JAKARTA – Memori hari ini, 11 tahun yang lalu, 30 Januari 2013, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) menyatakan maskapai Batavia Air pailit. Keputusan itu membuat seluruh aktivitas operasional Batavia Air berhenti total. Imbasnya ratusan penumpang terlantar dan kecewa.
Sebelumnya, Batavia Air dikenal sebagai salah satu maskapai yang eksis di Tanah Air. Masalah muncul kala Batavia Air mulai menatap asa ikut tender angkutan haji. Batavia Air banyak menyewa pesawat untuk memenuhi syarat, tapi tender tak kunjung didapat. Mau tak mau utang menumpuk.
Indonesia aktif mengirim jamaah haji untuk beribadah ke Arab Saudi. Bahkan, Indonesia jadi salah satu negara yang mengirimkan jamaah haji paling banyak di dunia. Kondisi itu membuat banyak pihak melihat potensi keuntungan besar di balik perjalanan haji. Maskapai Batavia Air, misalnya.
Maskapai swasta kenamaan Indonesia ingin ikut tender angkutan haji sejak 2009. Keinginan itu tak hanya sebatas di mulut belaka. Mereka membuktikannya dengan keseriusannya ikut tender. Pihak Batavia air kemudian memilih untuk menyewa beberapa pesawat Airbus 330 dari International Lease Finance Corporate (ILFC).
Perjanjian sewa pesawat yang dibuat pada Desember 2009 dan berlaku hingga Desember 2015. Ajian itu untuk melengkapi persyaratan jadi angkutan haji. Namun, Kementerian Agama (Kemenag) punya kuasa penuh menentukan pesawat yang jadi angkutan haji.
Batavia Air tak pernah jadi pilihan. Tiga kali ikut tender pun berakhir sama: gagal. Akibatnya, pesawat yang disewa tak maksimal. Batavia Air pun diharuskan tetap membayar sewa. Fakta itu membuat Batavia Air goyang.
Isu kesulitan keuangan mulai tercium. Apalagi, kondisi itu dibenarkan dengan ketidakmampuan Batavia membayar utang yang jatuh tempo pada 13 Desember 2012.
“Harapan Batavia Air mereguk untung dari bisnis penerbangan bertumpu pada pesawat Airbus A330-302 yang mereka sewa. Pesawat itu direncanakan sebagai pengangkut jemaah haji. Tapi apa boleh buat, tiga kali mengikuti tender pengangkutan haji, tak pernah sekali pun maskapai tersebut menang.”
“Padahal perusahaan sudah berutang besar menyewa Airbus dari ILFC, perusahaan penyewaan pesawat tersebut. Ujungnya, Batavia tak mampu membayar utang senilai 4,69 juta dolar AS, yang jatuh tempo pada 13 Desember 2012. Utang sebesar itu akumulasi biaya sewa plus bunga keterlambatan pembayaran. Batavia pun terjun bebas bangkrut,” terang Yuliawati dan Joniansyah dalam tulisannya di majalah Tempo berjudul Aset Lenyap Kurator Meradang (2014).
Mulanya Batavia Air coba bertahan. Namun, kemampuan Batavia Air untuk dapat membayar utang diragukan. Apalagi, Batavia tak hanya berutang dengan IFLC belaka. Batavia Air diketahui memiliki utang lainnya yang kalau ditotal mencapai Rp2,5 triliun.
IFLC ambil sikap. Mereka mengajukan permohonan pailit kepada PN Jakpus karena Batavia Air tak mampu bayar utang. Hasilnya PN Jakpus menyatakan Batavia Air pailit pada 30 Januari 2013.
Keputusan pailit lalu memaksa seluruh aktivitas operasional maskapai penerbangan Batavia Air berhenti beroperasi mulai pukul 00.00 wib, tanggal 31 Januari 2013. Imbasnya ke mana-mana. Penumpang berbagai penerbangan Batavia Air jadi terlantar.
Loket tiketnya kosong, demikian pula dengan kantornya. Pemerintah pun ambil sikap. Mereka mencoba mengajak maskapai untuk mengatasi permasalahan penumpang Batavia Air.
BACA JUGA:
"Kami sudah minta contigency plan atau rencana darurat untuk penumpang yang akan melakukan penerbangan Kamis pagi. Kami sudah memanggil Batavia dan mengajak beberapa maskapai kerja sama untuk melakukan koordinasi mengatasi penumpang Batavia Air.”
“Utamanya mereka yang akan melakukan penerbangan pada 31 Januari 2013. Saya sudah kontak beberapa maskapai, kalau ada seat untuk rute sama, ditampung dengan harga paling rendah," kata Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan Herry Bakti di kantornya dikutip laman Dephub, 30 Januari 2013.