Bagikan:

Kita telah membahas bagaimana langkah politik anak dan menantu Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai privilege politik lewat artikel "Privilege Politik di Lingkaran Sang Presiden". Fakta itu sekaligus menegaskan bahwa privilege bukan cuma soal berkah lahiriah. Atas dasar itu, penguasa sejatinya bisa turun tangan memastikan keseimbangan hidup rakyatnya. Ini dia artikel pamungkas dari Tulisan Seri khas VOI, "Privilege: Mitos atau Nyata?"

Bagi Sania, paras cantik amat menguntungkannya. Kemudahan mendapat kerja, sudah dirasakan. Masuk ke dalam lingkungan pergaulan apa pun, Sania bisa. Apalagi perkara asmara. Suami yang kini ia nikahi adalah kekasihnya yang kedelapan. Tampan, kaya raya pula. Ada yang menarik dari rantai ini. Sebab, Ical, sang suami adalah anak yang terlahir dari keluarga supermapan. Tak sulit buat Ical memilih wanita untuk dipersunting.

Bukan. Ini bukan kisah wanita materialistis. Bukan juga tentang cowok tolol yang hanya mengandalkan harta orang tua. Ical saat ini memiliki sebuah toko vaporizer di Depok, Jawa Barat. Modalnya ia kumpulkan dari pekerjaan lamanya sebagai akuntan di sebuah kantor akuntan publik di Sudirman, Jakarta Pusat. Ini adalah kenyataan tentang rantai privilege. Ada kemudahan bagi beberapa orang untuk menjalani hajat hidupnya.

Kisah-kisah lain juga telah kami angkat lewat survei yang kami lakukan di media sosial Twitter beberapa waktu lalu. Tono --bukan nama sebenarnya-- misalnya, yang bercerita, "Waktu mau ambil ijazah (ijazah bikin lagi karena pegawai TU teledor) disuruh nunggu Kepsek selesai rapat buat minta tanda tangan. Kepseknya izin keluar rapat, langsung tanda tangan karena bapak nelepon temennya yang di Dinas Pendidikan," tulisnya.

Perspektif lainnya lebih menarik. Beberapa warganet mengungkap perasaan mereka tentang privilege menjadi muslim di Indonesia, negara yang mayoritas dihuni penganut agama Islam. "Jadi Muslim di indonesia udah jadi privilege. Beribadah tenang, enggak pernah diganggu," tertulis dalam satu kicauan. Lainnya berpendapat sama: Menjadi orang Jawa dan Muslim di Indonesia adalah sebuah privilege.

Jika nyata atau tidaknya sebuah hal ditentukan oleh teori keilmuan, maka privilege adalah hal yang nyata. Sosiolog, Tantan Hermansyah menuturkan sebuah teori yang menjelaskan privilege sebagai hasil interaksi antarsubjek (individu) yang kemudian memiliki fungsi-fungsi dalam hubungan antarsubjek tersebut. 

"Contoh, dalam organisasi. Sekumpulan itu merupakan individu yang bersepakat. Ketika kesepakatan tersebut semakin besar, tampil lah apa yang kita sebut sebagai masyarakat. Masyarakat itu pada praktiknya adalah kumpulan individu tersebut. Mereka diikat oleh aturan," kata Tantan dihubungi VOI, Selasa 3 Maret.

Mengatasi privilege

Suka tak suka, privilege akan memberi jarak antarkelompok. Jangan melihat apa yang akan kami sampaikan sebagai hal klise. Sebab, kunci untuk mengatasi tekanan akibat privilege di antara mereka yang kurang beruntung adalah melakukan introspeksi. Setiap orang dapat mengaji secara objektif soal apa saja yang sudah dan belum ia lakukan untuk mencapai tujuannya.

Suka tak suka, privilege adalah kenyataan yang harus dihadapi seorang individu sebagai makhluk sosial. Dengan memahami itu, seseorang akan melihat konsep privilege secara lebih jernih. Cara yang lebih baik untuk menjalani hidup, tentunya. "Oke saya baru bisa segini kemampuan saya," kata Rosmini, dihubungi VOI, beberapa waktu lalu.

"Kalau orang mau berusaha, enggak ada yang enggak mungkin. Cuma, kebanyakan orang sering merasa mengasihani diri sendiri sehingga dia berlindung dengan hal tersebut, seraya mengatakan 'Orang lain dapat kemudahan-kemudahan, sementara saya tidak,'" katanya.

Pengangkatan tujuh stafsus yang memicu debat soal privilege (Setneg.go.id)

Di luar konteks pengendalian di dalam diri tiap-tiap pribadi, privilege sebagai fakta sosial sejatinya menyangkut dengan amanat Pancasila sila kelima, "Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia". Karenanya, negara harus ambil andil mengisi ketidakseimbangan ini.

Seperti diketahui, ketimpangan di Indonesia masih cukup tajam. Per Maret 2019 saja rasio gini Indonesia berada di angka 0,382. Meskipun turun 0,007 poin dibanding bulan dan tahun lalu, namun menurut Ekonom Faisal Basri keadaan ini bukan berarti situasi sedang baik-baik saja. 

Dalam situs pribadinya, Faisal Basri mengutip laporan Global Wealth Report 2018 yang menyatakan bahwa satu persen orang terkaya Indonesia menguasai 46,6 persen kekayaan nasional. "Dalam sembilan tahun terakhir pemusatan kekayaan cenderung semakin memburuk," tertulis.

Sementara, Peneliti Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) Sadiman Ahmad, dalam tulisannya di laman SMRC menjelaskan ketimpangan ekonomi adalah masalah besar terkait narasi ketidakadilan dalam distribusi kekayaan.

Masalah ini, menurut Sadiman akan mendatangkan mudarat sosial, "Seperti meningkatnya kriminalitas, instabilitas sosial, bahkan obesitas warga," tulisnya. Karenanya, Sadiman berpendapat, jalan yang dapat diambil pemerintah untuk mengatasi ketimpangan dalam konteks privilege sosial adalah menerapkan redistribusi kekayaan.

Skema ini umum digunakan dalam iklim demokrasi. Namun, memang ada pihak yang perlu membayar kebijakan tersebut. "Yang harus membayar, tentu pembayar pajak, yakni masyarakat kelas kaya. Negara harus mengambil sebagian kekayaan kelas atas ini untuk didistribusikan ke kalangan bawah melalui skema program sosial," katanya.

Namun, kebijakan ini bukan tanpa tantangan. Pasalnya, bagi mereka yang dikenai pajak, keadilan sosial mungkin akan dianggap berbeda. Para elite yang dituntut membayar dalam program redistribusi kekayaan itu tak akan menyukainya. Soal sukses atau tidaknya kebijakan ini, semua tergantung bagaimana pemerintah merumuskan redistribusi sosial dengan matang.

Dan yang terpenting adalah kemauan. Sebab, mengutip kembali perkataan Rosmini: Tak ada yang tidak mungkin apabila kita berusaha.

Ikuti Tulisan Seri edisi ini: "Privilege: Mitos atau Nyata?"