JAKARTA - Kuasa Belanda berlangsung cukup lama di Nusantara. Kehadiran kaum priayi sebagai pejabat kolonial Hindia Belanda ada di baliknya. Kaum priayi yang menjabat kepala desa, misalnya. Jabatan itu tak bisa dianggap remeh. Sekalipun tak digaji langsung oleh Belanda.
Mereka mampu meraup penghasilan besar dari cara lain. Persenan itu didapatnya dari mengelola tanah hingga mandor sistem Tanam Paksa. Keuntungan itu buat posisi kepala desa kerap diperebutkan. Apalagi jabatan kepala desa dapat dilakoni seumur hidup.
Maskapai dagang Belanda, VOC tak banyak melibatkan kaum bumiputra dalam kuasanya. Kaum bumiputra dianggap tak mampu bekerja dengan baik, cenderung kurang cermat dan suka perang. Kompeni pun lebih memilih kelompok etnis lainnya.
Namun, semua berubah ketika VOC yang bangkrut digantikan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Pemerintahan baru itu mulai mengakui keterlibatan kaum bumiputra dalam pemerintahan adalah hal penting. Sebab, kehadiran bumiputra –utamanya priayi—dianggap kunci meluaskan kuasa Belanda di Pulau Jawa.
Mau tak mau mereka diangkat sebagai Inlands Bestuur atau pejabat bumiputra. Dari Bupati hingga demang. Semuanya mendapatkan gaji hingga bonus langsung dari Belanda. Pejabat bumiputra yang kerap disebut pangreh praja itu begitu dihormati.
Mereka jadi wakil Belanda di suatu daerah. Alias pejabat bumiputra digunakan untuk jadi alat memanupulasi warga untuk berlaku sesuai keinginan Belanda. Alias kebanyakan pejabat bumiputra hanya menghamba pada kepentingan pribadi, dibanding kepentingan rakyat.
Barang siapa yang menolak kuasa pejabat bumiputra, maka hukuman berat akan menanti. Meski begitu, Belanda tetap melanggengkan rasisme dan ketidakadilan kepada pejabat bumiputra. Perihal gaji misalnya. Gaji antara pejabat Eropa dan Bumiputra bukan main jauhnya.
“Akibat dari perkembangan itu yang sangat mencolok ialah perbedaan ekonomi yang sangat besar antara golongan Barat dan golongan bumiputra. Hanya segolongan kecil kaum bumiputra memperoleh keuntungan dan kedudukan yang baik dalam masyarakal kolonial itu, yaitu golongan pegawai negeri dari pelbagai kedinasan dan pamong praja (pangreh praja).”
“Dalam bidang pemerintahan, pamong praja Eropa bertugas mengawasi pamong praja bumiputra, tetapi dalam praktik mereka mempergunakannya sebagai alat. Semakin lama semakin besar campur tangan mereka dalam soal-soal kecil, sedangkan kepemimpinan serta kekuasaan pamong praja sebagai pegawai semakin dibatasi. Tepatlah apabila dikatakan bahwa mereka dalam keluarga pamong praja boleh dianggap termasuk kategori anak-anak dan pembantu-pembantu,” terang Oleh Marwati Djoened Poesponegoro dalam buku Sejarah Nasional Indonesia Jilid V (2008).
Kuasa Kepala Desa
Hidup sebagai pejabat bumiputra adalah laku hidup yang dimimpikan banyak orang. Alih-alih menjabat sebagai bupati, sekelas kepala desa saja memiliki kuasa yang luar biasa besar. Bisa menjabat seumur hidup pula. Padahal, kepala desa tak seperti bupati atau demang yang digaji rutin Belanda.
Semua itu karena kepala desa mampu melanggengkan kerja-kerja pemerintah kolonial dengan baik hingga pelosok negeri. Di masa Tanam Paksa (1830-1870), misalnya. Mereka jadi kaki tangan Belanda yang bertugas memastikan segala macam tanaman ekspor milik Belanda ditanam oleh penduduk desa yang notabene petani.
Keterlibatan mereka dalam proyek pemerintah –termasuk Tanam Paksa— kerap mendapat imbalan besar. Pemasukan itu bertambah banyak seiring kepala desa memiliki kuasa menarik pajak desa dan mereka mendapatkan hak menggelolah tanah lungguh –tanah milik desa—untuk membiayai gajinya sendiri.
Besarnya pengaruh kepala desa membuat jabatan itu jadi rebutan. Setiap orang ingin bekerja sebagai kepala desa. Namun, untuk dapat berpartisipasi dalam pemilihan kepala desa tak mudah. Minimal calon kepala desa harus mendapatkan restu dari pejabat Belanda.
Restu itulah yang kemudian memungkin seorang kepala desa dapat menjabat bertahun-tahun lamanya. Bahkan, tak jarang jabatan itu dilakoni seumur hidup. Asal kepala desa itu lihai menjaga hubungannya dengan pemerintah kolonial Hindia Belanda.
“Umumnya, seorang kepala dipilih setiap tahun atau tiap tiga tahun, meskipun pejabat lama bisa dipilih kembali dan seringkali menjabat seumur hidup, atau digantikan oleh putranya. Pemilihan hanya suatu konfirmasi atas kedudukannya bagi penduduk. Begitu terpilih, kepala desa bisa mendapatkan kepercayaan dan pengaruh, baik bagi dirinya maupun keluarganya.”
“Pemilihan ini bisa disalahgunakan, sehingga kedudukan seorang kepala desa sebetulnya lebih bergantung pada bupati dibandingkan penduduk desa. Bupati dapat dengan mudah menurunkan seorang kepala desa, dan demi kepentingan pribadinya mengadakan pemilihan ulang untuk menyingkirkan seorang kepala desa,” ungkap Ong Hok Ham dalam buku Madiun dalam Kemelut Sejarah: Priayi dan Petani di Keresidenan Madium Abad XIX (2018).