Bagikan:

JAKARTA - “Bagaimana cara mengatasi green inflation?” pertanyaan tersebut keluar dari mulut Gibran Rakabuming Raka di tengah debat calon wakil presiden akhir pekan kemarin, ditujukan kepada Mahfud MD.

Menanggapi pertanyaan tersebut, Mahfud mengatakan inflasi hijau berkaitan dengan ekonomi hijau atau ekonomi sirkuler. Dalam kesempatan menjawab itu, Cawapres nomor urut tiga ini juga menyebut orang Madura sebagai pelopor pertama ekonomi hijau atau ekonomi sirkuler. Ini karena masyarakat Madura telah mengolah hasil mengumpulkan sampah dan plastik.

Menurut Gibran jawaban Mahfud tidak sesuai dengan pertanyaan yang ia lontarkan. Wali Kota Surakarta ini malah memberikan gestur yang kemudian dianggap sebagian orang minim etika.

Cawapres RI Gibran Rakabuming Raka menyampaikan pandangannya saat debat keempat Pilpres 2024 di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta, Minggu (21/1/2024). (Antara/M. Risyal Hidayat/tom)

Gibran kemudian menjelaskan maksud pertanyaannya soal green inflation. Ia menyinggung demo rompi kuning yang ada di Prancis, yang menurutnya berbahaya dan diharapkan tidak terjadi di Indonesia.

“Transisi menuju energi hijau itu harus super hati-hati, jangan sampai membebankan RnD (Research and Development) yang mahal, proses transisi yang mahal ini, kepada masyarakat kecil. Itu maksud saya inflasi hijau Prof Mahfud,” kata Gibran menjelaskan.

Dampak Ekonomi Energi Baru Terbarukan

Istilah green inflation atau inflasi hijau mendadak populer pascadebat yang digelar Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Jakarta Convention Center (JCC), Minggu (21/4/2024). Istilah tersebut muncul karena tema debat yang diusung malam itu adalah seputar pembangunan berkelanjutan, sumber daya alam, lingkungan hidup, agraria, masyarakat dan desa.

Bagi masyarakat umum, inflasi hijau mungkin bukan termasuk istilah yang lazim terdengar. Padahal di tengah upaya manusia beralih ke barang-barang yang ramah lingkungan, salah satu dampak yang dikhawatirkan adalah munculnya green inflation.

Mengutip BNP Paribas, inflasi hijau mengacu pada inflasi yang terkait dengan kebijakan publik dan swasta yang diterapkan sebagai bagian dari transisi hijau.

Capres-cawapres nomor urut dua Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka bersalaman dengan capres nomor urut tiga Ganjar Pranowo usai Debat Keempat Pilpres 2024 di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta, Minggu (21/1/2024). (Antara/M Risyal Hidayat/tom/am)

Sementara Euronews menyebut green inflation sebagai kenaikan harga barang akibat dari kebijakan lingkungan yang dibuat demi mengusung transisi ke energi hijau.

Krisis iklim membuat banyak negara berlomba menerapkan gaya hidup berkelanjutan yang lebih ramah lingkungan. Namun, upaya-upaya memperlambat krisis iklim rupanya memiliki tantangan tersendiri di sektor ekonomi, yaitu potensi kenaikan harga bahan seperti logam, mineral seperti lithium, dan sumber daya lain seperti tenaga kerja, energi dan bahan bakar yang digunakan dalam penciptaan teknologi dan proyek energi terbarukan.

Sederhananya, green inflation merupakan istilah yang menggambarkan naiknya harga barang ramah lingkungan akibat tingginya permintaan terhadap bahan bakunya, namun pasokannya tidak mencukupi. Sehingga, transisi energi bisa berimbas pada inflasi dan inilah mengapa green inflation merupakan konsekuensi yang tidak diinginkan dari keinginan beralih ke energi baru terbarukan (EBT).

Belum Jadi Isu Besar

Peneliti ekonomi dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Dandy Rafitrandi menuturkan, pemberian insentif kepada barang atau teknologi untuk transisi energi dapat mencegah terjadinya inflasi hijau.

"Kalau untuk Indonesia salah satu cara yang dapat meredam green inflation adalah pemerintah dapat memfasilitasi bagaimana tarif impor lebih murah untuk barang atau teknologi untuk energi baru terbarukan dibuat semakin murah, hal ini dikarenakan kita memiliki tarif impor yang cukup tinggi untuk barang-barang ramah lingkungan," kata Dandy, dikutip Antara.

Dandy menjelaskan, tren green inflation tidak hanya terjadi di Indonesia saja, melainkan di tingkat global juga dan ini menjadi sesuatu yang ditakutkan oleh pemerintahan di seluruh dunia apabila transisi energi tidak dilakukan secara hati-hati maka bisa menimbulkan biaya (cost) yang berlebih khususnya kepada konsumen.

Inflasi hijau adalah kenaikan harga barang akibat dari kebijakan lingkungan yang dibuat demi mengusung transisi ke energi hijau. (Pixabay)

Sementara itu, peneliti Center of Food, Energy, and Sustainable Development INDEF Dhenny Yuartha melihat pemerintah belum terlalu ambisius mengejar target percepatan pengembangan EBT. Sehingga, inflasi hijau masih belum menjadi isu besar di Indonesia.

Dhenny mengatakan, green inflation akan terasa jika pemerintah mulai menghilangkan subsidi bahan bakar minyak (BBM) demi menuju transisi hijau.

Mantan Menteri Perdagangan (Mendag), Mari Elka Pangestu ikut angkat bicara mengenai green inflation yang menjadi perbincangan publik. Menurut Mari Elka, transisi hijau atau pergeseran dari penggunaan bahan bakar fosil atau fossil fuel ke energi terbarukan membutuhkan biaya yang lebih mahal. Inflasi hijau ini kemudian muncul seiring dengan kenaikan harga pada sektor yang berkaitan dengan transisi hijau tersebut.

Tapi, Mari Elka menjelaskan bahwa green inflation bisa ditekan lewat beberapa cara, salah satunya adalah tax carbon atau pajak karbon.

“Kalau kita ingin orang tidak mengonsumsi fossil fuel, mesti harganya harus naik. Harusnya sih harga naik, tapi ada kompensasi kepada yang tidak mampu atau meng-impose carbon tax. Nah, uang itulah yang dipakai untuk mengurangi biaya atau subsidi sustainability,” kata wanita yang pernah menjabat sebagai Direktur Pelaksana Kebijakan Pembangunan dan Kemitraan Bank Dunia itu.