JAKARTA - Dentuman suara musik, wanita berbalut pakaian seksi dan temaramnya lampu merupakan suasana yang mendekap setiap orang yang ingin mendapatkan hiburan dan relaksasi dari kepenatan aktivitas sehari-hari. Namun sebentar lagi suasana meriah seperti itu akan berubah menjadi sepi, seperti kuburan akibat kenaikan pajak hiburan yang mencapai 40 persen. Kenaikan yang dinilai mencekik pengusaha dan menimbulkan perbedaan di dua pembantu Presiden Jokowi.
Kenaikan pajak 40 persen yang telah diputuskan oleh Penjabat (Pj) Gubernur DKI Heru Budi Hartono menciptakan reaksi perlawanan yang keras dari pengusaha hiburan. Dengan kenaikan pajak tersebut mengisyaratkan pemerintah pusat ingin mematikan dunia usaha yang telah menjadi sumber pendapatan tertinggi bagi pemerintah daerah.
Ketua Asosiasi Pengusaha Hiburan Jakarta (Asphija), Hana Suryani mengaku sangat kecewa atas kebijakan yang menaikkan pajak hiburan di Jakarta. Dia menegaskan seharusnya sebelum menetapkan kebijakan itu, pemerintah daerah atau pusat mengadakan riset dengan turun ke akar guna mengetahui kesullitan yang sedang dihadapi pengusaha di dunia hiburan.
"Seharusnya mereka pakar-pakar dari negara ini yang turun ke akar rumput, membuat kajian untuk dasar penerapannya apa kenaikan pajak ini. Kami sebagai pengusaha tidak pernah dilibatan sejak pengkajian awal. Perlu diketahui hidup kami saat ini berdiri di atas hutang. Sebelum pandemi saja kami sudah berhutang. Hutang kemarin belum selesai sudah ditambah lagi masalah dengan kenaikan pajak seperti ini, "katanya kepada VOI, Selasa, 23 Januari.
Hana membandingkan penetapan pajak hiburan di Indonesia dengan beberapa negara tetangga baik tingkat ASEAN maupun Asia. Menurut dia, penetapan pajak di Indonesia meerupakan yang paling tinggi di seluruh negara di Asia.
"Itu sebabnya dunia hiburan di sini tidak berkembang. Negara-negara di sekitar kita itu seperti Thailand, Malaysia, Singapur semuanya memiliki pajak hiburan yang rendah. Malaysia sendiri turun jadi 10 persen, Thailand jadi 5 persen, dan terbukti itu melesat," jelasnya.
Penyanyi Inul Daratista selaku pemilik usaha rumah karaoke mengaku keberatan atas kenaikan pajak sebesar itu. Menurut dia sebelumnya karaoke dikenakan pajak sebesar antara 10% hingga 25% masih masuk akal. Kini menjadi 40 % hingga 75% untuk batas atasnya. Hal ini dianggap sebagai upaya secara tidak langsung sebagai pembunuhan usaha hiburan.
Bila ditelusuri pangsa pasar hiburan ini bukan lagi kalangan elit dan mewah. Pangsa pasar hiburan ini adalah Generasi Z bahkan kalangan yang lebih muda, yang kemampuan keuangannya terbatas. Menururnya penetapan pajak hiburan hingga 40% jika ditotal dengan pengenaan pajak-pajak lainnya nilainya bisa mencapai 100%.
"Balum lagi kondisi perekonomian yang masih tertatih akibat hantaman pandemi covid dan saat ini baru merangkak. Kami melihat kenaikan pajak ini sebagai bentuk ketidakpedulian pemerintah kepada pengusaha. Untuk itu sebagai pengusaha hiburan, saya menyatakan menolak kenaikan itu,"katanya kepada VOI.
BACA JUGA:
Suara Dua Pembantu Jokowi yang Berbeda
Kegaduhan akibat UU Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD) ini ternyata menimbulkan perbedaan pendapat di internal Kabinet Indonesia Maju. Perbedaan pendapat dua pembantu Jokowi itu terjadi antara Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan dan Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan mengungkapkan bahwa pemerintah akan menunda penerapan pajak hiburan sebesar 40 hingga 75 persen.
Luhut menyatakan, pihaknya sudah mengumpulkan beberapa instansi terkait untuk membahas penundaan kenaikan pajak hiburan tersebut.
“Ya memang kemarin saya justru sudah dengar itu dan saya langsung kumpulkan instansi terkait masalah itu. Termasuk Pak Gubernur Bali dan sebagainya. Jadi kita mau tunda dulu saja pelaksanaannya,” ujar Luhut dalam akun instagram pribadinya.
Dia menegaskan, kebijakan tersebut tidak hanya dari pemerintah saja, melainkan juga melalui pembahasan bersama Komisi XI DPR RI. Oleh karena itu, aturan tersebut akan dievaluasi kembali. “Kemudian juga ada uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK), saya pikir itu harus kita pertimbangkan,” imbuhnya.
Menurut Luhut, tempat hiburan tidak bisa hanya dilihat dari diskotik saja, melainkan pedagang-pedagang kecil yang ikut berjualan makanan dan minuman juga akan terdampak dari kebijakan tersebut. Selain itu, dia juga tidak melihat ada urgensi untuk menaikkan pajak hiburan yang dimaksud.
“Saya kira saya sangat pro dengan itu dan saya tidak melihat alasan untuk kita menaikkan pajak dari situ,” tandasnya.
Tapi, Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto mengatakan bahwa pemerintah tetap menaikkan pajak hiburan hingga paling tinggi 75 persen. Sebab, sektor pariwisata dirasa sudah mulai membaik, dengan insentif fiskal diberikan guna mendukung kemudahan investasi. Namun, dia menyebut pemerintah akan memberikan sejumlah insentif fiskal.
Dia mengungkapkan, sebelum berlakunya UU HKPD, berdasarkan UU 28/ 2009 sudah ada beberapa daerah yang menetapkan tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa sebesar 75 persen (Aceh Besar, Banda Aceh, Binjai, Padang, Kota Bogor, Depok), sebesar 50 persen (Sawahlunto, Kab Bandung, Kab Bogor, Sukabumi, Surabaya), sebesar 40 peresn (Surakarta, Yogyakarta, Klungkung, Mataram).
Airlangga menjelaskan bahwa terkait insentif fiskal, Pasal 101 UU HKPD telah memberikan ruang kebijakan untuk pemberian insentif fiskal guna mendukung kemudahan berinvestasi, berupa pengurangan, keringanan, dan pembebasan atau penghapusan pokok pajak, pokok retribusi, dan/atau sanksinya.
Insentif fiskal ini dapat diberikan oleh kepala daerah dengan pertimbangan antara lain untuk mendukung dan melindungi usaha mikro dan ultra mikro, mendukung kebijakan pencapaian program prioritas daerah atau program prioritas nasional.
Pemberian Insentif Fiskal ini ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah (Perkada), dengan memberitahukan kepada DPRD. Dengan ruang regulasi pada Pasal 101 UU HKPD, Bupati/ Walikota dapat menetapkan tarif yang lebih rendah dari 75 persen atau bahkan lebih rendah dari batas minimal 40 persen.
“Penerapan insentif fiskal dilaksanakan sesuai karakteristik wilayah, dengan pertimbangan budaya dan penerapan syariat Islam (seperti di Aceh), sehingga beberapa daerah tetap dapat meneruskan tarif pajak yang ada, sedangkan daerah yang berbasiskan pariwisata dapat menetapkan tarif sebagaimana tarif pajak sebelumnya,” beber Airlangga.
Dia menegaskan, Presiden Joko Widodo juga sudah turun tangan untuk mengatasi kegaduhan pajak hiburan dengan menggelar rapat internal 19 Januari lalu. Salah satu keputusannya terkait Insentif Fiskal adalah bahwa pemerintah akan memberikan Insentif Fiskal terhadap PPh Badan atas Penyelenggara Jasa Hiburan.
"Di mana untuk sektor pariwisata akan diberikan berupa pengurangan pajak dalam bentuk pemberian fasilitas Ditanggung Pemerintah (DTP) sebesar 10 persen dari PPh Badan, sehingga besaran PPh Badan yang besarnya 22 persen akan menjadi 12 persen," tutupnya.