JAKARTA - Resesi ekonomi 1997-1998 adalah periode terberat Indonesia. Kala itu, pemerintah putar otak untuk menstabilkan ekonomi. Segala cara dilakukan. Opsi mengambil utang luar negeri apalagi. Utang dari organisasi Dana Moneter Internasional (IMF), utamanya.
Upaya itu bak cara instan keluar dari krisis. Alih-alih berhasil, utang justru gagal dilunasi. Sekalipun Presiden Indonesia kian berganti dari Soeharto hingga Megawati. Akhirnya Indonesia baru terlepas dari ‘pasien’ IMF pada masa Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Pertumbuhan ekonomi di masa pemerintahan Soeharto dan Orde Baru (Orba) luar biasa besar. Empunya kuasa berhasil melakukan stabilisasi ekonomi yang morat-marit era pemerintah Orde Lama. Keberhasilan itu Soeharto melanggengkan gebrakan baru.
Ia memanfaatkan jasa sederet Ekonom lulusan Universitas California Berkeley, Amerika Serikat (AS) untuk menstabilkan ekonomi. Belakangan mereka dijuluki sebagai Mafia Berkeley. Ekonomi Indonesia yang morat-morit bak disulap menjadi stabil. Bahkan, berkembang pesat.
Kondisi itu bertahan hingga waktu yang cukup lama. Kesuksesaan itu nyatanya tak dibarengi dengan kedewasaan berpolitik pejabat Orba. Segenap pejabat acap kali melanggengkan upaya memperkaya diri sendiri dan foya-foya. Sedang nasib rakyat harus dikorbankan.
Klimaksnya perilaku itu buat Indonesia tak banyak berkutik ketika resesi ekonomi melanda Nusantara pada 1997. Seisi Indonesia terkena dampaknya. Nilai tukar rupiah anjlok, Perusahaan banyak gulung tikar, pengangguran di mana-mana, dan daya beli masyarakat menurun.
Kondisi itu membuat pemerintah gelagapan. Satu-satunya opsi yang paling masuk akal adalah melanggengkan pinjaman luar negeri kepada lembaga keuangan dunia. Salah satu pengajuan pinjaman yang dilakukan adalah berasal dari kocek IMF. Organisasi dana moneter itu bersedia memberikan Indonesia pinjaman besar.
“Sekalipun ekonomi pasar tampak memberi penampilan positif bagi demokratisasi politik, ada pandangan bahwa prinsip ekonomi liberal justru mengakibatkan kedaulatan ekonomi negara mengalami erosi. Hubungan antara IMF dan pemerintah di era tahun 1997 sampai 1998, telah memunculkan perdebatan perdebatan antara kedaulatan negara dan ekonomi pada satu sisi, sedangkan di sisi lain perdebatan antara kedaulatan hukum mekanisme pasar dan demokratisasi politik.”
“Secara empiris dalam sistem ekonomi apa pun tak luput dari hal ini, memiliki celah dan kesenjangan yang dapat memahami bahwa tidak ada mekanisme pasar yang bekerja secara sempurna dengan prinsip-prinsip pasar bebas. Meskipun dunia mengenal pasar bebas, ini tak berarto menghasilkan pasar yang efisien,” ujar Basuki Agus Suparno dalam buku Reformasi & Jatuhnya Soeharto (2012).
Pemerintahan SBY Jadi Juru Selamat
Ajian Orba melawan resesi banyak yang meleset. Akibatnya, Soeharto dan Orba lengser pada 1998. Pun utang Indonesia kepada IMF dan lembaga lainnya dilanjutkan kepada penerusnya: Bacharuddin Jusuf Habibie. Alih-alih fokus melunasi utang IMF, waktu Habibie justru dihabiskan untuk menstabilkan ekonomi.
Upaya yang sama juga dilakukan oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur), hingga Megawati Soekarnoputri. Keduanya belum mampu melunasi utang kepada IMF. Namun, semuanya berubah kita SBY mengambil alih posisi orang nomor satu Indonesia.
Presiden Indonesia ke-6 itu memiliki komitmen kuat untuk melunasi utang IMF yang kala itu mencapai 9,1 miliar dolar AS atau setara dengan 140 triliun dalam kurs sekarang. Ia yang mulai memerintah sejak 2004 mulai mencicil diawal sebanyak 1,3 miliar dolar AS. Alhasil, sisa utang menjadi 7,8 miliar dolar AS.
Ia awalnya merencanakan utang IMF harus lunas pada 2008. Nyatanya, rencana SBY justru lebih cepat dua tahun. Empunya kuasa mampu melunasi seluruh utang kepada IMF dalam tempo dua tahun saja, atau pada 2006. Pemerintahan SBY mencicilnya sebanyak dua kali pada Juni dan Oktober 2006.
Semuanya dapat terealisasi karena ekonomi Indonesia yang perlahan-lahan membaik. Apalagi SBY menganggap utang dengan IMF membuat Indonesia terus merugi dengan membayar bunganya yang meninggi jika tak segera dilunaskan. Akan tetapi, langkah pemerintah kala itu terbatas pada melunasi utang IMF saja. Sedang lembaga lainnya belum dilunasi.
“Inpres No. 5 tahun 2003 tersebut tetap berlaku meskipun telah terjadi pergantian pemerintahan tahun 2004. Inpres tersebut merupakan alat legitimasi secara hukum untuk melakukan liberalisasi ekonomi pasca hubungan dengan IMF. Pemerintah Indonesia mengumumkan akan membayar utang pada IMF yang masih tersisa, senilai total 7,8 miliar dolar AS, dalam tempo dua tahun.”
“Jumlah tersebut adalah sisa utang Indonesia pada IMF sebesar 25 miliar dolar AS saat krisis, secara politik keputusan tersebut tepat, sebagai langkah untuk melepaskan diri dari pemandoran dan intervensi kebijakan ekonomi yang terus berlangsung sejak krisis 1997. Pembayaran utang tersebut dilakukan dua tahap, pada Juni 2006 sebesar 3,75 miliar dolar AS dan sisanya sebesar 3,2 miliar dolar AS dilunasi pada Oktober,” terang Garda Maeswara dalam buku Susilo Bambang Yudhoyono (2009).