Bagikan:

JAKARTA – Budaya carok dari Madura kembali menjadi perbincangan belakangan ini. Carok adalah budaya yang terjadi sejak lama, namun menurut pakar sosiologi, dalam konteks tertentu carok tidak sejalan dengan hukum negara.

Budaya carok ramai dibahas lagi menyusul insiden yang terjadi di Desa Bumianyar, Kecamatan Tanjung Bumi. Kakak beradik dengan inisial H (39) dan M (30) diketahui ditangkap Kepolisian Resort (Polres) Bangkalan di Jawa Timur pada Jumat (12/1/2024).

Kedua menjadi tersangka atas insiden carok maut yang menewaskan empat orang, yaitu Matterdam, Mattanjar, Najehri, dan Hafid.

Korban tewas dalam aksi carok di Tanjung Bumi, Bangkalan, Madura pada Jumat (12/1/2024). (Istimewa)

Sebagai informasi, carok massal yang menewaskan empat orang di Kabupaten Bangkalan ini merupakan kali kedua terjadi di Pulau Madura dalam kurun 18 tahun terakhir. Kasus serupa pernah terjadi di Kabupaten Pamekasan pada 2006.

Sebanyak tujuh orang tewas dan sembilan lainnya luka-luka akibat carok massal di Desa Bujur Tengah, Kecamatan Batumarmar, Kabupaten Pamekasan kala itu. Saat itu peristiwa carok dipicu karena rebutan tanah percaton.

Berkaca dari kasus tersebut, sekarang banyak orang bertanya-tanya mengenai carok dan mengapa itu menjadi tradisi asal Madura.

Tradisi Mempertahankan Harga Diri

Carok adalah suatu tradisi yang melekat di masyarakat Madura. Carok merupakan tradisi di mana seseorang yang berusaha mempertahankan harga dirinya maupun keluarga, bagi orang lain yang ingin melecehkan istri atau anaknya.

Budaya carok sendiri pernah dituangkan dalam film pendek dengan judul “Carok” pada 2018. Film garapan sutradara Ivan Poetra ini bercerita tentang tradisi tarung nyawa di Madura dan menggunakan bahasa lokal dalam dialognya.

Menurut Sosiolog Universitas Indonesia (UI) Ida Ruwaida, sudah menjadi pengetahuan umum, khususnya di Indonesia, bahwa carok merupakan bagian dari budaya etnis Madura. Ia mengatakan praktik sejenis juga terdapat di Bugis yang dikenal dengan budaya Siri.

“Prinsipnya adalah mengedepankan 'harga diri' atau 'martabat', yang biasanya di level keluarga atau komunitas,” kata Ida kepada VOI.

Polres Bangkalan merilis penangkapan tersangka H (kiri) dan M dalam kasus carok massal Tanjung Bumi, Bangkalan, Madura, Minggu (14/1/2024). (Antara/HO-Polres Bangkalan)

Ida menuturkan, carok biasanya dipicu karena adanya perlakuan yang dianggap memalukan, merendahkan, atau melecehkan keluarga maupun komunitas.

Dalam kasus yang baru-baru ini terjadi di Bangkalan, insiden carok massal ini berawal ketika salah seorang pelaku menegur satu korban saat sedang pergi ke tempat tahlilan di desanya. Namun korban tidak terima dan langsung naik pitam dengan menghampiri tersangka. Keduanya terlibat adu mulut hingga menantang pelaku untuk bertarung satu lawan satu.  

Namun, merujuk pada apa yang terjadi pekan lalu, Ida menilai budaya carok dalam konteks tertentu tidak sejalan dengan hukum negara.

Situasi di RSUD Bangkalan, Jawa Timur, Sabtu (13/1/2024), saat mobil jenazah mengantar korban carok menuju rumah duka setelah dilakukan otopsi oleh petugas medis. (Antara/HO-Polres Bangkalan/am)

“Karena apapun bentuk kekerasan, apalagi hingga menghilangkan nyawa pihak lain, tentu akan berhadapan dengan hukum,” Ida menjelaskan.

Ida menambahkan perlunya tindakan hukum sehingga tidak ada pembenaran bahwa tindak kekerasan yang terjadi adalah karena tradisi. Tidak menutup kemungkinan ada pihak yang melakukan tindak kekerasan, kemudian beralibi  karena budaya, padahal  pelaku memanfaatkan atau berlindung dibalik tradisi atau budaya.

“Sebab itu perlu berhati hati menyebut adanya budaya kekerasaan,” ucapnya.

Mulai Jarang Ditemui

Sosiolog Universitas Trunojoyo Madura (UTM), Mutmainnah juga ikut menyoroti istilah carok massal yang baru saja terjadi di Bangkalan dan menewaskan empat orang. Menurut dia, peristiwa tersebut tidak dapat disebut sebagai carok.

Menurutnya, makna carok yang sebenarnya adalah pertarungan satu lawan satu menggunakan senjata tajam dan senjata yang biasa digunakan adalah celurit.

Mutmainnah mencoba meluruskan ihwal carok massal ini. Ia menegaskan, carok adalah duel satu lawan satu di dalam sarung dengan masing-masing memakai celurit. Carok sesungguhnya dikatakan Mutmainnah benar-benar bersabung nyawa karena hanya dilakukan di salam sarung.

Namun saat ini carok seperti memiliki pergeseran makna dan malah menjadi pertarungan bebas. Sehingga mereka yang bertarung bisa menyerang saat musuh lengah.

“Menurut saya itu bukan carok sudah, itu pembunuhan. Sama dengan kita menggunakan belati, pistol, atau benda tajam lainnya. Itu perubahan yang sangat mendasar,” tuturnya.

Film Carok menceritakan cerita budaya carok di Madura. (Instagram/@filmcarok)

Pemerataan pendidikan sejatinya bisa menghilangkan budaya carok. Namun kenyataannya, budaya carok tidak benar-benar hilang. Masih banyak masyarakat Madura berpendidikan tinggi menyelesaikan masalah lewat carok, karena cara ini dianggap sebagai cara yang paling laki-laki.

Kendati begitu, diakui Mutmainnah, semakin hari penyelesaian masalah dengan carok di Madura semakin jarang ditemui meski tidak sepenuhnya hilang.

"Masyarakat membuat kultur kekerasan tetap ada dan lestari. Namun dibandingkan saat saya masih kecil, sudah banyak berkurang. Dulu hampir tiap hari melihat orang mengerang karena bagian badannya terpotong, darahnya berceceran. Sekarang sudah sangat jarang melihat itu," tandasnya.

Terlepas dari budaya carok yang diklaim mulai ditinggalkan, aksi kekerasan dan kriminal di masyarakat masih sering dijumpai. Salah satu contohnya adalah terjadinya tawuran antar kampung, yang bahkan terjadi di kota besar seperti Jakarta.

Ida Ruwaida menjelaskan tindak kekerasan dan kriminal di masyarakat masih terjadi saat ini karena dilatarbelakangi banyak faktor.

“Banyak faktor yang melatari kekerasan dan kriminal di masyarakat,  baik di level mikro (individu, terkait dengan karakter), meso  (pola relasi sosial antar warga/individu), serta makro  (rasa keadilan, penerapan hukum yang lemah, isu ketimpangan, nilai solidaritas yang semakin memudar, dan lain-lain),” kata Ida menyudahi.