Perang Puputan Badung 1906 yang Memaksa Raja dan Rakyat Bali Berperang Sampai Mati
Keraton Puri Agung (Sumber: Commons Wikimedia)

Bagikan:

JAKARTA - Perang Puputan Badung 1906 merupakan salah satu perang melawan penjajah Belanda yang paling diingat dan membekas di ingatan masyarakat Bali. Dalam perang itu segenap masyarakat Bali yang dipimpin oleh Raja Badung VII, I Gusti Ngurah Made Agung memilih melanggengkan tradisi puputan atau perang habis-habisan sampai mati melawan Belanda.

Puputan merupakan istilah yang berasal dari bahasa Bali "puput", yang artinya tangga, putus, habis, ataupun mati. Istilah tersebut tak jauh beda kala puputan diterjemahkan dalam bahasa Inggris, yang berarti “conclusion” atau “bringing to the end.”

Intinya, puputan berarti suatu akhir yang betul-betul tuntas sebagai bentuk jalan terhormat yang dipilih Raja Badung ketika berlangsungnya perang. Karenanya, orang Bali mengenal tradisi puputan sebagai bentuk menjaga harga diri raja dan masyarakat Bali. Sebagaimana dijelaskan Joko Darmawan dalam buku Ketika Nusantara Berbicara (2017), orang Bali percaya akan tiga hal tentang puputan.

Pertama, nyawa seorang ksatria berada di ujung senjata. Kematian di medan pertempuran adalah kehormatan. Kedua, dalam mempertahankan kehormatan tidak dikenal istilah menyerah kepada musuh. Ketiga, merujuk ajaran Hindu, mereka yang mati dalam peperangan maka roh mereka akan masuk surga.

Wujud ksatria dalam perang puputan sempat pula ditulis dalam laporan surat kabar Hindia-Belanda, De Lokomotief. Pada 1908, mereka menulis bahwa keyakinan masyarakat Bali yang memilih melanggengkan puputan adalah bentuk jalan hidup seorang ksatria sejati. “Tidak boleh mati di rumahnya. Itu adalah pengecut. Itulah sebabnya mengapa ada puputan.”

Monumen Puputan (Sumber: Commons Wikimedia)

Pemicu puputan Badung

Perang puputan bermula dari kandasnya kapal berbendera Belanda milik Kwee Tek Tjiang, Sri Kumala, di Pantai Sanur, malam hari 27 Mei ke dinihari 28 Mei 1904. Atas kandasnya kapal, Belanda menuduh penduduk desa di sekitar pantai itu menjarah muatan kapal.

Ditulis P. Swantoro, dalam buku Dari Buku Ke Buku: Sambung Menyambung Menjadi Satu (2002), dengan alasan penjarahan kapal, pemerintah kolonial Belanda menuntut raja Badung untuk membayar 3.000 ringgit. Akan tetapi, Raja Badung menolak. Raja Badung meyakini apa yang dilakukan tidak melanggar aturan.

Singkat cerita, penolakan Raja Badung segera dijawab dengan aksi militer. “Tak bisa dipungkiri bahwa peristiwa Sri Kumala itu hanya sekadar alasan untuk melancarkan ekspedisi militer terhadap Badung. Tujuan Belanda sebenarnya adalah mewujudkan kekuasaan tertinggi atas semua daerah yang menolak tunduk, untu melaksanakan kebijakan belanda “Pax Neerlandica”.

Kendati demikian, sebelum melakukan aksi militer, Gubernur Jenderal Hindia-Belanda, Joannes Benedictus van Heutsz (1904–1909) mengirim surat lebih dulu kepada Menteri Jajahan pada oktober 1905. Isi surat tersebut tak lain untuk meyakinkan sang menteri bahwa Raja Badung perlu menyadari pemerintah Hindia-Belanda adalah “penguasa sesungguhnya yang harus dipatuhi.”

Berlangsungnya perang puputan

Pasukan Belanda yang telah tiba di Bali pada 20 September 1906 segera melakukan aksi militernya. Belanda, dengan peralatan perang modern segera membombardir daerah kekuasaan kerajaan Badung sejak pagi buta. Mereka pun melontarkan bom-bom lewat kapal perang belanda yang berjatuhan dari langit Denpasar.

Alhasil, istana, puri-puri, hingga rumah warga ikut terbakar. Oleh sebab itu, serdadu Belanda dengan cepat dapat memasuki wilayah kerajaan. Lantas, dalam kondisi terdesak, raja kemudian memutuskan untuk segara melawan. Sebab, untuk terus bertahan sudah tidak mungkin lagi dilakukan. Artinya, puputan menjadi pilihan satu-satunya.

Rincian peristiwa puputan ditulis dalam laporan seorang saksi mata, H.M van Weede. Kala itu, Weede merupakan seorang turis kaya. Ia mendapatkan izin untuk mengikuti ekspedisi Belanda di Bali. Dengan izin itu, Weede menjadi embedded journalist atau jurnalis yang mengikuti pasukan perang.

Weede menulis, pada 20 September 1906 pagi, di halaman depan Puri Denpasar nampak pemandangan yang sangat mengesankan. Digambarkan, mulai dari raja, permaisuri, para pangeran, pelayan, pendeta, dan seluruh warga kerajaan memakai pakaian serba putih yang dilengkapi keris sebagai senjata.

“Kelihatan orang-orang terkemuka berkumpul untuk mengakhiri nyawanya di hadapan pasukan Belanda. Raja dengan pangeran dan para pengikutnya mengenakan busana yang serba indah, bersenjatakan keris yang hulunya terbuat dari emas berwarna merah atau hitam. Rambut mereka diatur rapi berminyak wangi,” ungkap Weede.

Keraton Puri Agung (Sumber: Commons Wikimedia)

Tak hanya itu, para wanita mengenakan pakaian mereka yang paling indah dan semua berselendang putih. Raja lalu memerintahkan agar Puri dibakar, dan semua yang dapat dirusak supaya segera dihancurkan.

Rombongan raja terus bergerak, sampai akhirnya mereka bertemu dengan pasukan infanteri dari Batalyon ke-11. Kala itu, mereka dipisahkan oleh sebidang tanah lapang. Saat pasukan Belanda memerintahkan agar tidak bergerak, yang didapat malah sebaliknya. Rombongan raja bergerak cepat ke depan, dan akhirnya berlari menuju kubu lawan.

Karena itu, pasukan Belanda melepaskan tembakan pertama. Di antara mereka yang gugur pertama adalah Raja Badung. Namun, bukannya mundur, perlawanan makin deras. Mereka kemudian mencoba menyerang sampai akhirnya dibredel oleh peluru.

Para prajurit Bali yang luka ringan pun menikam sampai mati rekan-rekan mereka yang luka luka berat. Sedangkan kaum wanita mencoba membuka dada untuk mengakhiri hidupnya. Sampai-sampai beberapa wanita bahkan melemparkan uang emas kepada para serdadu Belanda sebagai bentuk upah untuk kematian mereka.

Iksana Banu turut merekam detik-detik peristiwa puputan dalam buku Semua Untuk Hindia (2014). Iksaka menegaskan rombongan Raja memang menghendaki kematian. “Setiap kali satu deret manusia tumbang tersapu peluru, segera terbentuk lapisan lain di belakang mereka, meneruskan maju menyambung maut.”

Dirinya juga menceritakan seorang pendeta mencoba merapal doa sembari melompat ke kiri-kanan dan menusukkan kerisnya ke tubuh rekan mereka yang sekarat. Hal itu disinyalir untuk memastikan agar nyawa rekan-rekannya benar lepas dari raga.

Peristiwa puputan pun hanya berlansung selama satu jam, yakni 11 hingga 12 siang. Selepas itu, keadaan menjadi sunyi sepi dengan timbunan mayat yang menggunung di lapangan. Untuk mendapatkan gambaran makna dari peristiwa itu, syair ciptaan Sang Raja I Gusti Ngurah Made Agung yang memiliki gelar kehormatan, Ida Betara Tjokorda Mantuk Ring Rana (Raja yang Gugur di Medan Laga) sebelum dirinya tewas dalam perang, dapat didalami:

Ande capung ngumbara ring langit, yan mating gah, ring tanah tan tanah, ring kayu boya kayune, ring batu boya batu, ring parigi boya parigi, ring apa boya apa, saru lebih saru, tingkah manone ring awak, sajatine, ada matukul ring ati, mati tan tumut pejah.

Sebagaimana yang dikutip dari Wayan Kun Adnyana dalam buku Pita Maha: Gerakan Seni Lukis Bali 1930-an (2018), Syair itu merupakan tembang geguritan yang telah mengamanatkan pendirian raja tentang kematian yang sempurna (mati tan tumut pejah).

“Kematian sebagai muara dari kesejatian jalan hidup. Mati bukanlah kesia-siaan, ataupun sebaliknya, tidak menyia-nyiakan kematian. Baginya, lebih baik mati daripada hidup terjajah,” tutup Wayan Kun Adnyana.