Bahkan Pajak Hiburan Mencekik Terjadi di Era VOC
Aktivitas orang China di Batavia pada masa VOC, salah satunya adalah berdagang daging. (Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA - Maskapai dagang Belanda, VOC punya hasrat besar membangun pusat pemerintahannnya, Batavia (kini: Jakarta). Masalah muncul. Kompeni ogah menggunakan banyak uang keuntungan perdagangan rempah. Opsi satu-satunya adalah menarik pajak dari orang China.

Segala macam laku hidup orang China dikenai pajak. Kompeni pun ikut menarik pajak hiburan, dari wayang hingga perjudian. Kompeni untung besar. Namun, narasi itu tak selamanya berhasil. Banyak kejadian orang China gagal bayar pajak hiburan yang mencekik.

Niatan Kompeni membangun negeri koloni tak dapat diganggu gugat. Mereka merencanakan pembangunan di Batavia sedari 1619. Kompeni ingin membangun kota yang nyaman ditinggali oleh orang Belanda/Eropa.

Niatan tinggal niatan. Urusan membangun kota tak pernah mudah. Belanda tak ingin uang keuntungan perdagangan rempah banyak digunakan untuk membangun Batavia. Pun Kompeni menyadari orang Belanda tak kuat berada atau bekerja dalam iklim tropis.

Opsi mendatangkan orang China dilakukan. Hasilnya gemilang. Orang China mampu memainkan banyak peran. Antara lain menjadi tukang kayu, tukang bangunan, pedagang, pengusaha, dan lain sebagainya. Penjajah pun memberikan orang China hak istimewa.

Warga etnis China berdagang kain di Batavia pada masa penjajahan Maskapai Dagang Belanda, VOC. (Wikimedia Commmons) 

Mereka dibiarkan bebas berbisnis tanpa ada kewajiban untuk dinas militer atau ikut berperang. Hak istimewa itu diberikan sembari memberi orang China kewajiban tambahan. Mereka harus membayar banyak pajak, dari pajak kepala hingga pajak hiburan.

Orang China nyaman-nyaman saja dengan kebijakan itu. Kehadiran pajak membuat mereka dapat menjelma sebagai roda penggerak ekonomi Batavia. Sesuatu yang kemudian membentuk simbiosis mutualisme.

Belanda butuh orang China untuk membangun Batavia. Sebaliknya, orang China butuh Kompeni supaya bisnis lancar. Apalagi, kompeni mengangkat seorang Kapiten China untuk mengatur hajat hidup kaum pendatang. Belanda tak lupa menentukan mereka yang menarik pajak dengan cara lelang.

Pajak-pajak itu membuat kas kompeni terisi. Uang pajak lalu digunakan untuk membangun Batavia.

“Pembangunan jalan dibiayai dari pendapatan pajak. Pemerintahan Kompeni mengumpulkan bermacam-macam pajak, seperti Hoofdgeld der Chinezen (pajak per kepala orang China), pajak pasar, pajak kanal, pajak gula, pajak perjudian, pajak pemancingan ikan, pajak pertunjukan wayang (wayang kulit), pajak minuman arak, dan sebagainya. Pembangunan jalan baru dari Batavia ke Tangerang pada 1685, misalnya, dibiayai dengan pajak per kepala orang Tionghoa.”

“Dengan demikian, pendapatan pajak dari wilayah Ommelanden (daerah luar benteng Batavia) digunakan tidak hanya untuk membiayai pekerjaan-pekerjaan infrastruktur di luar tembok kota, tetapi juga untuk membiayai segala macam kebutuhan di dalam Kota Batavia. Pada 22 Maret 1708, pemerintah Batavia mengeluarkan keputusan yang memerintahkan setiap pabrik gula di Ommelanden untuk membayar pajak sebesar 10 ringgit per tahun untuk mendukung pembangunan balai kota baru,” terang Sejarawan Bondan Kanumayoso dalam buku Ommelanden: Perkembangan Masyarakat dan Ekonomi di Luar Tembok Kota Batavia (2023).

Pajak Hiburan Mencekik

Boleh jadi jumlah pajak yang ditarik Kompeni beragam. Namun, pajak yang membawa pemasukan besar, salah satunya berasal dari pajak hiburan. Antara lain pajak wayang, pelacuran, hingga perjudian. Kompeni berani memberi pajak tinggi untuk urusan hiburan.

Semua itu karena Kompeni paham benar dengan terbatasnya hiburan di Batavia. Saban hari ada hiburan, niscaya akan langsung jadi primadona. Ambil contoh perjudian. Hiburan ini kerap digemari seisi Batavia sejak 1620-an. Fakta itu didukung seiring bertambahnya rumah judi di Batavia tiap tahun.

Pajak perjudian pun menjelma menjadi pendapatan nomor dua Kompeni setelah pajak kepala. Kompeni jadi makmur dalam waktu yang lama. Keuntungan itu membuat Belanda kerap menaikkan pajak. Masalah muncul. Urusan ekonomi yang mengalami pasang surut jadi muaranya.

Bisnis orang China tak selamanya baik-baik saja. Kadang kala mereka mengalami kesialan. Ekonomi orang China ikutan merosot. Mereka yang tadinya tak memiliki masalah pajak jadi pusing. Efek dominonya pun menyentuh bisnis hiburan.

Potret aktivitas ekonomi orang China di Batavia era VOC. (Wikimedia Commons)

Rumah judi yang tadinya ramai, bisa jadi sepi. Pajak perorangan maupun usaha mulai dianggap mencekik. Opsi menghadap Kompeni dan minta keringanan dilakukan lewat petisi atau Kapitan China. Kadang Kompeni mendengar. Kadang pula tidak.

Namun, jika tidak ada hasil dan gagal bayar. Satu-satunya opsi paling masuk akal adalah kabur dari Batavia. Mereka mencari daerah lain yang notabene pajaknya tak terlalu tinggi.

“Jumlah orang China hubungannya dengan pasang surut perokonomian kota, oleh karena pajak perorangan yang dibebankan kepada mereka itu. manakala terjadi kemerosotan mendadak dalam perdagangan jung-jung dari China – sumber pendapatan pokok bagi masyarakat pedagang ini – berduyun-duyun orang China meninggalkan Batavia menuju Banten dan Mataram (Jawa).”

“Suatu tempat di mana mereka tidak harus membayar pajak yang sedemikian tinggi. jika terjadi demikian, mereka pun dibujuk agar kembali, dengan menurunkan atau bahkan menghapus pajak perorangan yang berlaku,” terang Sejarawan Leonard Blusse dalam buku Persekutuan Aneh: Pemukim Cina, Wanita Peranakan, dan Belanda di Batavia VOC (1988).