Kasus KLB Polio: Indonesia Tak Boleh Terlena, Meskipun Sudah Dinyatakan Bebas Penyakit Lumpuh Layu
Pemberian vaksin polio kepada seorang anak saat pelaksanaan Sub Pekan Imunisasi Nasional (PIN) Polio di Puskesmas Tambakrejo, Semarang, Jawa Tengah, Senin (15/1/2024). (Antara/Makna Zaezar/rwa)

Bagikan:

JAKARTA – Kasus polio yang terjadi di Jawa Timur menyita perhatian masyarakat di awal tahun 2024. Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan menetapkan status Kejadian Luar Biasa (KLB) supaya kasus polio tidak semakin meluas.

Tiga anak di wilayah Jawa Timur dan Jawa Tengah dilaporkan menderita lumpuh layu akut (acute flaccid paralysis/AFP) yang disebabkan oleh Virus Polio Tipe 2. Selain itu, dari hasil lab di wilayah sekitar mereka terdapat sembilan anak lain yang dinyatakan positif walau tidak menunjukkan gejala.

Kemenkes menggelar sub Pekan Imunisasi Nasional (PIN) Polio di tiga provinsi untuk mencegah penyebaran kasus lumpuh layu. (Antara)

Kemenkes langsung menetapkan status KLB polio dan menggelar sub Pekan Imunisasi Nasional (PIN) polio secara serentak di seluruh wilayah Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Kabupaten Slemen, Yogyakarta, yang digelar dalam dua putaran, yaitu pada 15 Januari 2024 dan 19 Februari 2024.

Yang menjadi target sub-PIN polio kali ini adalah anak-anak usia 0-7 tahun tanpa memandang status imunisasi sebelumnya. Artinya, setiap anak dalam rentang usia tersebut wajib imunisasi meski sudah lengkap imunisasinya.

Penularan Mudah dan Cepat

Mengutip AI Carepoliomytelitis (polio) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh virus polio. Virus polio ini dapat menyerang sistem saraf dan menyebabkan kelumpuhan bahkan kematian. Virus polio ini akan masuk ke dalam tubuh melalui mulut, yang bersumber dari air atau makanan yang telah terkontaminasi, dan kemudian virus tersebut akan berkembang di dalam saluran pencernaan.

Meski tidak menunjukkan gejala, orang yang terinfeksi polio tetap dapat menularkan polio ke orang lain. Penyakit ini dapat dialami siapa saja namun umumnya menyerang anak usia balita, khususnya yang belum imunisasi polio. Jika tidak ditangani secara serius, penyakit ini dapat menyebabkan kelumpuhan permanen.

Indonesia sebenarnya telah dinyatakan bebas polio (Eradikasi Polio) pada 27 Maret 2014 bersama dengan negara-negara anggota WHO di kawasan Asia Tenggara. Namun, polio kembali muncul di Aceh pada Oktober 2022 yang ditemukan pada anak usia 7 tahun 2 bulan. Ini menjadi kejadian pertama sejak Indonesia dinyatakan bebas polio pada 2014 dan pemerintah langsung menetapkan status KLB polio.

Seorang anak penderita polio. (Istimewa)

Kasus polio kembali terjadi pada Januari 2023, ketika dua anak laki-laki di Aceh Utara tersangkit polio. Berselang satu bulan kemudian, seorang anak perempuan empat tahun menderita polio di Purwakarta, di mana di sana juga ditemukan tujuh anak sehat positif polio.

Polio merupakan penyakit serius dan berbahaya. Penularannya juga terbilang mudah dan cepat melalui percikan air liur saat batuk dan bersin. Selain itu, virus polio juga dapat menyebar lewat kontak langsung dari tinja orang yang terinfeksi. Karena penularannya yang cepat, pemerintah langsung membuat status KLB polio meski baru ditemukan baru satu kasus.

“Penyebaran polio sangat cepat dan gampang. Ketika anak terinfeksi virus polio, bisa mengalami kelumpuhan dalam waktu 7-21 hari setelah terinfeksi,” kata dr. Sean Edbert Lim kepada VOI.

Dokter Sean menuturkan, kasus polio kembali terjadi di sejumlah daerah disebabkan oleh sejumlah faktor. Di antaranya adalah cakupan vaksin polio pada anak di bawah usia lima tahun rendah atau belum lengkap. Selain itu, kurangnya menjaga kebersihan juga bisa menjadi salah satu penyebab, seperti tidak mencuci tangan dengan air besih, buang air besar (BAB) di kali, menggunakan air (tertular) sebagai sumber minum.

Cakupan Vaksinasi Rendah

Rendahnya cakupan pemberian vaksin polio menjadi perhatian tersendiri. Menurut data Kemenkes pada 2020, cakupan pemberian vaksin polio oral empat dosis (OPV4) rata-rata 86,8 persen. Angka ini di bawah target nasional yaitu sebesar 95 persen.

Aceh menjadi provinsi terendah dengan 51,7persen, lalu Sumatra Barat 57,9 persen. Sementara itu, cakupan untuk vaksin polio suntik (IPV) jauh lebih rendah yaitu hanya 37,7 persen. Cakupan OPV4 kembali menurun di tahun 2021, yaitu sebesar 80,2 persen, sementara IPV meningkat menjadi 66,2 persen. Tingkat imunisasi OPV4 di Jawa Tengah sebesar 77,2 persen dan Jawa Timur 81,1 persen.

“Munculnya kasus polio juga bisa disebabkan akibat penurunan kesadaran masyarakat tentang pentingnya imunisasi, dan semakin banyak orang tua yang tidak mau anaknya diimunisasi,” kata dr. Sean.

Polio pernah menjadi wabah luar biasa yang melumpuhkan Amerika Serikat di pertengahan abad ke-20. (npr.org)

Pendemi COVID-19 disebut menjadi salah satu penyebab menurunnya cakupan imunisasi. Di masa pandemi, banyak orang tua yang terpaksa menunda atau bahkan melewatkan jadwal imunisasi karena kekhawatiran tertular virus corona di fasilitas kesehatan.

Misinformasi terkait vaksin pun ikut andil dalam rendahnya cakupan imunisasi. Isu soal keamanan dan kehalanan vaksin membuat banyak orang tua ragu memberikan imunisasi kepada anak mereka. “Selain itu, banyak juga masyarakat yang merasa tidak butuh karena menganggap polio sudah hilang atau tidak ada kasus di daerah mereka,” imbuhnya.

Dikatakan dr. Sean, butuh kolaborasi terus menerus antara tenaga kesehatan, tokoh masyarakat, masyarakat umum yang paham, media, dan pemerintahan untuk memberikan program edukasi, penyuluhan, kampanye kesehatan mengenai vaksin. Selain itu, masyarakat juga perlu diingatkan terkait pentingnya meningkatkan kebersihan diri, sanitasi, dan surveilans agar dapat menyelesaikan wabah polio ini.