Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 23 tahun yang lalu, 17 Januari 2000, Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengizinkan etnis China merayakan peringatan hari besar –termasuk Imlek-- di muka umum. Izin itu diberikan Gus Dur dalam bentuk Keputusan Presiden (Keppres) No. 6 Tahun 2000.

Sebelumnya, segala bentuk perayaan orang China di muka umum dilarang pemerintah Orde Baru. Pelarangan itu dilakukan empunya kuasa sebagai langkah antisipasi perpecahan bangsa Indonesia. Alias, perayaan budaya China dianggap sebagai hambatan proses asimilasi bangsa.

Kehadiran orang China di Nusantara telah ada sejak dulu kala. Perdagangan rempah-rempah di masa lalu ada di baliknya. Pun perdagangan itu membuat beberapa di antaranya memilih menetap dan beranak-pinak di Nusantara.

Kehadiran mereka pun tambah istimewa ketika maskapai dagang Belanda, VOC melanggengkan kuasanya. VOC, laku pemerintah kolonial Hindia-Belanda menjadikan orang China sebagai warga istimewa.

Lukisan Abdurrahman Wahid dengan balutan baju cheongsam khas Negeri Tirai Bambu. (Twitter/@pojokgusdur)

Mereka diberikan hak istimewa yang melebihi kaum bumiputra. Narasi itu dikuatkan dengan dijadikannya orang China sebagai warga negara kelas dua di Hindia-Belanda (kini: Indonesia). Artinya, etnis China dianggap berada di atas kaum bumiputra yang notabene sebagai tuan rumah.

Narasi itu kemudian berubah ketika Indonesia merdeka. Keadaan berbalik. Kaum bumiputra menempati kuasa utama. Nasib orang China kian terpinggirkan. Apalagi pada era pemerintahan Soeharto dan Orba. Empunya kuasa secara konsisten membatasi, menekan, dan mengeluarkan kebijakan diskriminatif bagi orang China.

Keluarnya Keppres No. 14 Tahun 1967, contohnya. Kehadiran Keppres itu membatasi laku hidup orang China di Nusantara. Keputusan itu mengatur supaya ibadah hingga perayaan orang China cukup dilakukan secara personal dan perorangan saja.

Kegiatan itu tak dapat dilakukan dengan besar-besaran. Alasannya karena orang China kerap diasosiasikan sebagai bagian dari Komunis. Sebab, Indonesia sebelumnya telah trauma dengan peristiwa Gerakan 30 September (G30S).

Perayaan Hari Raya Imlek di Tulungagung, Jawa Timur pada tahun 1902. (Universiteit Leiden)

“Menimbang bahwa agama, kepercayaan dan adat istiadat China di Indonesia yang berpusat pada negeri leluhurnya, yang dalam manifestasinya dapat menimbulkan pengaruh psikologis, mental dan moril yang kurang wajar terhadap warga negara Indonesia.

Sehingga merupakan hambatan terhadap proses asimilasi. Perlu diatur serta ditempatkan fungsinya pada proporsi yang wajar,” tertulis dalam pertimbangan Presiden Soeharto dalam Keppresnya.

Kebijakan Orba yang dinilai diskriminatif itu bertahan lama. Namun, baru para era pemerintahan Gus Dur kebijakan itu digugurkan. Presiden Indonesia ke-4 itu mengeluarkan Keppres baru No.6 Tahun 2000 yang dikeluarkan pada 17 Januari 2000.

Isinya menggugurkan Keppres No. 14 Tahun 1967 era Orba. Alhasil, orang China di Nusantara dapat melangsungkan perayaan besar adat dan agamanya –termasuk Imlek-- tanpa harus izin sana sini. Bagi Gus Dur upaya pelarangan terhadap etnis China adalah perbuatan melanggar HAM.

Kehidupan etnis China di Nusantara pada masa Hindia Belanda. (Wikimedia Commons)

“Pertama, mencabut Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat China, Kedua, dengan berlakunya Keputusan Presiden ini, semua ketentuan pelaksanaan yang ada akibat Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat China tersebut dinyatakan tidak berlaku.”

“Ketiga, dengan ini penyelenggaraan kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat istiadat China dilaksanakan tanpa izin khusus sebagaimana berlangsung selama ini,” isi Keppres Gus Dur.