Bagikan:

Kita telah melihat begitu banyak sejarah yang menunjukkan bagaimana privilege dibentuk lewat mekanisme politik dalam "Selangkangan Penguasa dan Sejarah-Sejarah yang Menggambarkannya". Lanjutan dari Tulisan Seri khas VOI, "Privilege: Mitos atau Nyata?". Lewat artikel ini kita dalami privilege politik yang terjadi di dalam negeri. Tentang Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan anak menantunya yang bakal maju jadi kepala daerah.

Dinamika politik di lingkaran Presiden Joko Widodo (Jokowi) bergerak pesat. Anak dan menantunya, Gibran Rakabuming Raka dan Bobby Nasution resmi menceburkan diri ke dunia politik. Keduanya maju dalam pemilihan kepala daerah (pilkada). Gibran dari PDI Perjuangan (PDIP), sedangkan Bobby maju dari Partai Golkar. Banyak pihak melihat keputusan keduanya maju dalam pilkada sebagai upaya Jokowi membangun dinasti politik.

PDIP --partai yang mengusung Gibran dan Jokowi-- menolak anggapan itu. Jokowi, Gibran, Bobby, atau pun PDIP boleh saja menolak. Namun, pengamat politik LIPI Aisah Putri Budiarti berkata lain. Menurutnya, upaya membangun dinasti politik di lingkaran Jokowi amat jelas. Apalagi, dulu keluarga Jokowi dianggap jauh dari dunia politik. Tak ada sedikit pun tanda anak-anak presiden bakal mengikuti langkah sang ayah. Keputusan Gibran dan Bobby maju pilkada mengubah itu.

"Imej lama Jokowi itu sesungguhnya positif karena ia memperlihatkan bahwa dirinya berbeda dari elite politik kebanyakan yang punya kecenderungan untuk membangun dinasti dan oligarki politik. Sayangnya, imej itu rusak setelah beberapa nama calon kepala daerah pada pilkada 2020 berasal dari lingkaran dekat keluarga Jokowi," kata Puput kepada VOI, Jumat, 28 Februari yang lalu.

Gibran dan Bobby sebenarnya tak dilarang masuk ke dunia politik dan mengikuti jejak Presiden Jokowi. Hanya saja, majunya kedua orang tersebut di Pilwalkot Solo dan Medan dianggap bukti dari pencalonan yang instan. Di Pilwalkot Solo, Gibran berhasil menggeser dua jagoan PDIP yang sebelumnya jadi kandidat paling kuat untuk dimajukan dalam kontestasi.

Di detik akhir, Achmad Purnomo yang merupakan Wakil Wali Kota Solo aktif dan Teguh Prakosa --anggota DPRD Solo yang juga pengurus DPC PDIP-- harus mengalah pada Gibran. Pertemuan Sang Putra Mahkota dengan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri di Jalan Teuku Umar, Jakarta Pusat pada 24 Oktober 2019 lalu diyakini jadi kunci. Ada privilege yang coba dimanfaatkan dalam langkah politik Gibran dan Bobby.

"Sebenarnya, secara prosedur hukum, siapa pun berhak menjadi calon kepala daerah dan mengikuti kontestasi pilkada karena itu adalah hak politik yang dilindungi konstitusi. Namun, yang menjadikannya persoalan dan kontroversi adalah situasi pencalonan yang instan," kata Puput.

Gibran saat mengunjungi Megawati (Wardhany Tsa Tsia/VOI)

Lebih lanjut, Puput memandang tak mungkin memungkiri privilege politik Gibran dan Bobby sebagai anggota keluarga inti Jokowi. Pemanfaatan hal paling kecil adalah nama besar Jokowi. Dalam politik, nama besar adalah hal yang amat penting untuk membuka banyak akses yang tak mungkin didapat mereka yang tak membonceng nama besar.

Selain itu, nama Jokowi juga bisa mereka manfaatkan sebagai vote-gather atau daya tarik orang untuk memilih mereka. Dalam konteks ini, nama besar itu bahkan lebih penting. Gibran dan Bobby yang notabene pemula tanpa catatan dalam birokrasi akan kesulitan menghimpun kepercayaan para pemilih. Nama Jokowi setidaknya mampu memberi daya dorong dalam faktor itu.

Tak cukup bonceng nama besar

Perkara privilege ini sejatinya cukup dekat dalam sejarah PDIP. Sang Ketua Umum, Megawati Soekarnoputri adalah salah satu contoh lain dari privilege politik. Tak sekentara Gibran dan Bobby. Namun, bagaimana Megawati memanfaatkan kebesaran nama ayahnya, Presiden Soekarno tak mungkin terpungkiri.

"Pasti ada faktor itu karena memang sosok Soekarno melakat di PDIP, dan megawati merupakan putri Soekarno ... Namun, yang menarik, Megawati tidak bisa juga disebut politisi karbitan karena telah melewati proses kerja politik yang lama dan tidak mudah juga, terutama melihat posisi PDIP saat Orde Baru," kata Puput.

Jauh ke era Orde Baru. Saat itu, Presiden Soeharto membuat kebijakan menyederhanakan sistem kepartaian. Sejumlah partai melebur menjadi satu. Termasuk beberapa partai yang membulat jadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Deklarasi pendirian PDI ditandatangani oleh lima orang pimpinan partai.

Mereka adalah M.H. Isnaeni dan Abdul Madjid dari PNI, A. Wenas dan Sabam Sirait dari Parkindo, Beng Mang Reng Say dan Wignyo Sumarsono (Partai Katolik), Murbantoko dan R.J. Pakan (Partai Murba), serta Sukmadidjaja dan M. Sadri (IPKI), Walaupun PDI sudah terbentuk, saat itu perolehan suara PDI kurang memuaskan, partai ini juga sulit berkembang dan mempertahankan eksistensinya. 

Pada tahun 1986, popularitas PDI masih merosot, padahal pemilu 1987 sebentar lagi tiba. Tokoh-tokoh PDI saat itu mencari cara mendongkrak suara partai untuk menyaingi Golkar dan dominasi Orde Baru. PDI menganggap salah satu cara yang efektif adalah membangkitkan lagi basis massa Soekarno. Dua tokoh senior PDI yaitu Soerjadi dan Sabam Sirait mengajak putra-putri Bung Karno untuk bergabung ke PDI. Seperti Guntur, Megawati dan Guruh. 

Sabam Sirait menemui Megawati beserta suaminya Almarhum Taufik Kiemas, dengan maksud untuk bergabung ke PDI. Perekrutan Megawati masuk ke PDI dikarenakan Megawati adalah seorang putri proklamator Soekarno, yang dinilai mampu menarik pemilih. Tetapi ajakan Sabam dianggap mustahil dipenuhi oleh kedua pasangan ini, sebab saat itu pemerintah Orde Baru melarang keluarga Soekarno untuk terjun ke politik.

"Waktu itu sedang keras-kerasnya orang antikeluarga Bung Karno. Mana mungkin kami ke politik," kata Megawati saat diwawancarai oleh Republika edisi Senin, 11 November 2013.

Setelah beberapa kali Sabam Sirait membujuk keluarga Soekarno, Megawati akhirnya menerima pinangan Soerjadi untuk bergabung dengan PDI. Saat itu ia diberi jabatan sebagai Wakil Ketua DPC PDIP Jakarta Pusat. Soerjadi selaku ketua umum PDI dan Nico Daryanto selaku Sekjen PDI saat itu mengajak Megawati dan anak-anak Bung Karno lainnya juga ikut dalam kampanye pemilu 1987.

Terjunnya anak Bung Karno dalam kampenye dan penggunaan simbol-simbol maupun poster Soekarno dalam kampanye tersebut berhasil menambah perolehan kursi PDI secara signifikan dari 30 kursi pada Pemilu 1982 menjadi 40 kursi pada Pemilu 1987. Peningkatan perolehan suara PDI berlanjut pada pemilu 1992.

Masih dengan pola yang sama, menggandeng trah Soekarno dan menggunakan simbol Soekarno dalam kampanye. Tahun itu PDI pula mendapat dukungan tambahan dari massa pemuda. Suara PDI juga kembali naik menjadi 14,9 persen dan memperoleh 56 kursi di DPR.

Naik pamornya PDI membuat Orde baru gerah, pada 21 Juli 1993, Kongres IV PDI di Medan, Soerjadi terpilih kembali sebagai ketua umum. Orde Baru yang kesal dengan Soerjadi karena membuat suara PDI terus beranjak naik. Soerjadi dianggap bermaslah, sehingga harus dilaksanakan kongres ulang.

Maka terjadilah Kongres Luar Biasa di Surabaya pada 6 Desember 1993, dua hari sebelum kongres, Menteri Dalam Negeri Yogie S. Memet menerima pesan dari Soeharto. Pada 4 Desember 1993, penguasa Orde Baru itu mengatakan tidak keberatan jika Megawati terpilih sebagai Ketua Umum PDI. Suara mengalir drastis untuk Megawati, sehingga ia dipilih sebagai Ketua Umum PDI secara aklamasi.

Megawati Soekarnoputri (Istimewa)

Naiknya Megawati menjadi ketua umum partai banteng yang awalnya direstui Orde Baru untuk membendung Soerjadi malah membuat Orde Baru gusar. PDI di bawah kepimpinanan PDI justru semakin menggerus suara Golkar pada pemilu berikutnya. Langkah penjegalan kepada Megawati berkali-kali datang lewat perpecahan internal partai.

Orde Baru khawatir, jika dibiarkan kekuatan massa pendukung Soekarno kembali bangkit di bawah kepemimpinan putrinya. Kekhawatiran Orde Baru benar, sebab PDIP bersama Megawati menguat luar biasa. PDIP bahkan jadi salah satu kekuatan paling kuat dalam kancah perpolitikan hingga hari ini.

Meski begitu, privilege bukan satu-satunya modal Megawati. Bukan apa-apa. Megawati bukan satu-satunya anak Soekarno yang maju ke politik. Guruh Soekarnoputra, Guntur Soekarnoputra, atau Sukmawati Soekarnoputri pun sejatinya sempat mencoba peruntungan di dunia politik. Artinya, ada proses politik panjang yang dilalui hingga berhasil melesat jauh bersama partai merah.

"Saya lebih melihat ada proses politik yang dilewati (Megawati untuk bertahan) sehingga akhirnya Mega menjadi sosok putri Soekarno yang menjadi individu politisi, yang bisa dibilang besar dan survive," kata Puput.

Artikel Selanjutnya: Redistribusi Kekayaan untuk Mengatasi Ketimpangan Privilege