JAKARTA – Sejarah hari ini, 21 tahun yang lalu, 24 Januari 2002, Presiden Megawati Soekarnoputri membuka Sidang Tanwir salah satu organisasi Islam terbesar, Muhammadiyah. Acara itu berlangsung di Grand Inna Bali Beach Hotel Sanur, Bali. Kehadiran Megawati menjadi refresentasi hangatnya hubungan pemerintah dengan Muhammadiyah.
Sebelumnya, Megawati kerap mendukung penuh eksistensi Muhammadiyah dalam agenda mencerdaskan anak bangsa. Dukungan itu karena keluarganya sendiri –kakek dan ayah—pernah jadi bagian dari Muhammadiyah.
Megawati Soekarnoputri amat dekat dengan Muhammadiyah. Kedekatan itu telah dibangun sedari dulu oleh kelurganya. Kakeknya, Hasan Din dan Ayahnya, Soekarno diketahui aktif menjadi bagian Muhammadiyah di Bengkulu.
Megawati pun tak mau kalah. Ia yang kala itu telah menjadi orang nomor satu di Indonesia (2001-2004) aktif mendukung agenda segala macam agenda Muhammadiyah. Apalagi pada era Ahmad Syafii Maarif yang menjabat sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah (1998-2005).
Pria yang kerap disapa Buya Syafii itu tampak mendukung penuh kepemimpinan Megawati. Baginya, terpilihnya Megawati sebagai Presiden Indonesia adalah sebuah fenomena besar. Kehadiran Megawati mampu terabas anggapan lama bahwa wanita tak memiliki kekuatan layaknya kaum pria untuk memimpin.
Nyatanya, Megawati mampu memimpin Indonesia. kepemimpinan kemudian disamakan oleh Buya Syafii seperti pemimpin wanita dunia lainnya. Antara lain Indira Gandhi, Benazir Bhutto, hingga Margaret Hilda Thatcher. Lebih lagi, Megawati mampu memimpin salah satu partai besar di tanah air, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
“Dalam perspektif ini, tampilnya Bu Mega sebagai presiden wanita pertama menjadi tonggak penting untuk merubuhkan pendapat kuno tentang posisi perempuan dalam ungkapan: suwarga nunut, naraka katut (masuk surga ikut –suami--, masuk neraka pun terbawa).”
“Ungkapan ini adalah gambaran kultur feodal yang pekat, di mana kaum perempuan tidak lebih dari pelayan. Fenomena abad modern telah melumpuhkan pandangan yang tidak adil dan tidak manusiawi itu,” ungkap Ahmad Syafii Maarif dalam buku Megawati: Anak Putra Sang Fajar (2012).
Kedekatan itulah yang membuat Megawati kerap diundang sebagai tamu istimewa dalam hajatan yang dilanggengkan Muhammadiyah. Acara SIdang Tanwir Muhammadiyah yang digelar di Grand Inna Bali Beach Hotel Bali pada 24 hingga 27 Januari 2002, misalnya.
Megawati pun didaulat untuk meresmikan Tanwir Muhammadiyah pada 24 Januari 2002. Kedatangan Megawati sebagai bentuk dukungan kepada Muhammadiyah. Megawati mendukung penuh agenda dakwah Muhammadiyah pada lingkup PDIP. Pun kehadiran Megawati sebagai penegas bahwa hubungan pemerintah dan Muhammadiyah semakin mesra.
“Awal Januari 2002, PP Muhammadiyah mengundang Presiden Megawati untuk membuka Sidang Tanwir Muhamamdiyah di Sanur, Denpasar, Bali. Bu Mega datang bersama Pak Taufik Kiemas. Sebagai Ketua PP Muhammadiyah ketika itu, saya bersama anggota PP yang lain menyambut kedatangan keduanya dengan perasaan gembira.
“Tahun-tahun itu Muhammadiyah sedang mencanangkan perlunya digalakkan gerakan kultural sebagai salah satu metode dakwah Muhammadiyah. Sekitar 80 persen massa PDIP adalah umat Islam yang perlu disentuh oleh gerakan dakwah Muhammadiyah,” lanjut Buya Syafii.