Bagikan:

JAKARTA – Memori hari ini, sembilan tahun yang lalu, 28 Januari 2015, pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) memasuki 100 hari. Kepemimpinan Jokowi dianggap jauh dari harapan. Banyak yang menganggap janji politik Jokowi selama kampanye Pilpres 2014 belum berjalan maksimal.

Sebelumnya, Jokowi adalah sosok politikus populer dalam peta politik Indonesia. Kesederhanaan Jokowi ada di balik. Ajian itu membuat Jokowi mampu merebut hati warga Solo, kemudian Jakarta.

Jokowi adalah sosok politikus yang tak dapat dianggap remeh. Eksistensi Jokowi sudah dirintis sejak menjabat Wali Kota Solo dua periode, dari 2005-2012. Prestasi Jokowi itu membuat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) kain kepincut.

Mereka ambil bagian membawa Jokowi dari Solo untuk berlaga pada Pilgub Jakarta 2012. Hasilnya gemilang. Jokowi mampu terpilih sebagai Gubernur DKI Jakarta yang baru. Semenjak itu Jokowi mulai banyak mendapatkan sorotan. Jokowi menjelma sebagai media darling.

Presiden Jokowi berpidato dalam sebuah kesempatan. (Facebook Joko Widodo)

Tindak-tanduknya membenahi Jakarta kerap jadi berita. Aksi blusukan dan kesederhanaan Jokowi jadi ajian yang paling menonjol. Segenap rakyat Indonesia pun kepincut dengan sosok Jokowi. Popularitas Jokowi yang kian meningkat membuat segenap kader PDIP bergerak cepat.

Mereka ingin jadikan Jokowi sebagai capres yang berlaga pada Pilpres 2014. Jokowi dianggap jaminan untuk memenangkan kontestasi politik sekelas Plipres. Apalagi, Jokowi memiliki catatan tak pernah kalah dalam kontestasi politik.

Puncuk dicinta ulam tiba. PDIP mengusung Jokowi yang kemudian berpasangan dengan Jusuf Kalla sebagai capres dan cawapres. Pasangan itu akan menghadapi kandidat lainnya, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.

Kubu Jokowi dan JK pun mulai mempersiapkan rangkaian program dan janji politik tepat guna. Revolusi Mental jadi tema utama program politik Jokowi-JK. Hasilnya gemilang. Segenap rakyat Indonesia kemudian memilih Jokowi-JK sebagai Presiden Indonesia yang baru.

Presiden Jokowi dalam sebuah kegiatan internasional yang dia ikuti. (Facebook Joko Widodo)

“Tema utama kampanye Jokowi-JK 2014 yang mengusung ‘Revolusi Mental’ dapat diartikan bahwa pemerintahan menempatkan penduduk sebagai isu sentral pembangunan lima tahun ke depan Karena sesungguhnya, mental penduduklah yang diharapkar akan mengalami revolusi melalui berbagai intervensi kebijakan yang tepat. Peluncuran Program Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kartu Indonesia Sehat (KIS), dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) tidak hanya untuk mengangkat kualitas hidup penduduk miskin dan rentan, tetapi juga dapat menjadi instrumen utama dalam revolusi mental.”

“Namun, kita perlu menyadari bahwa pembentukan mental dan karakter manusia berawal dari keluarga. Keluarga didefinisikan sebagai unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri atas suami istri, atau suami, istri, dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya (mengacu pada UU No. 52/2009). Undang-undang tersebut menempatkan keluarga sebagai wahana pertama dan utama dalam membangun kualitas jasmani dan rohani setiap individu manusia,” terang Sonny Harry B. Harmadi dan Riant Nugroho dalam buku Population Policy: Praktik dan Tantangan (2020).

Keberhasilan Jokowi jadi orang nomor satu Indonesia membawa harapan baru. Seisi Indonesia berharap Jokowi mulai menjalankan janji kampanye. Antara lain urusan penegakan hukum hingga mensejahterakan rakyat Indonesia.

Nyatanya, segenap rakyat Indonesia bak memasang ekspektasi terlalu tinggi. Kepemimpinan 100 hari Jokowi yang jatuh pada 28 Januari 2015 dianggap jauh dari harapan. Penegakkan hukum, apalagi perlindungan HAM seakan jalan tak ke mana-mana. Rakyat Indonesia pun berharap kedepannya Jokowi akan semakin baik dan pro rakyat.

"Padahal ekspektasi terhadap Jokowi begitu tinggi. Selain karena sosoknya, juga saat pilpres lalu ia mengkomunikasikan Nawacita dengan begitu indah: penegakkan hukum, perlindungan HAM, pemberantasan dan lain-lain."

"Selain itu, yang jadi masalah adalah efek dari sejumlah kebijakan kontroversial Jokowi itu sangat besar. Eksekusi terhadap sejumlah terpidana mati, padahal pendahulunya justru melakukan moratorium hukuman mati. Kemudian pengajuan calon Kapolri bermasalah disusul kekisruhan politik dan hukum sampai sekarang ini. Efeknya sangat basar," terang peneliti dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Bivitri Susanti sebagaimana dikutip laman BBC Indonesia, 28 Januari 2015.