Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 105 tahun yang lalu, 13 Januari 1918, banjir besar melanda Kota Batavia (kini: Jakarta). Sungai Ciliwung yang tak kuasa menampung debit air ada di baliknya. Segenap kampung-kampung di Batavia kebanjiran. Bahkan, beberapa ruas jalan di Batavia terlihat bak sungai karena genangan air meninggi.

Sebelumnya, Batavia sudah dikenal sebagai kota yang kerap banjir. Kondisi itu makin parah dengan perilaku warga Batavia yang abai terhadap lingkungan hidup. Alih-alih menjaga lingkungan, mereka justru merusaknya.

Belakangan opsi maskapai dagang Belanda, VOC memilih Jayakarta sebagai pusat pemerintahan dinilai sebagai keputusan yang buruk. Gubernur Jenderal VOC, Jan Pieterszoon Coen disebut-sebut sebagai biang keladi. Kota yang kemudian dikenal sebagai Batavia nyatanya menyimpan banyak masalah. Banjir, salah satunya.

Kondisi itu membuat empunya kuasa bergerak membuat kanal-kanal untuk mengurai banjir. Ajian kanal untuk sementara waktu cukup memuaskan. Banjir jarang melanda Batavia. Petaka baru muncul saat pembukaan lahan dan pembangunan pabrik makin masif.

Utamanya, di masa pusat kekuasaan VOC digantikan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Banjir jadi momok menakutkan yang harus dihadapi warga Batavia. Pemerintah coba putar otak menanggulangi banjir. Namun, masalah klasik kembali muncul.

Sungai Ciliwung yang mellintasi Kawasan Matraman, Batavia (Jakarta) pada tahun 1901. (nga.gov.au)

Pemerintah VOC, kemudian Hindia Belanda sama-sama berlagak seperti tukang kelontong. Pengeluaran dana yang dilakukan untuk menanggulangi banjir tak pernah tuntas. Alias secara tambal sulam. Karenanya, warga Batavia yang jadi korban.

“Salah satu denah Batavia yang pertama dibuat oleh seorang pegawai VOC bernama Floris van Berkenroode. Lelaki ini memang keturunan keluarga pembuat peta: ayahnya dan kakeknya pun mempunyai pekerjaan yang sama. Pada tahun 1627, Van Berkenroode membuat peta yang menunjukkan bahwa Kota Batavia dikembangkan ke arah selatan mengikuti berbeloknya Sungai Ciliwung ke arah timur.”

“Di ujung selatan kota terdapat gerbang dengan jembatan di dekatnya menuju jalan bernama Herenweg. Jalan itu di kemudian hari menjadi Jakatraweg dan kini dikenal sebagai Jalan Pangeran Jayakarta. Pada waktu itu, jalan ini ditimbun supaya lebih tinggi dari daerah sekitarnya karena dalam musim hujan daerah itu ternyata sudah rawan banjir sejak tahun 1627,” ungkap Frieda Amran dalam buku Batavia: Kisah Woodes Rogers & Dr. Strehler (2012).

Ingatan warga Batavia terkait banjir cukup banyak. Namun, banjir yang paling diingat adalah banjir dengan skala besar saja. Banjir besar pada 13 Januari 1918, misalnya. Hujan lebat yang semalaman menghujani Batavia membuat segenap warga Batavia waspada akan banjir.

Perlahan-lahan air mulai menggenangi beberapa jalanan di Batavia. Kondisi itu membuat jalanan terlihat tiada beda dengan sungai. Apalagi kala itu air di Sungai Ciliwung telah meluap. Warga Batavia pun waspada. Mereka akhirnya memilih untuk mengungsi sebelum kejadian buruk mendatangi.

Banjir menjadi pemandangan rutin di Jakarta sejak masih bernama Batavia. (Wikimedia Commons)

“Pada tanggal 13 Januari 1918, akibat hujan lebat, mulai pukul 17.00 air meluap dari Sungai Ciliwung sehingga membanjiri kampung-kampung di sekitarnya. Melihat kondisi banjir tersebut, Kantor Harian Sin Po pada pukul 17.00 mendapatkan telepon bahwa banjir sudah datang dan meminta agar Sin Po mengadakan pemeriksaan ke kampung-kampung.”

“Berita itu benar. Sampai pukul 20.30 air semakin naik dan satu jam kemudian air sudah naik 50 sentimeter. Akibatnya, jalan di sepanjang Noordwijk (kini: jalan Djuanda), Rijswijk (kini: kawasan Medan Merdeka), dan Gang Pecenongan sudah tidak kelihatan dan berubah menjadi sungai. Toko-toko di kanan kiri jalan juga sudah mulai terendam, antara lain jalanan Pasar Baru, Tanah Lapangan Singa (kini: Lapangan Banteng) yang semuanya berada di pinggir Sungai Ciliwung,” ungkap Restu Gunawan dalam buku Gagalnya Sistem Kanal (2010).