Bagikan:

JAKARTA - Keberpihakan seorang kepala negara bukan barang baru dalam Pilpres Amerika Serikat (AS). Presiden Barack Obama pernah melakukannya kala hajatan Pilpres 2017. Ia memberikan restu politikus, Hillary Clinton sebagai suksesornya.

Obama yang notabene berada di partai yang sama – Partai Demokrat— dengan Hillary sampai turun gunung jadi juru kampanye (jurkam). Kondisi itu membuatnya ikut menyerang penantang Hillary dari Partai Republik, Donald Trump. Obama bahkan menyebut Trump tak layak jadi Presiden AS.

Netralitas kepala negara kerap dijunjung tinggi dalam kontestasi politik sekelas Pilpres. Narasi itu didengungkan oleh banyak negara di dunia supaya Pilpres dapat berlangsung jujur dan adil. Namun, tidak bagi negara adidaya macam AS.

Netralitas justru kalah dengan sesuatu yang bernama demokrasi. Barang siapa yang menjadi warga AS di 50 negara bagian dapat bebas mendukung idolanya. Fakta itu diperlihatkan dalam penyelenggaraan Pilpres 2017.

Barack Obama memperhatikan dengan seksama Hillary Clinton. (Wikimedia Commons)

Presiden Obama dan Partai Demokrat pernah dipusingkan untuk mendukung salah satu dari dua kandidat Capres. Pertama, Bernie Sanders yang dikenal sebagai politikus ulung. Kedua, Hillary Rodham Clinton yang pernah menjabat sebagai Menteri Luar Negeri AS era 2009-2013.

Obama dan Partainya tak boleh salah memilih. Sebab, salah pilih sama saja akan membawa Partai Demokrat dalam jurang kekalahan. Perenungan panjang akhirnya usai kala Partai Demokrat memilih Hillary sebagai Capres.

Obama kemudian mendeklarasikan dukungannya kepada Hillary Clinton pada Juni 2016. Obama tak ingin membanding Hillary dengan Sanders. Namun, Obama justru menyebut bahwa Hillary adalah sosok yang tepat untuk mengantikannya memimpin AS.

Hillary digambarkan sebagai pejabat negara yang mumpuni. Apalagi, istri dari mantan Presiden AS, Bill Clinton itu bukan orang baru dalam dunia politik. Ia pernah pula menjabat pula sebagai senator. Obama pun tak sabaran untuk segara jadi bagian dari juru kampanye mantan Ibu Negara AS era 1993-2001. Jika dukungan Obama membawa pengaruh besar, maka Hillary akan menggoreskan sejarah baru sebagai wanita pertama yang jadi orang nomor satu AS.

"Begini, saya tahu betapa sulitnya pekerjaan ini. Itu sebabnya saya tahu Hillary akan sangat ahli dalam hal itu (memimpin negara). Bahkan, menurut saya sebelumnya belum pernah mengenal ada orang yang begitu memenuhi syarat (sebagaimana Hillary) untuk memegang jabatan ini.”

“Dia punya hati, keberanian, dan kasih sayang untuk menyelesaikan pekerjaannya. Dan saya mengatakannya sebagai seseorang yang harus berdebat dengannya lebih dari 20 kali,” terang Obama sebagaimana dikutip Julie Hirschfeld Davis dan Jonathan Martin dalam tulisannya di laman The New York Times berjudul Obama Endorses Hillary Clinton, and Urges Democrats to Unite (2016).

Obama Serang Trump

Totalitas Presiden Obama mendukung Hillary mulai terlihat. Ia tak ingin setengah-setengah dalam memberikan dukungan. Alih-alih hanya berkampanye agar pengikut dan simpatisan Demokrat memilih Hillary belaka, Obama justru ikut aktif menyerang capres lawan dari Partai Republik, Donald Trump.

Obama menganggap cara Trump yang membangkitkan pandangan konservatif –anti LGBT dan anti imigran-- dianggap tak layak memimpin AS. Bahkan, Obama menganggap kapasitas Trump yang tak layak memimpin sudah jadi rahasia umum. Seisi AS tahu bahwa Trump tak layak, katanya.

Kondisi itu diperparah dengan pengetahuan Trump yang kerap terbatas seputar isu-isu kritis. Obama menyakini belang itu terbuka dari pribadi Trump sendiri. Saban hari jika Trump terus diberikan kesempatan berbicara, maka blunder dan kesalahan jadi hal yang pasti terucap.

Ambil contoh keinginan Trump melarang kaum Muslim masuk AS dan sentimen rasis kepada kulit hitam. Kolaborasi itu kian membuat Obama yakin Trump bukan figur yang tepat. Bahkan, Obama mengungkap takkan memilih Trump, sekalipun jika ia berasal dari partai yang sama.

Barack Obama berdiskusi dengan Hillary Clinton. (Wikimedia Commons)

Kondisi itu membuat Obama yakin rakyat AS dapat membedakan mana pemimpin yang memiliki kesungguhan dan mana yang hanya berisi ambisi belaka. Seisi AS pun diimbau Obama untuk dapat memilih calon presiden yang dapat meningkatkan hajat hidup rakyat: Hillary Clinton.

“Ya, menurut saya calon dari Partai Republik (Donald Trump) tidak layak menjadi presiden. Saya mengatakannya juga waktu minggu lalu (di konvensi nasional Partai Demokrat), dan Trump terus membuktikan bahwa ia tak layak.”

“Gagasan Trump yang menyerang keluarga Gold Star (sebutan untuk keluarga yang kerabatnya meninggal dalam dinas), yang telah melakukan pengorbanan luar biasa atas nama negara kita tak dibenarkan. Hal itu adalah fakta bahwa dia tampaknya tidak memiliki pengetahuan dasar seputar isu-isu kritis. Baik itu di Eropa, di Timur Tengah, atau di Asia. Artinya dia tidak siap jadi Presiden AS,” ujar Obama sebagaimana dikutip David Smith dan Ben Jacobs dalam tulisannya di laman The Guardian berjudul 'Unfit to be President': Obama Hammers Trump with Harshest Comments Yet (2016).