Bagikan:

JAKARTA – Memori hari ini, 12 tahun yang lalu, 20 Januari 2013, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menegaskan khitan (sunat) wanita bersifat makrumah. Artinya khitan wanita dianggap ibadah yang dianjurkan. Kondisi itu menegaskan bahwa khitan wanita tak dapat dilarang di Indonesia.

Sebelumnya, banyak negara di dunia mulai melarang praktik khitan wanita. Praktik itu dianggap bawa banyak mudarat dan tiada manfaat. Belakangan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) ingin melarang praktik khitan wanita di Indonesia.

Praktik sunat wanita kerap mendapatkan pro dan kontra. Kelompok agama menganggap khitan punya manfaat yang melimpah, dari kesehatan hingga kesuburan. Kelompok medis beda lagi. Khitan wanita dianggap tak mempunyai manfaat sama sekali. Mudaratnya justru bejibun.

Khitan diyakini bisa mengganggu kesehatan psikologis, seksual, hingga reproduksi wanita. Mudarat besar itu lalu jadi latar belakang Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) menggelorakan pelarangan praktik khitan wanita.

PBB meyebut praktik sunat wanita sudah jadi bagian dari mutilasi alat kelamin (Female Genital Mutilation: FGM) pada 2010. Dunia dimintanya melarang praktik khitan wanita. Indonesia diminta mengambil sikap. Wacana pelarangan sunat wanita mulai dibahas di mana-mana.

Mantan Wapres RI yang pernah menjadi Ketua Komisi Fatwa MUI, Ma’ruf Amin. (ANTARA)

Namun, wacana pelarangan kian kabur kala Menkes, Endang Rahayu Setyaningsih justru mengeluarkan Permenkes Nomor 1636 Tahun 2010. Isinya terkait prosedur dan teknik penyatan dan hanya bagian mana yang bisa disayat.

Semenjak itu diyakini praktik sunat kian meningkat. Orang-orang menganggap praktik itu direstui pemerintah. Semuanya berubah kala Nafsiah Mboi jadi Menkes era 2012-2014. Ia menganggap keberadaan praktik sunat wanita tak bisa dibenarkan.

Praktik sunat wanita tak membawa manfaat. Wanita dianggapnya jadi korban. Ia ingin melarang praktik sunat wanita.

"Secara prinsip, jelas kami keberatan dengan FGM. Itu tidak bisa diterima. Lebih banyak simbolis. Ada yang diletakkan di pisau atau yang cuma menggores. Sepanjang pengetahuan kami, tidak ada yang betul-betul menyunat alat kelamin perempuan," ungkap Nafsiah sebagaimana dikutip laman BBC Indonesia, 26 November 2012.

Wacana pelarangan Khitan wanita dikecam MUI. Lembaga ulama itu menganggap bahwa pelarangan terhadap sunat wanita dianggap melanggar UUD 1945. Suatu produk penting bangsa Indonesia yang menjamin warga negara menjalankan ajaran agamanya masing-masing – termasuk khitan wanita.

MUI menegaskan bahwa khitan wanita hukumnya bersifat makrumah (ibadah yang dianjurkan) pada 20 Januari 2013. Namun, praktik khitan yang dilakukan bukan yang berlebihan. Hanya menghilangkan selaput yang menutupi bagian klitoris.

"Khitan perempuan hukumnya antara wajib, sunnah dan makrumah. Khusus untuk khitan perempuan termasuk makrumah yaitu ibadah yang dianjurkan. Ada beberapa negara yang berlebihan, tapi yang kita lakukan tidak berlebihan. Karenanya menolak tegas adanya pelarangan khitan perempuan karena melanggar UU.”

"Yang kita tolak adalah pelarangan khitan, karena tidak ada satu ulama pun yang melarang khitan. Caranya hanya kulit sedikit saja, memang ada yang dibuang semua, itu yang dipersoalkan seperti di Afrika, tapi di Indonesia sudah sesuai dengan hadis Nabi," ujar Ketua Komisi Fatwa MUI, Ma’ruf Amin sebagaimana dikutip laman detik.com, 20 Januari 2013.