JAKARTA - Center of Economic and Law Studies (Celios) ungkapkan Pemerintah dapat menunda rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen per 1 Januari 2025 melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).
Direktur Hukum CELIOS Mhd Zakiul Fikri menyampaikan setidaknya ada tiga alasan mengapa Perpu pembatalan kenaikan PPN 12 persen harus dikeluarkan yaitu pertama, norma kenaikan PPN menimbulkan masalah hukum yang mendesak untuk diselesaikan.
"Masalah hukum itu mulai dari inflasi atau naiknya harga barang jasa, merosotnya kemampuan konsumsi rumah tangga kelas menengah ke bawah, meningkatnya angka pengangguran, tertekannya UMKM, industri manufaktur dan potensi menambah jumlah rakyat miskin di Indonesia," ujarnya dalam keterangan resmi, Selasa, 24 Desember.
Zakiul menyampaikan alasan kedua, yaitu keberadaan ketentuan Pasal 7 ayat (1) Bab IV Pasal 4 Angka 2 UU HPP 2021 tidak memadai karena tidak memuat kepatutan dan keadilan hukum.
Selanjutnya, Zakiul menyampaikan alasan ketiga, kondisi saat ini tidak mungkin diatasi dengan cara membuat atau merevisi undang-undang melalui prosedur biasa, mengingat memakan waktu yang cukup lama sementara keadaan telah mendesak.
"Keadaan mendesak sebab per 1 Januari 2025 perintah norma yang problematik dari Pasal 7 ayat (1) Bab IV Pasal 4 Angka 2 UU HPP 2021 harus dilaksanakan," tuturnya.
Menurut Zakiul Pemerintah bisa saja mengevaluasi kenaikan PPN dengan menurunkannya hingga menjadi 5 persen atau menaikkan hingga maksimum 15 persen, sesuai ketentuan Pasal 7 ayat (3).
"Namun, menurunkan angka PPN atau menunda saja berlakunya kenaikan PPN mustahil terjadi, sebab mereka fokus untuk menjalankan perintah dari Pasal 7 ayat (1), dalih yang terus diumbar di berbagai media," imbuhnya.
Zakiul menyampaikan meskipun opsi Pasal 7 ayat (3) dilaksanakan, tetap akan terjadi kekacauan hukum akibat aturan pada ayat tersebut ambigu dan tidak jelas mengenai barometer untuk menentukan 5 persen hingga 15 persen.
Selain itu, Zakiul menyampaikan pelaksanaan norma Pasal 7 ayat (3) harus dilakukan bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) sesuai ketentuan dari Pasal 7 ayat (4). Akibatnya, memakan proses yang panjang, lama, dan rumit.
Sementara itu, Zakiul menyampaikan DPR RI sedang berada pada masa reses dari 6 Desember 2024 sampai 15 Januari 2025 sehingga tidak mungkin persoalan tersebut dibicarakan bersama dalam waktu dekat.
Dengan demikian, senafas pula dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No.138/PUU-VII/2009, maka tidak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak menerbitkan Perppu yang membatalkan berlakunya ketentuan kenaikan PPN menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025.
BACA JUGA:
"Menerbitkan Perppu yang dimaksud merupakan wujud komitmen Pemerintah Negara Indonesia untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial," jelasnya.
Zakiul menyampaikan sebelumnya pemerintahan Jokowi pernah menerbitkan Perppu No.1 Tahun 2017 tentang Kepentingan Pajak. Perppu ini lahir terkait tax amnesty yang lebih banyak dinikmati oleh orang kaya dan pengemplang pajak.
"Kalau Jokowi menerbitkan Perppu untuk orang kaya dan pengemplang pajak maka ini saatnya Prabowo meninggalkan bayang-bayang Jokowi, dengan menerbitkan Perppu membatalkan kenaikan PPN 12 persen di UU HPP dan saatnya berpihak pada masyarakat menengah bawah yang tengah dihimpit berbagai kesulitan ekonomi," pungkasnya.