JAKARTA – Memori hari ini, enam tahun yang lalu, 26 Januari 2018, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Puan Maharani mengaku miris karena anak Indonesia banyak tak hafal lagu daerah. Mereka lebih hafal lagu dewasa macam karya Via Vallen.
Sebelumnya, pemerintah Indonesia memiliki mimpi memajukan pendidikan karakter terhadap anak bangsa. Semua itu dirumuskan dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter.
Tiap pemimpin bangsa memiliki ajiannya sendiri dalam memupuk nasionalisme dan karakter bangsa. Soekarno, misalnya. presiden Indonesia ke-1 itu punya ajian dengan melarang hadirnya musik barat. Musik berirama ngak ngik ngok –sebagaimana kata Bung Karno— dianggap tak mencerminkan jati diri bangsa.
Musik itu dianggap wujud dari imperalisme budaya. Bung Karno ambil sikap. Bung Besar mengeluarkan Penetapan Presiden Nomor 11 Tahun 1963 KUHP. Isinya terkait pelarangan rakyat Indonesia menyanyikan musik berbau Barat.
Penetapan itu dilakukan supaya anak bangsa melestarikan budaya Indonesia. Namun, pelarangan itu berbuah kecaman. Kondisi yang tak jauh berbeda terjadi pula di era Orde Baru (Orba).
Pemerintahan Soeharto pun tak mau kalah. Orde Baru (Orba) tak melarang hadirnya lagu barat, tapi pemerintah melarang lagu-lagu dengan narasi cengeng.
Ambil contoh lagunya Betharia Sonata-Hati yang Luka (1987). Lagu itu dianggap bukan karakter bangsa. Alih-alih lagu Betharia Sonata buat bangsa Indonesia produktif, lagu itu dianggap Orba berpotensi menghambat pembangunan nasional.
Pemerintah pun banjir kecaman. Pemerintah dianggap oleh musisi membunuh kreativitas. Tantangan memupuk nasionalisme lalu coba dihadirkan lagi di masa pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Empunya kuasa menganggap penting adanya penguatan pembangunan karakter.
Keinginan itu lalu dituangkan dalam Perpres Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter. Kehadiran Perpres pun bak jadi 'senjata' pemerintah pusat mengajak pemerintah daerah dan jajarannya ikut melestarikan budaya lokal – utamanya lagu daerah. Langkah itu dilakukan supaya seisi Indonesia dapat menyerap nilai luhur bangsa.
“Bahwa Indonesia sebagai bangsa yang berbudaya merupakan negara yang menjunjung tinggi akhlak mulia, nilai-nilai luhur, kearifan, dan budi pekerti. Bahwa dalam rangka mewujudkan bangsa yang berbudaya melalui penguatan nilai-nilai religius, jujur, toleran, disiplin, bekerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan.”
Dilanjutkan dengan sikap cinta tanah air, menghargai prestasi, komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan bertanggung jawab. Semuanya perlu penguatan pendidikan karakter,” isi pertimbangan dalam perpres Nomor 87 Tahun 2017.
Kehadiran Perpres pun mulai dikomunikasikan segenap menteri dari pemerintahan Jokowi. Menko PMK, Puan Maharani, misalnya. Ia tak saja memiliki misi mengenalkan ide revolusi mental, tapi juga mengajak segenap jajaran pemerintah daerah hingga guru-guru untuk berpartisipasi menguatkan pendidikan karakter.
Misi itu membuat puan mendatangi Sekolah Plus Cinta Budaya, Medan, Sumatera Utara pada 26 Januari 2018. Ia mengisi diskusi terkait: Peran Guru Dalam Pembangunan Karakter Bangsa. Anak dari Megawati Soekarnoputri itu mengajak serta guru-guru untuk aktif mengajarkan sembari memperkenalkan lagu daerah.
BACA JUGA:
Puan merasa memperkenalkan lagu daerah memiliki urgensi tinggi. Sebab, ia miris melihat anak Indonesia justru banyak hapal lagu dewasa macam lagu Via Vallen. Masalah muncul. Lagu daerah jadi tak dikenal generasi muda.
"Guru harus bisa mengarahkan bagaimana anak-anak bisa belajar sebagaimana yang harus diajarkan melalui pendidikan karakter, baik intra maupun ekstrakulikuler. Di sini guru harus mengajarkan lagu-lagu nasional dan daerah. Jadi murid-murid harus hapal dengan lagu-lagu daerah, sebab saat ini banyak anak-anak lebih hapal lagu dewasa. Bahkan, kalau di Jawa lebih hapal lagunya Via Vallen," ujar Puan sebagaimana dikutip laman Kumparan, 26 Januari 2018.