JAKARTA - Rakyat Indonesia akan berubah menjadi kaya secara merata mulai pada tanggal 1 Januari 2025. Menariknya, tidak ada yang dilakukan kecuali hanya duduk dan diam menunggu waktu selanjutnya harus bayar pajak yang menjadi 12 %.
Demikian bahasa satir yang banyak beredar di media sosial menandakan bentuk protes dan penolakan kepada pemerintah Prabowo Subianto yang menaikkan PPN. Salah satunya selebritas Denny Sumargo merasa bahwa apabila rencana ini direalisasikan maka masyarakat bakal terbebani. Oleh karena itu, Denny Sumargo meminta pemerintah untuk kembali mempertimbangkan rencana tersebut agar tidak malah menambah masalah.
"Saya sebenarnya memikirkan masyarakat aja. Pasti banyak masyarakat terbebani dengan nilai yang cukup tinggi," kata Denny Sumargo di kawasan Thamrin, Jakarta Pusat, Jumat, 20 Desember.
Pasalnya ia melihat kenaikan ini terkadang tidak sesuai dengan ekspektasi masyarakat yang akhirnya malah menimbulkan protes.
"Karena banyak negara maju yang pajaknya tinggi, tapi fasilitasnya juga memadai. Masyarakat punya hak untuk komplain juga. Misalnya ada jalan rusak, masyarakat bisa protes. Di sini, hal itu belum berjalan dengan baik," tutur Denny Sumargo.
Protes dan penolakan yang sama juga disampaikan Lembaga Riset dan Advokasi Kebijakan The PRAKARSA menilai rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen di awal tahun 2025 di tengah kondisi penurunan daya beli masyarakat merupakan kebijakan yang kurang tepat.
Meskipun dilansir pemerintah untuk meningkatkan kinerja penerimaan pajak. Peneliti The PRAKARSA Samira Hanim menyampaikan upaya pemerintah menaikkan PPN pada tahun 2022 silam nyatanya belum mampu untuk meningkatkan kinerja penerimaan pajak secara signifikan.
"Rendahnya penerimaan pajak di Indonesia bukan saja karena rendahnya tarif, namun juga akibat rendahnya kepatuhan dan penegakan hukum," ujarnya dalam keterangannya, Senin, 25 November.
Menurut Samira, hal tersebut tercermin dari kenaikan tarif PPN pada 2022. Kinerja perpajakan tak kunjung membaik dimana rasio perpajakan terhadap PDB Indonesia di tahun 2023 justru menurun dari 10,39 persen di tahun 2022 menjadi 10,21 persen di tahun 2023.
Bahkan, Menteri Keuangan mengungkap Tax Ratio Indonesia masih di level 10,02 persen hingga Oktober 2024. Kinerja penerimaan pajak Indonesia juga masih jauh tertinggal dibandingkan negara berkembang lain.
Sementara itu, Akademisi Saepudin Muhtar menilai, rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen akan efektif jika dibarengi upaya menutup kebocoran pajak.
"Sebetulnya selain itu (kenaikan PPN) ada yang tidak kalah penting, yaitu kaitan pembenahan sistem kebocoran anggaran dari sisi pendapatan harus diantisipasi," ujarnya dilansir ANTARA, Senin, 23 Desember.
Dia memberikan contoh, pendapatan daerah dari sektor pariwisata seperti restoran masih sering terjadi kebocoran, karena belum ada sistem yang mencatat pendapatan dan pelaporan secara cepat dan tepat.
"Ketika seseorang yang berbelanja atau makan di sebuah restoran, maka pajak tersebut harus dipastikan sampai ke pemerintah," ujarnya.
Menurut Gus Udin, ketika kebocoran pajak tersebut dapat diatasi oleh pemerintah baik pusat maupun daerah maka akan menopang pendapatan pemerintah secara signifikan. Diketahui, pemerintah menetapkan barang dan jasa yang termasuk dalam kategori premium menjadi sasaran pengenaan tarif PPN 12 persen.
BACA JUGA:
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengatakan, empat kategori barang dan jasa premium yang terkena PPN 12 persen adalah bahan makanan premium seperti beras premium, buah-buahan premium, daging premium (contoh: wagyu dan daging kobe), ikan mahal (contoh: salmon premium dan tuna premium), serta udang dan crustacea premium (contoh: king crab). Tahun 2022, rata-rata rasio pajak di kawasan Asia tenggara sebesar 14,8 persen dan di kawasan Asia Pasifik sebesar 19,3 persen.
Selain itu, berdasarkan hasil kajian World Bank menunjukkan bahwa kenaikan PPN tidak banyak berdampak pada kenaikan penerimaan negara, kenaikan tarif PPN dari 10 persen menjadi 11 persen pada April 2022 tidak memberikan kontribusi signifikan terhadap penerimaan pajak.
Realisasi tambahan penerimaan pajak dari kenaikan tarif PPN hanya sebesar 0,3 persen PDB pada 2022 dan 0,4 persen PDB pada 2023.
Adapun salah satu hambatan utama dalam optimalisasi penerimaan PPN adalah inefisiensi dalam sistem pengumpulan pajak.
Di mana C-efficiency ratio PPN Indonesia tercatat hanya 0,53, lebih rendah 0,17 poin dibandingkan rata-rata negara-negara tetangga. Rendahnya rasio ini menunjukkan masih tingginya potensi penerimaan pajak yang hilang.
Samira menilai bahwa kebijakan-kebijakan yang ditetapkan pemerintah untuk meningkatkan kinerja penerimaan negara ini semakin memberatkan kelas menengah dan kecil.
“Kebijakan untuk terus melanjutkan kenaikan PPN menjadi 12 persen di tengah menurunnya daya beli masyarakat ini rasanya tidak tepat, deflasi yang tidak terkendali dapat menciptakan lingkaran deflasi di mana konsumsi menurun, pertumbuhan melemah, dan tekanan harga semakin besar, kenaikan PPN hanya akan memperparah kondisi ini,” tuturnya.
Samira menyampaikan pajak kekayaan dapat memastikan prinsip keadilan bahwa tingkat pajak efektif orang kaya tidak lebih rendah dibandingkan kelompok lainnya, sekaligus mendukung fungsi redistribusi ekonomi.
"Dengan melengkapi langkah ini melalui pengetatan aturan penghindaran pajak dan penegakan hukum yang kuat, Indonesia dapat menciptakan sistem perpajakan yang lebih progresif, adil, dan inklusif,” ucapnya.
Samira menyampaikan pajak tidak hanya berfungsi sebagai sumber penerimaan negara tetapi juga alat redistribusi kekayaan, pemerintah perlu meningkatkan pajak progresif yang menargetkan individu superkaya atau Ultra High-Net-Worth Individuals (UHNWI).
Langkah ini sejalan dengan komitmen negara-negara G20 untuk memastikan UHNWI membayar pajak secara adil dan efektif, sebagaimana tertuang dalam G20 Rio de Janeiro Leaders’ Declaration.
Di Indonesia, jumlah UHNWI terus meningkat dan mereka malah mendapatkan banyak keringanan pajak. The Wealth Report 2024 memproyeksikan pertumbuhan sebesar 34,1 persen, dari 1.479 individu pada 2023 menjadi 1.984 individu pada 2028.
Tren ini diperkuat oleh struktur pajak yang lebih menguntungkan pendapatan dari modal seperti keuntungan modal (capital gains) dan dividen, yang umumnya dikenakan tarif pajak lebih rendah dibandingkan penghasilan kerja.
Selain itu, di Indonesia, pendapatan kerja (income) atau PPh (Pajak Penghasilan) dikenakan pajak progresif hingga 35 persen, sedangkan pendapatan pasif seperti dividen atau keuntungan modal hanya dikenakan tarif hingga 25 persen. Selain tarif pajak yang lebih rendah atas pendapatan pasif yang mendominasi kekayaan individu superkaya, mereka juga memanfaatkan strategi penghindaran pajak seperti menunda realisasi keuntungan modal, tidak membagikan dividen, atau menggunakan perusahaan holding untuk mengalihkan keuntungan.
Senada, peneliti The PRAKARSA Farhan Medio menyampaikan implikasinya, orang superkaya membayar pajak dengan persentase yang lebih kecil dibandingkan masyarakat berpenghasilan menengah dan bawah yang mengandalkan pendapatan aktif yang terus tergerus baik dari PPN maupun PPh. menurut Farhan, kebijakan kenaikan tarif PPN bersifat regresif, di mana kelompok termiskin harus menanggung dampak yang lebih signifikan dibandingkan kelompok kaya. Kebijakan ini juga berpotensi memperlebar kesenjangan ekonomi.
“Pengenalan pajak kekayaan (wealth tax) menjadi langkah penting untuk menyeimbangkan beban pajak. Riset The PRAKARSA mengestimasi terdapat potensi tambahan penerimaan negara sebesar 78,5 - 155,3 triliun rupiah apabila diberlakukan pajak kekayaan pada individu dengan kekayaan bersih lebih dari 10 juta dolar AS (Rp155 miliar) dengan tarif progresif 1 persen-4 persen”, ujar Farhan.