Perjanjian Damai Indonesia-Jepang Diteken dalam Sejarah Hari Ini, 20 Januari 1958
Tentara Jepang di Indonesia. (Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 65 tahun yang lalu, 20 Januari 1958, perjanjian damai antara Indonesia-Jepang berlangsung di Jakarta. Indonesia diwakili oleh Menteri Luar Negeri (Menlu) Soebandrio. Sedang Jepang diwakili oleh Menlu Fujiyama Aiichiro.

Peristiwa itu kemudian menjadi bagian penting dalam perjalanan sejarah Indonesia. sebelumnya, Indonesia memiliki luka masa lalu yang amat dalam di masa penjajahan Jepang. Era itu, kaum bumiputra diperas bak sapi perah. Mereka banyak dipaksa bekerja untuk memuaskan keinginan Jepang.

Penjajahan Jepang adalah periode terberat dalam sejarah bangsa. Alih-alih sebagai juru selamat, Jepang nyatanya tak jauh beda dengan Belanda. Keduanya sama-sama memiliki misi yang sama: menjajah demi keuntungan belaka.

Penjajahan itu buat kaum bumiputra jadi korban. Nasib mereka tak dipedulikan. Tingkat pendidikan tak digarap serius. Demikian pula dengan ragam industri. Akibatnya, rakyat Indonesia terjatuh dalam kubangan penyesalan.

Sakit hatinya kaum bumiputra terhadap Jepang yang didominasi pemerintahan militer tak dapat segera sembuh. Semuanya karena Jepang berlagak seperti seorang tuan yang harus dihormati. Saban hari, kaum bumiputra kerap menghadapi arogansi tentara Jepang.

Awal kedatangan pasukan Jepang di Indonesia pada 1942. (Wikimedia Commons)

Kaum bumiputra acap kali dipaksa menyanyikan lagu kebangsaan Jepang, Kimigayo. Lebih lagi, bendera merah putih kebanggaan Indonesia digantikan oleh bendera Jepang, Hi-no-maru. Puncak keburukan Jepang adalah menjadikan segenap rakyat Indoensia sebagai pekerja paksa (romusha) dan budak seks.

“Pada masa fasisme Jepang, militer menjadi komando tertinggi dalam penetapan segala putusan politik. Untuk mengamankan kekuasaan rezim, dibentuklah tatanan pemerintah bergaya militer. Setiap kedudukan penting diisi oleh para petinggi militer. Masyarakat dikondisikan agar selalu waspada dan siap siaga akibat propaganda perang yang tengah berlangsung.”

“Masyarakat dibentuk dan dikendalikan lewat mobilisasi massa, misalnya untuk mengerahkan tenaga kerja yang terdiri atas laki-laki dewasa untuk dijadikan pekerja paksa (romusha) dan perempuan untuk dijadikan budak seks (jugun ianfu). Pada masa ini pula teror-teror terhadap warga senantiasa berlangsung,” ungkap Anna Mariana dalam buku Perbudakan seksual: Perbandingan Antara Masa Fasisme Jepang dan Neofasisme Orde Baru (2015).

Kenangan buruk di masa pendudukan Jepang tak lantas hilang. Ingatan itu terus menjadi mimpi buruk. Sekalipun Indonesia telah merdeka pada 17 Agustus 1945. Narasi Jepang sebagai penjajah zalim terus berdiam pada tiap sanubari orang Indonesia.

Namun, pemerintah Indonesia dan Jepang bersepakat untuk melupakan masa lalu. Keduanya ingin damai dan tak terus-terusan menjadi musuh bebeyutan. Inisatif perjanjian damai pun direncanakan. Dua draf perjanjian disiapkan.

Menlu Jepang, Mamoru Shigemitsu menandatangani Dokumen Kapitulasi Jepang yang berisi Kekaisaran Jepang menyerah kalah dalam Perang Dunia II pada 2 September 1945. (Wikimedia Commons)

Perjanjian damai dan perjanjian pampasan perang yang menguntungkan Indonesia. sebab, dana pampasan perang digunakan oleh Indonesia untuk membangun banyak hal. Dua perjanjian itu akhirnya ditandatangani pada 20 Januari 1958 di Jakarta. Kedua Menlu Indonesia-Jepang mewakili penandatanganan perjanjian itu.

“Perjanjian ini terbagi dua, yang pertama perjanjian damai dan yang kedua perjanjian pampasan perang. Untuk perjanjian damai, mengatur hal-hal yang terkait keinginan untuk mengakhiri status perang dan menciptakan situasi damai antara dua negara.”

“Perjanjian ini berisi tujuh pasal, dan pampasan perang yang harus dibayarkan oleh Jepang diatur dan diterakan di dalam pasal 4 dalam perjanjian tersebut,” ungkap Moh. Gandhi Amanullah dalam buku Matahari Khatulistiwa: Hubungan Indonesia - Jepang dalam Perspektif Sastra dan Sosial Budaya (2020).