Sejarah PDIP dan Tragedi Berdarah Kudatuli, 27 Juli 1996
Kerusuhan dalam peristiwa 27 Juli 1996, perebutan Kantor Pusat PDI di Jl. Diponegoro 58 yang kemudian dikenal sebagai Kudatuli. (Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA - Nyali Megawati Soekarnoputri menentang kekuasaan Soeharto dan Orde Baru (Orba) tiada dua. Ia berani mendobrak janji trah Soekarno tak akan masuk dunia politik. Wanita yang akrab disapa Adis itu bahkan mampu jadi Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Di kemudian hari, PDI berubah nama menjadi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan atau PDIP yang baru merayakan HUT ke-50 pada 10 Januari.

Dukungan padanya meningkat. Orba pun merasa terancam. Mereka melancarkan rencana jahat kepada pendukung Megawati. Alhasil, Orba menggerakkan massa menyerang Markas DPP PDI Jalan Diponegoro 58, Menteng, Jakarta Pusat. Peristiwa itu dikenal luas sebagai Kudatuli, akronim dari Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli.

Kehadiran Soeharto sebagai orang nomor satu Indonesia jadi petaka buat trah Soekarno. Tindak-tanduk trah Soekarno, utamanya laki-laki dibatasi dan diawasi. Pun mereka tak dibiarkan dekat dengan perpolitikan Indonesia.

Alih-alih mencoba masuk, mendekatkan diri dengan dunia politik saja tak berani. Semua itu berubah ketika Megawati mencoba peruntungan di dunia politik pada 1987. sikap Orba pun tak terlalu risau dengan Megawati.

Empunya kuasa menganggap karier politik seorang wanita tak akan mentereng. Apalagi Megawati dianggap tak memiliki karisma dan ambisi seperti bapaknya, Bung Karno. Pandangan itu didukung pula oleh serangkaian anggapan bahwa Megawati tergolong introvert. Alias Megawati cendrung pendiam tak cocok berpolitik.

Peringatan Peristiwa Kudatuli dengan tabur bunga di Kantor DPP PDIP Menteng pada 27 Juli 2021. (pdiperjuangan.com)

Nyatanya, karier politik Megawati mampu membungkam banyak orang. Semua karena duet pimpinan PDI, Soerjadi dan Nico Daryanto menginginkan sosok Megawati jadi bagian dari partai. Keduanya meyakini bahwa kehadiran Megawati dapat mendulang suara besar buat PDI.

Anggapan itu tak meleset. Segenap rakyat Indonesia mendukung langkah megawati di PDI. Kala itu, Megawati dianggap sebagai ikon perlawanan terhadap Orba. Figur Megawati bahkan terlampau kuat. Ia digadang-gadang  mampu menjadi pilihan alternatif untuk menjadi Ketua Umum PDI. Pucuk dicinta ulam tiba, Megawati bernyali untuk menyatakan dirinya sebagai Ketua Umum PDI secara de facto pada Kongres Luar Biasa (KLB) PDI di Surabaya pada 1993.  

“Waktu berdetak berpacu dengan akhir izin kongres. Aparat polisi sudah bersiap-siap menunggu dentang pukul 00:00. Pada pukul 00.00 itulah ijin KLB berakhir, dan polisi mengambil alih ajang KLB. Di kegelisiahan malam itu, ketika pukul 00:00 kurang 10 menit, Megawati tiba-tiba keluar dari kamar. Pekik gemuruh membelah keheningan menyambut kemunculan Megawati. Ia gunakan pengeras suara suaranya, Megawati melancarkan pidatonya.”

“Dan ini yang paling tidak terduga oleh siapa pun, Megawati menyatakan diri secara de facto sebagai Ketua Umum DPP PDI. Pekik sorak pun tak tertahankan. Dan pada bagian akhir pidato pendeknya tanpa teks itu Megawati mengutip karya pujangga besar India, Swami Vivekananda: Tegakkan mukamu menjadi manusia sejati untuk menegakkan kebenarannya,” tertulis dalam buku Tragedi Megawati: Revisi Politik Massa di Indonesia (2000).

Peristiwa Kudatuli

Kuasa Megawati sebagai pucuk pimpinan PDI diterima sementara waktu oleh Orba. Namun, belakangan Megawati kian menjelma sebagai oposisi yang merepotkan. Apalagi, ia kerap dielu-elukan sebagai simbol perlawanan terhadap Orba.

Pemerintah Orba pun bersiasat. Mereka sengaja membuat KLB baru di Medan pada 1996. KLB itu memenangkan Soerjadi sebagai ketua Ketua Umum PDI yang sah. Sedang status kubu Megawati dianggap tidak sah.

Dualisme di dalam tubuh PDI pun terjadi. Bahkan, lebih parah karena mengundang tragedi kemanusiaan seiring aktifnya kubu Megawati menggelar Mimbar Bebas di depan Markas PDI. Peristiwa 27 Juli 1996 atau disingkat Kudatuli pun terjadi.

Kubu Megawati yang mendiami markas ‘Banteng’ di Jalan Diponegoro 58, Menteng, Jakarta pusat diserang simpatisan kubu Soerjadi yang didukung unsur militer Orba. Wartawan senior Indonesia, Rosihan Anwar menjadi salah satu saksi peristiwa berdarah tersebut. Pun kebetulan kejadian itu berlangsung tak jauh dari rumahnya.

Segenap pengurus teras PDIP saat memperingati peristiwa Kudatuli pada 27 Juli 2021. (pdiperjuangan.com)

Ia melihat jalan raya di sekitar lokasi kala itu telah dipenuhi oleh anggota-anggota ABRI. Ambulans pun lalu lalang di sekitar lokasi. Ia pun sudah menduga peristiwa yang kemudian memakan korban jiwa sebanyak lima orang meninggal dunia dan ratusan lainnya luka-luka didalangi oleh Soeharto dan militer. Tujuannya tak lain untuk ‘mengusir’ Megawati dari peta politik Indonesia.

“Akhirnya perwira Polri yang tahu saya wartawan senior, mengizinkan insan-insan pers maju lagi 25 meter. Sampailah kami di jembatan kecil yang melingtangi kali Jalan Surabaya. Dari sana kami bisa memandang luas ke kiri. Tampak depan markas PDI laki-laki tegap berpakaian hitam dengan tanda gambar Banteng, dengan potongan rambut cepak, beramai-ramai melemparkan batu ke rumah yang sedang terbakar.”

“Serangan itu dibalas dengan tidak kurang sengitnya oleh pengikut Megawati dengan timpukan batu pula. Seorang penduduk memberitahukan kepada saya bahwa sejak pagi-pagi benar bus-bus datang dan berhenti di jalan sekitar bioskop terdekat. Megaria. Dari bus-bus itu keluar laki-laki yang menjadi barisan penyerang markas PDI. Asap mengepul dari atap yang gentengnya sudah pecah-pecah. Tidak kelihatan mobil pemadam kebakaran. Lama-lama rumah ini bisa terbakar habis, pikir saya,” ungkap Rosihan Anwar dalam buku Sejarah Kecil ‘Petite Histoire’ Indonesia Jilid 1 (2004).

Terkait