JAKARTA - Soekarno mempunyai seorang ibu berdarah Bali. Ida Ayu Nyoman Rai, namanya. Takdir itu membuat Bung Karno bangga bukan main. Ia menganggap dirinya adalah bagian tak terpisahkan dari Pulau Bali. Karenanya, aktivitas politik Bung Karno dan partai politiknya mendapat dukungan dari seisi Bali.
Anak Soekarno, Megawati Soekarnoputri tak mau kalah. Ia ikut kecipratan berkah. Dukungan rakyat Bali diwarisi penuh oleh Megawati dan partainya, Partai Perjuangan Indonesia Perjuangan (PDIP), tanpa terkecuali.
Pulau Bali punya kesan tersendiri bagi Bung Karno. Asal-usul keluarga sang ibu ada di baliknya. Diketahui Ibunya, Ida Ayu Nyoman Rai adalah wanita kelahiran Bali dari kasta tertinggi, Brahmana. Ibunya lahir dari keluarga yang terhormat. Apalagi Ida Ayu memiliki paman Raja Singaraja (Buleleng) terakhir.
Alhasil, Bung Karno mengagumi segala macam laku hidup keluarganya. Kekaguman itu berasal dari nyali keluarga ibunya yang berani melawan Belanda habis-habisan. Semangat itu terangkum dalam semangat Perang Puputan (perang sampat titik darah penghabisan).
Saban hari kisah itu diceritakan oleh ibunya kepada Bung Karno. Karenanya, terpatri sebuah semangat untuk segera membebaskan kaum bumiputra dari belenggu penjajahan Belanda. Nyatanya, nyali Soekarno tak jauh beda dengan leluhurnya.
Ia tumbuh sebagai sosok yang berani. Ia dan pejuang kemerdekaan lainnya mampu membawa Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945. Ia pun menjelma sebagai orang nomor satu Indonesia. Seisi Bali pun bangga bukan main.
Sebagai bentuk balas kasih, Presiden Indonesia memprioritaskan pembangunan Bali sebagai tempat pariwisata kelas dunia. Segala macam fasilitas dan infrastruktur penunjang pariwisata dibangunnya. Hotel Bali Beach (kini: Grand Inna Bali Beach Hotel), Misalnya. Pun kemudian sosoknya menjadi kebanggaan segenap warga Bali.
“Kakek dan moyangku dari pihak ibu adalah pejuang‐pejuang kemerdekaan yang gagah. Moyangku gugur dalam Perang Puputan, suatu daerah di pantai utara Bali di tempat mana terletak Kerajaan Singaraja dan dimana telah berkobar pertempuran sengit dan bersejarah melawan penjajah.”
“Ketika moyangku menyadari, bahwa semuanya telah hilang dan tentaranya tidak dapat menaklukkan lawan, maka ia dengan sisa orang Bali yang bercita‐cita mengenakan pakaian serba putih, dari kepala sampai kekaki. Mereka menaiki kudanya, masing masing menghunus keris, lalu menyerbu musuh,” ujar Bung Karno sebagaimana dikutip Cindy Adams dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (1965).
Dukungan untuk Megawati dan PDIP
Eksistensi Soekarno di Bali sempat meredup setelah terjadinya Gerakan 30 September (G30S) pada 1965. Apalagi pembantaian massal sederet simpatisan dan orang-orang yang dianggap bagian Partai Komunis Indonesia (PKI) berlangsung di Bali.
Peristiwa itu membuat Soeharto menggantikan peran Bung Karno sebagai orang nomor satu Indonesia. Setelahnya, Orde Baru (Orba) pun lahir. Soeharto menjadikan Bali sebagai basis massa partainya, Golongan Karya (Golkar). Ia mencoba menghapus seluruh pengaruh Bung Besar di tanah leluhur trah Soekarno.
Nyatanya, nurani warga Bali tak mampu dibeli. Utamanya, saat nama anak kedua Bung Karno, Megawati Soekarnoputri mencuat ke panggung politik pada 1987. Megawati kala itu menjadi ikon perlawanan rakyat kecil terhadap Soeharto dan Orba. Keberanian Megawati itulah membuat nyala semangat seisi Bali yang sudah kandung trauma dengan kepemimpinan Soeharto yang melanggengkan pembantaian massal di Bali pada 1965.
Mereka menganggap Megawati adalah bagian dari Bali. Dukungan pun menguncur kepada Megawati dan partainya, PDIP. Semenjak itu Bali menjadi basis kuat dan lumbung suara partainya. Dukungan itu membuat Megawati mampu melaju lebih jauh di panggung politik. Bahkan, kemudian mampu menjadi Presiden Wanita Pertama Indonesia dalam sejarah.
Eksistensi Megawati dan PDIP di Bali pun dapat dilihat dari kemenangan beruntun PDIP dari pemilu 1999 hingga kini. Karenanya, orang-orang menyebut Bali sebagai bagian tak terpisahkan perjalanan karier politik Megawati dan PDIP. Alias Bali kerap dianggap sebagai kandang Banteng (merujuk lambang PDIP).
“PDIP hadir dengan slogan wong cilik yang selalu tertindas saat rezim Orba berkuasa. Masyarakat Bali pada terbius dengan sentiment identitas darah bali pada diri Soekarno yang mempunyai ibu seorang perempuan Bali dari Buleleng dan tentu saja Megawati ikon PDIP. Posko-posko PDIP berjamuran berdiri. Benderanya dengan ukuran super besar diarak dan dipasupati (disakralkan) di jalan, lalu dipasang menghiasi setiap sudut kota.”
“Bali saat itu benar-benar memerah menjelang Pemilu 1999. Hasilnya mencengangkan. Golkar yang selalu mendominasi selama Orba, terpuruk oleh partai moncong putih PDIP di Bali –maupun nasional. Namun, pada 2004, meski PDIP tetap mendominasi Bali, namun secara keseluruhan Golkar menang secara nasional,” ungkap I Ngurah Suryawan dalam buku Mencari Bali yang Berubah (2008).