JAKARTA – Penolakan masyarakat terkait kebijakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025 masih bergulir. Salah satu yang ramai diperbincangkan akhir-akhir ini adalah transaksi melalui layanan Quick Response Code Indonesia Standard atau QRIS yang kabarnya dikenai PPN.
Banyak masyarakat yang memprotes kabar pengenaan PPN 12 persen melalui QRIS. Pasalnya, metode pembayaran cashless atau tanpa uang tunai, salah satunya dengan QRIS menjadi primadona dalam beberapa tahun ke belakang.
Kekhawatiran masyarakat terkait isu ini coba diluruskan oleh Ditjen Pajak Kementerian Keuangan, yang menegaskan bahwa PPN pada jasa layanan QRIS dibebankan kepada pemilik outlet atau merchant.
Meski demikian, pengamat ekonomi Fithra Faisal Hastiadi mengatakan pemerintah berutang penjelasan kepada masyarakat supaya tidak terjadi kegaduhan soal transaksi QRIS yang dikabarkan dikenakan PPN 12 persen.
Jika isu ini dibiarkan ada kekhawatiran masyarakat menghentikan penggunaan QRIS sebagai alat transaksi, padahal sejak lima tahunan terakhir pengguna QRIS terus meningkat.
QRIS adalah media pembayaran antara merchant (penjual) dan customer (pembeli) sesuai nilai transaksi perdagangan, memanfaatkan teknologi finansial (fintech).
Tidak Dibebankan kepada Konsumen
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Febrio Kacaribu merespon pemberitaan terkait dampak penyesuaian PPN 12 persen. Khususnya terhadap transaksi jual beli masyarakat yang menggunakan QRIS.
Sistem pembayaran QRIS diketahui sudah mulai dikembangkan sejak 2019. Bank Indonesia secara resmi meluncurkan QRIS pada 17 Agustus 2019 setelah melakukan serangkaian uji coba dan evaluasi dan mulai berlaku efektif sejak 1 Januari 2020.
Menurut catatan BI, pengguna QRIS naik mencapai 54,1 juta dengan jumlah merchant 34,7 juta. Selain itu nilai transaksinya pada Oktober 2024 juga tumbuh 183,9 persen secara tahunan (year on year/yoy).
Di tengah kegaduhan masyarakat, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Febrio Kacaribu merespons pemberitaan terkait dampak penyesuaian PPN 12 persen, terutama transaksi yang menggunakan QRIS.
Menurut Febrio, transaksi melalui QRIS dan sejenisnya tidak menimbulkan beban PPN tambahan untuk pembeli.
"PPN memang dikenakan atas transaksi yang memanfaatkan fintech, QRIS salah satunya. Namun, beban PPN atas transaksi via QRIS sepenuhnya ditanggung merchant," kata Febrio.
Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Nailul Huda mengatakan hal serupa. Jika dilihat dari transaksinya, kata Huda, QRIS ini tidak dikenakan secara langsung oleh pemerintah ke konsumen akhir, melainkan ke merchant di tarif Merchant Discount Rate-nya (MDR).
Artinya, tarif PPN pada transaksi QRIS bukan dibebankan kepada konsumen seperti yang selama ini disalahpahami oleh masyarakat, melainkan akan ditanggung oleh merchant.
“Jasanya dikenakan MDR untuk transaksi tertentu. Mereka dikenakan pajak untuk MDR-nya dan dibebankan ke penjual (merchant). Jadi yang dikenakan tarif PPN adalah tarif MDR-nya. Nah MDR dihitung dari nominal transaksi,” kata Huda saat dihubungi VOI.
Sebagai informasi, biaya MDR QRIS yang dikenakan pada merchant untuk transaksi di atas Rp500.000 adalah 0,3 persen. Sementara untuk transaksi di bawah Rp500.000 tidak dikenakan biaya alias gratis.
Semisal individu belanja sebesar Rp1.000.00 menggunakan QRIS, merchant akan dikenakan biaya MDR 0,3 persen yaitu Rp3.000. Biaya PPN 12 persen yang dimaksud adalah dari ongkos MDR, dalam contoh kasus ini Rp3.000. Jadi, tambahan PPN-nya adalah Rp360.
Potensi Merchant Menaikkan Harga
Namun demikian, Nailul Huda menambahkan seperti ketika MDR ditetapkan oleh pemerintah, pada akhirnya merchant akan membebankan kepada konsumen PPN 12 persen untuk MDR QRIS ini. Caranya adalah dengan menaikkan harga jual.
“Ini sudah praktik yang digunakan oleh penjual karena kita tahu merchant juga tidak akan mau menanggung beban MDR plus PPN-nya ini. Ketika tarif PPN meningkat, ya harga yang dijual juga akan meningkat karena PPN merupakan variabel pembentuk harga,” Huda menjelaskan.
Dalam kesempatan yang sama, Huda juga menyinggung kenaikan harga salah satu roti populer di Indonesia. Ia menduga, hal ini dilakukan kedai roti tersebut karena merchant enggan menanggung biaya PPN dari MDR.
“Yang rugi justru akan lebih banyak, yaitu konsumen yang bayar pake QRIS dan konsumen yang bayar pake cash, semua akan mengalami kenaikan harga,” terangnya.
“Apakah pemerintah bisa mengaturnya? Tentu saja tidak bisa. Sekarang sudah ada beberapa barang sudah menaikkan harga karena memasukkan unsur PPN di dalam tarif MDR-nya,” Huda mengimbuhkan.
BACA JUGA:
Pengamat ekonomi Fithra Faisal Hastiadi menilai pemerintah mesti memberikan penjelasan lebih lanjut kepada masyarakat terkait kesalahpahaman isu ini. Karena ketika informasi yang sampai di masyarakat tidak sesuai, berpotensi akan terjadi kompleksitas ke depannya.
“Bisa jadi nantinya masyarakat enggan berbelanja dengan metode-metode digital, seperti QRIS. Ini suatu hal uang tidak dikehendaki, karena transaksi digital, salah satunya melalui QRIS, sudah tumbuh sejak 2019,” ucap Fithra.
“Kita tidak ingin menghentikan perkembangan ini, karena ini bagian dari proses produktivitas yang pada akhirnya mendorong pertumbuhan ekonomi,” lanjutnya.