Mahkota Abu-Abu Bernama <i>Privilege</i>
Foto dan ilustrasi (Pixabay, Ilham Amin/VOI)

Bagikan:

Selamat datang di Tulisan Seri khas VOI. Hingga Jumat mendatang, kita akan mendalami privilege. Melihat seberapa nyata hak istimewa bagi kehidupan sosial. Privilege bukan cuma tentang berkat lahir. Privilege dapat dibentuk, secara sosial atau pun secara politis. Ikuti terus topik ini, "Privilege: Mitos atau Nyata?"

Setiap orang memiliki garis takdirnya masing-masing. Ada yang hidupnya sangat mudah. Lainnya lebih terjal. Meski demikian, ada "jalur khusus" untuk beberapa orang agar hajat menjalani hidupnya lebih mudah dibanding yang lain. Ia bernama hak istimewa atau privilege. Beberapa waktu belakangan, konsep ini sempat ramai dibicarakan. 'Sang mahkota abu-abu' bahkan jadi kontroversi.

Ingat bagaimana perbincangan media sosial ketika Presiden Joko Widodo (Jokowi) menunjuk tujuh orang milenial sebagai staf khusus presiden? Warganet memperkarakan hak istimewa tujuh orang itu, yang menurut banyak orang jadi dasar penunjukan. Lainnya, membela. Menurut mereka memiliki kapabilitas yang patut dilihat. Kedua pendapat itu wajar. Ketujuhnya adalah orang-orang berpengaruh.

Putri Tanjung adalah CEO dan Founder Creativepreneur. Lainnya, Adamas Belva merupakan pendiri Ruang Guru), Ayu Kartika (perumus Gerakan Sabang Merauke), Angkie Yudistia (pendiri Thisable Enterprise), Gracia Billy (pemuda asal Papua peraih beasiswa Oxford), Aminuddin Ma'ruf (mantan Ketua Pergerakan Mahasiswa Ilsam Indonesia (PMII). Selain itu, nama Andi Taufan juga disoroti sebagai pendiri lembaga keuangan Amartha.

Dengan keadaan itu, mereka yang pro dan kontra setidaknya memiliki dasar yang kuat. Penulis berkepala cemerlang, Eka Kurniawan turut mengutarakan pendapatnya. Menurut Eka, privilege yang dimiliki tujuh nama itu nyata. Eka bahkan mengkritik keputusan Jokowi memilih tujuh nama tersebut. Di mata Eka, tujuh orang itu tak akan mampu melihat kondisi bangsa secara nyata dengan segala privilege yang mereka miliki.

Jokowi dan stafsus milenialnya (setkab.go.id)

"Staf khusus harusnya dari kaum blangsak. Dengarkan mereka, setiap hari, tentu dengan gaji staf khusus, ya, karena kaum blangsak adalah sebanyak-banyaknya warga negara ... Anak-anak orang kaya, CEO ini dan itu, diangkat jadi staf khusus presiden, ngantor di istana, dengan gaji istana, terus nyuruh rakyat Indonesia untuk bersikap adil? Mereka berkesempatan didengar Presiden hampir tiap hari dan bisa memengaruhi kebijakan, itu bukan privilege?" tulis Eka dalam akun Twitter.

Pendapat itu diutarakan Eka untuk menanggapi unggahan Instagram sutradara Angga Dwimas Sasongko yang ada di kubu seberang. Menurut Angga, tak ada privilege dalam penunjukkan Putri Tanjung dan kawan-kawan. Angga bahkan menyebut kritik terhadap keistimewaan tujuh staf milenial sebagai "sentimen kelas sosial." Pendapat itu dibenarkan Eka yang menulis: Ini sentimen kelas? Mungkin iya. Yang diomongin Angga jelas juga sentimen kelas. Dia sedang membela kelasnya.

Mitos atau nyata?

Jika nyata atau tidaknya sebuah hal ditentukan oleh teori keilmuan, maka privilege adalah hal yang nyata. Sosiolog, Tantan Hermansyah menjelaskan sebuah teori yang menjelaskan privilege sebagai hasil interaksi antarsubjek (individu) yang kemudian memiliki fungsi-fungsi dalam hubungan antarsubjek tersebut. 

"Contoh, dalam organisasi. Sekumpulan itu merupakan individu yang bersepakat. Ketika kesepakatan tersebut semakin besar, tampil lah apa yang kita sebut sebagai masyarakat. Masyarakat itu pada praktiknya adalah kumpulan individu tersebut. Mereka diikat oleh aturan," kata Tantan dihubungi VOI, Selasa 3 Maret.

Mengacu pada konsep kesepakatan, privilege sejatinya adalah konsep yang amat samar. Pembentukannya amat tergantung pada kesepakatan kelompok individu (masyarakat). Misalnya, sebuah organisasi mengkhususkan perempuan akan diantar pulang jika acara hingga larut malam. Hal tersebut jadi privilege dari perempuan. Privilege dalam bentuk perlindungan.

"Basis privilege bisa bermacam-macam, tergantung apa yang disepakati di dalam hubungan tersebut," tambah Tantan.

Contoh lain betapa relatifnya privilege dijelaskan Tantan dalam analogi lain. Tentang bagaimana seorang profesor yang amat dihormati di lingkungan akademis, misalnya. Ketika berbelanja di pasar, ia akan setara dengan seorang mahasiswa abadi sekalipun. Maka, eksistensi dari privilege amat bergantung pada kondisi dan situasi lingkungan.

Baik atau buruk?

Relativitas dalam privilege juga menyentuh perspektif baik dan buruk. Kami melakukan survei mandiri dan mendapati sejumlah jawaban perihal privilege. Kisah baik dan buruk yang dialami para pengguna Twitter tentang privilege yang mereka miliki.

Sebuah akun @tonobencinyamuk --bukan nama akun sebenarnya-- misalnya yang bercerita, "Waktu mau ambil ijazah (ijazah bikin lagi karena pegawai TU teledor) disuruh nunggu Kepsek selesai rapat buat minta tanda tangan. Kepseknya ijin keluar rapat langsung tanda tangan karena bapak nelepon temennya yang di Dinas Pendidikan," tulisnya.

Tiga kisah lain ditutur orang-orang yang mengaku mendapat privilege "the power of orang dalem". Daud --bukan nama sebenarnya-- salah satunya. Ia mengaku berhasil masuk ke sebuah perusahaan karena bantuan orang yang ia kenal di dalam perusahaan. "Masuk kerja karena orang dalem. Rahasia umum, bukan kemauan gue, sih. Akhirnya, keluar kerjaan tersebut dengan tidak baik," kata Daud. 

Selain dua kasus di atas, beberapa lainnya mengungkap perasaan mereka tentang privilege sebagai muslim di Indonesia, negara yang mayoritas dihuni penganut agama Islam. "Jadi Muslim di indonesia udah jadi privilege. Beribadah tenang, enggak pernah diganggu," tertulis dalam satu kicauan. Lainnya berpendapat sama: Menjadi orang Jawa dan Muslim di Indonesia adalah sebuah privilege.

Tentang privilege yang tak begitu baik, Budi (nama samaran) bercerita. Seperti Daud, ia masuk ke sebuah perusahaan dengan bantuan seorang keluarga. Namun, tekanan demi tekanan justru ia dapati akibat privilege yang ia dapatkan. "Jadi, selama gue di sana, gue jadi dicari-cari kesalahan gue, hingga puncaknya gue jenuh di circle itu, gue resign," kata Budi.

Cerita menarik lain tentang privilege juga dituturkan Melati (samaran). Tentang seorang teman yang memiliki privilege sebagai anak dosen. Menurut Melati, sang kawan sejatinya berupaya keras membatasi diri dari keuntungan-keuntungan yang ia dapat sebagai anak dosen. Namun, lingkungan menolak kenyataan yang diupayakan sang kawan. Seberapa pun sang kawan berupaya, prestasi-prestasi yang didapat tetap dipandang sebagai keuntungan sebagai anak dosen.

Privilege yang didapat sang kawan bahkan merambat ke Melati. Lingkungan menganggap Melati kecipratan privilege dari sang kawan pemilik privilege. "Untuk teman-teman yang enggak dekat sama dia, kita selalu dicibir, kalau dapat nilai bagus karena dianggap mendapat bocoran. Teman-teman lain jadi ngeremehin kemampuan kita. Padahal, banyak mata kuliah yang benar-benar murni tanpa bantuan orangtuanya," kata Melati. 

Artikel Selanjutnya: Privilege di Selangkangan Penguasa dan Sejarah-Sejarah yang Menggambarkannya