JAKARTA – Memori hari ini, 18 tahun yang lalu, 22 Januari 2006, pemimpin sosialis yang juga tokoh adat, Juan Evo Morales Ayma dilantik jadi Presiden Bolivia. Ia jadi presiden pertama Bolivia yang berasal dari suku asli, Aymara. Kepemimpinannya pun membawa perubahan signifikan bagi seisi Bolivia.
Sebelumnya, kehidupan sebagai petani pernah dirasakan oleh Morales. Narasi itu membuatnya paham benar nasib kaum petani koka yang kerap ditindas penguasa. Ia pun tergerak membela nasib kaum tani.
Kemiskinan dapat jadi pemantik pergerakan. Itulah yang dirasakan oleh Evo Morales muda. Pria kelahiran Isallavi, 26 Oktober 1959 itu saban hari ia menjalani kehidupan sebagai anak petani dari suku Aymara.
Ia mampu bekerja apa saja, dari menggembala hewan hingga membantu tanam-panen. Komoditas tanaman yang tanam warga desanya beragam. Antara lain jagung, padi, hingga koka (bahan utama kokain).
Kehidupannya sebagai petani pun diimbangi oleh ajian menuntut ilmu. Keaktifannya sebagai petani kemudian sempat jeda saat ia menjalani wajib militer dari 1977-1978. Alih-alih selesai wajib militer kehidupan Morales dan keluarganya berubah, nyatanya kehidupan kian sulit.
Ia menyaksikan sendiri bagaimana sulitnya kaum tani yang terkena bencana badai El Nino pada 1980-an. Morales dan keluarganya pun menyerah. Mereka kemudian pindah dari Isallavi ke Chapare. Kehidupan sebagai petani kembali dilakoninya.
Namun, tanaman yang jadi primadona bukan lagi padi, kapas, atau jagung. Koka justru muncul sebagai tanaman primadona. Koka tak hanya jadi bahan utama kokain, tapi juga dapat digunakan sebagai bahan baku sabun, sampo, pasta gigi, dan lain sebagainya.
Fakta itu membuat seisi Chapare melakukan budidaya koka yang menguntungkan. Namun, eksistensi itu diganggu oleh pemerintah Bolivia yang condong kepada AS. Budidaya koka mulai dianggap jadi biang keladi tingginya penyebaran kokain.
Petani koka pun diperangi karena dicurigai ikut berbisnis sebagai pedagang kokain. Kondisi itu membuat Morales berang. Ia yang sudah masuk serikat petani koka menggelorakan penolakan. Ia sebagaimana kaum adat Bolivia lainnya menganggap koka adalah bagian dari elemen kultural dan identitas budaya.
Rakyat Bolivia dianggapnya tak menjadikan dan memproduksi koka sebagai kokain. Narasi tak bisa diganggu gugat. Ragam aksi demonstrasi besar digalakkan oleh Morales. Sesuatu yang kemudian membuat nama Morales melejit. Morales lalu mengajak rakyat melawan ajian pemerintah menjual sumber daya alam –gas dan minyak-- Bolivia dengan murah.
“Dia pindah ke Chapare di mana aktivitasnya sebagai anggota serikat pekerja (dan pesepakbola amatir) membuat Morales tumbuh dalam kepiawaian dan kecerdikan. Dia mengatasi pemukulan, penangkapan, pelecehan rasis, dan pertikaian antar faksi untuk mengambil alih kepemimpinan Partai Gerakan untuk Sosialisme (MAS) – sebuah partai yang terdiri dari para penambang, petani, dan kaum urban sayap kiri – dan memasuki kongres,” tulis Laurence Blair dan Dan Collyns dalam tulisannya di laman The Guardian berjudul Evo Morales: indigenous leader who changed Bolivia but stayed too long (2019).
Morales mulai menancapkan pengaruhnya di dunia politik. Ia mengikuti pemilihan anggota parlemen Bolivia dan berhasil. Kariernya sebagai politikus melejit. Ia mampu membela kepentingan suku asli Bolivia. Ia terus mempertahankan narasi supaya budi daya koka tak diganggu gugat pemerintah.
Ia juga ingin supaya seluruh perusahaan tambang asing yang ada segera di nasionalisasikan. Kondisi itu membuatnya berani maju mengikuti kontestasi politik Pilpres Bolivia 2015. Partai Gerakan untuk Sosialisme jadi kendaraan politiknya.
Bak sudah diramalkan Morales menang. Ia mampu unggul dominan dari lawan-lawannya pada Desember 2005. Kondisi itu membuat Morales menjadi orang nomor satu Bolivia pertama yang berasal dari suku asli. Sebab, sebelumnya Presiden Bolivia didominasi oleh orang keturunan Spanyol.
BACA JUGA:
Kepemimpinan Morales sebagai Presiden Bolivia kian paripurna kala ia resmi dilantik pada 22 Januari 2006. Morales pun segera mewujudkan janjinya. Ia lalu menjelma sebagai salah satu pemimpin terbaik yang pernah memimpin Bolivia.
“Presiden Bolivia Evo Morales memerintahkan militer untuk menduduki ladang energi di seluruh negeri pada hari Senin ketika ia menempatkan cadangan minyak dan gas Bolivia di bawah kendali negara. Ia segera menurunkan militer di ladang minyak yang salah satunya dioperasikan oleh raksasa energi Brasil Petróleo Brasileiro, atau Petrobras.”
“Morales memerintahkan investor asing untuk melepaskan kendali atas semua ladang minyak dan menyalurkan penjualan hidrokarbon di masa depan melalui perusahaan energi milik negara. Dia memberi waktu 180 hari kepada perusahaan asing untuk menegosiasikan ulang kontrak yang ada dengan pemerintah, atau meninggalkan negara itu,” terang Paulo Prada dalam tulisannya di laman The New York Times berjudul Bolivian Nationalizes the Oil and Gas Sector (2006).