Bagikan:

JAKARTA – Wacana penghapusan koridor satu Transjakarta mendapat respons negatif dari berbagai kalangan. Jika benar terjadi, pengamat khawatir hal ini justru membuat masyarakat menggunakan kendaraan pribadi dan memperparah kemacetan di Jakarta.

Dinas Peruhubungan (Dishub) Provinsi Jakarta mengungkap rencana penghapusan rute Transjakarta yang bersinggungan dengan MRT, salah satunya rute Blok M-Kota. Langkah tersebut diambil supaya tidak terjadi tumpang tindih antarmoda transportasi umum, kata Kepala Dishub Provinsi Jakarta Syafrin Liputo.

“Contohnya untuk MRT Lebak Bulus sampai Kota (jika sudah) terbangun, maka untuk koridor satu Transjakarta dari Blok M sampai Kota nanti ditiadakan,” kata Syafrin.

Namun rencana ini mendapat reaksi keras dari masyarakat. Pengamat transportasi Ki Darmaningtyas menyebut ini bukan kebijakan cerdas di tengah upaya pemerintah memindahkan pengguna kendaraan pribadi dengan kendaraan umum.

Penumpang Transjakarta saat turun dari bus di Jakarta, Kamis (18/12/2024). (ANTARA/Khaerul Izan)

Proyek pembangunan MRT Jakarta fase 2 membentang sepanjang sekitar 11,8 kilometer dari kasawan Bundaran HI sampai Ancol Barat. Fase 2 ini melanjutkan koridor utara—selatan fase 1 yang telah beroperasi sejak 2019 lalu, yaitu dari Lebak Bulus sampai dengan Bundaran HI.

Pembangunan fase 2 merupakan proyek strategi nasional berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 56 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategi Nasional. Selain itu, Keputusan Gubernur Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Nomor 1713 Tahun 2019 tentang Perubahan Keputusan Atas Gubernur Nomor 1728 Tahun 2018 tentang Penetapan Lokasi untuk Pembangunan Jalur Mass Rapid Transit Koridor Bundaran HI—Kota menjadi landasan penetapan jalur dan stasiun di fase 2A. 

Bukan Kebijakan Cerdas

Mengutip laman jakartamrt.co.id, fase 2 terdiri dari dua tahap, yaitu fase 2A dan fase 2B. Fase 2A terdiri dari tujuh stasiun bawah tanah (Thamrin, Monas, Harmoni, Sawah Besar, Mangga Besar, Glodok, dan Kota) dengan total panjang jalur sekitar 5,8 kilometer. Sedangkan Fase 2B terdiri dari dua stasiun bawah tanah (Mangga Dua dan Ancol) dan satu depo di Ancol Marina dengan total panjang jalur sekitar enam kilometer. Fase 2B sedang dalam tahap studi kelayakan.

Proyek MRT Fase 2 A ini terbagi dua segmen, yaitu segmen satu Bundaran HI-Harmoni yang ditargetkan rampung pada 2027, dan segmen dua Harmoni-Kota yang ditargetkan selesai pada 2029.

Menurut Dishub, Transjakarta rute Blok M-Kota ini akan dihapus pada 2029, tepat ketika pembangunan moda transportasi massal ini telah selesai dibangun. Ada berbagai alasan dijabarkan Kepala Dishub Jakarta Syafrin terkait rencana ini.

Pertama karena Transjakarta rute Blok M-Kota bersinggungan langsung dengan jaluar MRT. Meski dilakukan penghapusan rute, halte Transjakarta sepanjang Blok M-Kota tidak akan dibongkar karena saling terintegrasi.

Penumpang menaiki kereta MRT di Jakarta, Senin (16/12/2024). (ANTARA/Rivan Awal Lingga/YU)

Penyebab lain munculnya rencana penghapusan Transjakarta koridor 1 karena adanya efisensi pengelolaan dana Public Service Obligation (PSO). Jika tidak dihapus, menurut Syafrin, maka subsidi untuk angkutan umum jurusan Blok M-Kota jadi berlipat karena ada Transjakarta dan MRT.

Rencana penghapusan Transjakarta rute Blok M-Kota mendapat penolakan dari masyarakat. Meski dalam rute tersebut ada dua pilihan moda transportasi, namun MRT dan Transjakarta memiliki tarif yang berbeda sangat jauh untuk sekali perjalanan.

Pengamat transportasi sekaligus Ketua Inisiatif Strategis untuk Transportasi (Instran) Ki Darmaningtyas mengaku terkejut dengan pernyataan Kepala Dishub Jakarta Syafrin Lupito. Menurutnya, ini jelas-jelas langkah yang tidak tepat, jika tidak boleh menyebut konyol.

Darmaningtyas menegaskan pelanggan Transjakarta memiliki karakter berbeda dengan pelanggan MRT, salah satunya dilihat dari aspek sosial ekonomi.

“Pertama, dari aspek sosial ekonomi, pelanggan MRT memiliki kelas sosial ekonomi yang lebih tinggi. Jadi dari aspek sosial ekonomi ini saja, sangat tidak realistis memindahkan pelanggan TJ ke MRT,” kata Darmaningtyas dalam keterangan yang diterima VOI.

“Begitu mereka dipaksa pindah ke MRT karena layanan TJ Koridor 1 dihapuskan, maka mereka akan pindah ke sepeda motor, dan ini jelas suatu kekonyolan yang tidak terampuni.

Berpotensi Menambah Keruwetan Kota Jakarta

Dari segi tarif, Darmaningtyas menegaskan taris MRT jauh lebih mahal dibandingkan Transjakarta. MRT dengan rute Lebak Bulus-Bunderan HI saat ini dipatok harga Rp14.000 sedangkan TJ hanya Rp3.500.

Jadi semestinya cara berfikir insan Dishub Jakarta itu bukan menghapus layanan Transjakarta koridor 1, tapi bagaimana memindahkan pengguna mobil pribadi ke angkutan umum khususnya MRT.

“Kebijakan-kebijakan yang sudah lebih dari 15 tahun digodok dan dikaji, seperti misalnya tarif parkir tengah kota yang mahal, tidak boleh parkir di badan jalan, dan harga BBM untuk kendaraan pribadi yang mahal, saatnya untuk diimplementasikan,” tegasnya.

“Kalau menghapus layanan koridor satu jelas bukan kebijakan yang cerdas, dan bertentangan dengan Pembangunan MRT itu sendiri yang sejak diwacanakan untuk memindahkan pengguna kendaraan pribadi, bukan memindahkan pengguna angkutan umum lainnya,” Darmaningtyas menambahkan.

Pada 2010, kata Darmaningtyas, wacana penghapusan Transjakarta koridor satu juga pernah terlontar. Waktu itu pembangunan MRT Lebak Bulus-Bundaran HI masih dalam wacana.

Sejumlah penumpang menaiki bus Transjakarta di Jakarta, Rabu (13/11/2024). (ANTARA/Asprilla Dwi Adha/foc)

Mendengar rencana tersebut, Darmaningtyas tak segang-segan melayangkan protes ke Dirjen KA Kementerian Perhubungan Tundjung Inderawan, dan langsung direspon bahwa tidak ada rencana penghapusan rute BRT Koridor 1 karena akan saling melengkapi.

"Ironisnya sekarang pernyataan tersebut justru muncul dari Kadishub DKI Jakarta yang memiliki tanggung jawab untuk meningkatkan jumlah pengguna angkutan umum menjadi 60 persen pada tahun 2030 tersebut," ucapnya. 

"Menghapus layanan TJ koridor 1 jelas akan menurunkan jumlah pengguna angkutan umum dan akan menaikkan pengguna kendaraan pribadi, utamanya motor. Kontribusi koridor 1 dalam memfasilitasi mobilitas warga Jabodetabek setiap harinya cukup tinggi, bisa mencapai 66.000 orang pada hari kerja. Kalau 50 persen mereka kembali naik motor, karena tidak mampu naik MRT, maka itu akan nambah ruwet Kota Jakarta," ujar Darmaningtyas memungkasi.