. Benteng itu ingin ia namai "Nieuw Hoorn". Namun, tak berhasil. Sebagaimana dijelaskan Adolf Heuken SJ dalam buku Tempat-Tempat Bersejarah di Jakarta (2007), Dewan pimpinan VOC yang disebut Heren Zeventien lebih menyukai nama Batavia.
“Mereka menamai Batavia sebagai kenangan akan suku-bangsa Batavier, nenek moyang bangsa Belanda. Sejak saat itu, Jayakarta disebut Batavia selama 300 tahun lebih,” tutup salah satu tokoh penting dalam penulisan sejarah Jakarta, Adolf Heuken.
BACA JUGA:
Walau telah tiada, ambisi Coen akan Batavia bahkan sampai hari ini masih terlihat di pada batu marmer yang sudah kusam di Museum Wayang Jakarta. Goenawan Mohamad dalam tulisannya di Majalah Tempo berjudul JPC (2016), menyebutkan di batu tersebut terukir dengan jelas sebuah tulisan berbahasa Belanda:
Die Stichter Van Batavia
Jan Pieterszoon Coen
In 1634
Tulisan tersebut memiliki arti sang pembangun Batavia, Jan Pieterzoon Coen dikuburkan pada 1634. Lewat nisannya itulah orang-orang akan memahami bagaimana berambisinya Coen merebut Jayakarta. Apalagi, semboyannya kala itu: Jangan patah harapan, jangan ampuni lawan, sebab kita bersama Tuhan.”