JAKARTA – Sejarah hari ini, 39 tahun yang lalu, 29 Januari 1985, Universitas Oxford menolak memberikan gelar kehormatan (honoris causa) bidang hukum ke Perdana Menteri (PM) Inggris, Margaret Thatcher. Keputusan itu dilakukan karena kebijakan Thatcher tak memihak bidang pendidikan.
Ia dianggap gemar melakukan pemotongan dana pendidikan. Tindakan itu membuat hajat hidup dosen jauh dari kata mapan. Sebelumnya, Thatcher dikenal sebagai PM inggris yang gemar melakukan penghematan.
Margaret Thatcher adalah sosok wanita Inggris yang beruntung. Sokongan orang tua yang tergolong kelas menengah ada di baliknya. Ia mampu mengakses pendidikan tinggi. Thatcher pun masuk ke kampus terbaik Inggris, di Somerville, Universitas Oxford pada 1943.
Jurusan ilmu kimia jadi pilihannya. Pendidikannya berjalan mulus. Ia mampu lulus dalam empat tahun. Kondisi itu justru tak membuatnya bekerja hanya mementingkan diri sendiri. Alih-alih hanya fokus mengejar gaji, Thatcher justru banyak menghabiskan waktu dan pikirannya untuk terjun ke dalam dunia politik 1948.
Partai Konservatif jadi kendaraan politiknya. Suatu keputusan yang melawan arus pada zamannya. Sebab, kebanyakan wanita Inggris mengabdikan dirinya hanya sebagai seorang ibu rumah tangga. Thatcher pun mendobraknya.
Ia jadi bukti bahwa wanita bukan cuma bergelut urusan dapur belaka. Namun, wanita bisa mengurus terkait hajat hidup orang banyak. Pamornya kian kesohor kala Thatcher menjelma sebagai pemimpin Partai Konservatif pada 1975.
Kepemimpinan itu membuatnya muncul sebagai politikus yang disegani. Ia berani menentang Partai Buruh dan segala kepentingannya. Semuanya karena kepentingan Partai Buruh melulu urusan menaikkan upah yang notabene penghambat kemajuan.
Konfrontasi kepada Partai Buruh terus dilakukan kala ia berhasil jadi PM Inggris pada 1979. Ia memilih melakukan kebijakan yang bertentangan dengan kepentingan kaum buruh. Thatcherisme, namanya. Kebijakan itu membuat Inggris mampu mengadopsi iklim pasar bebas hingga privatisasi perusahaan negara. Inggris untung, tapi urusan kesejahteraan rakyat jadi nomor kesekian.
“Dengan itu ia memang berhasil membangkitkan produktifitas nasional. Menurut survei OECD, Inggris, yang pernah berada di peringkat ke-12 dalam bidang manufaktur, naik ke peringkat ke-5 dalam periode 1979-1994. Bahkan memasuki 2007, produktivitas per kepala di seluruh perekononomian sederajat dengan Jerman. Terapi Thatcher yang menggebrak terbukti manjur.”
“Tapi gebrakan itu juga melanjutkan politik sebagai antagonisme sosial. Jurang antara yang miskin dan yang kaya melebar. Di Eropa, Inggris jadi negeri yang paling parah ketimpangan sosial-ekonominya. la memang bukan lagi Si Sakit dari Eropa, namun jumlah penganggur naik dari sekitar 4 persen jadi di atas 9 persen. Orang yang hidup di bawah garis kemiskinan meningkat sampai di atas 22 persen,” terang Goenawan Mohamad dalam tulisannya di majalah Tempo berjudul Thatcher 1925-2013 (2013).
Kepemimpinan Thatcher pun mengundang pujian. Pendukungnya coba mengajukan nama Thatcher sebagai penerima gelar kehormatan bidang hukum dari Universitas Oxford yang notabene almamaternya.
Namun, keinginan itu mendapatkan pertentangan yang serius. Suara-suara terkait Thatcher tak layak menerima gelar kehormatan menggelegar ke mana-mana. Narasi itu berkembang karena selama memerintah Thatcher justru banyak melakukan pemotongan besar-besaran terhadap dana pendidikan.
Alhasil, Universitas Oxford melakukan pemungutan suara dari kalangannya. Hasilnya banyak yang monolak Thatcher dianugerahkan gelar kehormatan bidang hukum. Oxford pun ambil sikap. Mereka secara resmi menolak memberikan gelar kehormatan kepada Thatcher pada 29 Januari 1985.
BACA JUGA:
“Gaji dosen, tidak pernah jadi perhatiannya. Jabatan mengajar yang kosong dibiarkan tidak terisi. sistem tutorial, yang pernah menjadi landasan reputasi Oxford, kini terancam ketinggalan zaman. Thatcher sangat terobsesi dengan anggaran.”
“Masa jabatannya yang kontroversial ditandai dengan keinginannya yang tanpa belas kasihan untuk memotong pengeluaran pemerintah dan memperluas prinsip-prinsip pasar bebas ke setiap sektor masyarakat Inggris. Orang Inggris, mau tidak mau, harus belajar kompetitif. Dan universitas, jelasnya, tidak akan mendapat dispensasi khusus. Seperti semua orang di masyarakat baru, mereka harus membiayai hidup mereka sendiri,” ujar James Atlas dalam surat kabar The New York Times berjudul Oxford Versus Thatcher's England (1988).