Bagikan:

JAKARTA – Memori hari ini, 33 tahun yang lalu, 22 November 1990, Perdana Menteri (PM) Inggris, Margaret Thatcher mengumumkan pengunduran dirinya. Keputusan itu diambil untuk menyelamat nasib Partai Konservatif. Pun karena Thatcher dirasa banyak melanggengkan kontroversi.

Sebelumnya, kepemimpinan Thatcher banyak dipuja. Ia dielu-elukan dunia sebagai juru selamat ekonomi Inggris. Ia dijuluki pula sebagai Iron Lady. Semua itu karena keberanian Thatcher melanggengkan mengangkat derajat perekonomian Inggris.

Keberuntungan kerap mengiringi mereka yang hidup dalam keluarga kelas menengah di Inggris. Margaret Hilda Roberts yang kemudian dikenal Margaret Thatcher, misalnya. Ia mampu tumbuh jadi anak cerdas. Narasi itu karena orang tua Thatcher mampu mendanai pendidikannya.

Thatcher pun tak ingin menyia-nyiakan kesempatan bersekolah. Apalagi keluarganya kerap memastikan Thatcher mendapatkan pendidikan terbaik. Thatcher pun disokong orang tuanya untuk belajar di Universitas Oxford pada 1943. Ia mengambil jurusan ilmu kimia.

Pendidikannya berjalan mulus. Ia mampu lulus dalam empat tahun dan segera bekerja sebagai peneliti di perusahaan plastik lokal di Essex. Namun, fokus Thatcher tak hanya menghabiskan waktu untuk bekerja saja. Ia terus menunjukkan ketertarikannya dalam dunia politik.

Perdana Menteri Inggris, Margaret Tatcher di kantornya Downing Street 10, London. (Art Photo Limited)

Thatcher kerap mengikuti agenda kegiatan Partai Konservatif Inggris. Eksistensi itu membawakan hasil. Argumentasi yang menggelegar dan penalarannya dalam tiap debat mampu diperlihatkan Thatcher. Partai Konservatif pun kepincut menjadikan Thatcher sebagai kadernya.

Pinangan itu diterima Thatcher pada 1950-an. Upaya itu membawakan hasil. Ia berhasil duduk dalam Parlemen Inggris pada 1960-an. Karier kian moncer. Ia tak mengambil pusing jika lawan politiknya adalah Partai Buruh. Ia mampu membawa Partai Konservatif menang Pemilu.

Ia mampu menjadikan partainya sebagai kendaraan politik yang ampuh untuk memperoleh jabatan tinggi. Dari menteri, kemudian PM Inggris pada 1979. Semenjak itu ia melanggengkan kebijakan yang terkenal. Thatcherisme, namanya.

Kebijakan itu membuat Inggris mampu mengadopsi iklim pasar bebas hingga privatisasi perusahaan negara. Thatcher pun berani menggelorakan Perang Falkland melawan Argentina pada 1982.

“11 tahun yang lalu kami menyelamatkan Inggris dari keadaan buruk yang diakibatkan oleh sosialisme. Sekali lagi Inggris berdiri tegak di dewan-dewan Eropa dan dunia. Selama dekade terakhir, kami telah memberikan kembali kekuasaan kepada rakyat dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya.”

“Kami telah mengembalikan kendali kepada rakyat atas kehidupan mereka sendiri dan penghidupan mereka. Kami melakukan hal ini dengan mengekang kekuatan monopoli serikat pekerja untuk mengontrol, bahkan menjadikan pekerja sebagai korban dalam pengambilan keputusan yang paling penting bagi mereka dan keluarga mereka,” terang Thatcher sebagaimana dikutip Craig R. Whitney dalam tulisannya di surat kabar The New York Times berjudul Change in Britain: Thatcher Says She’ll Quit (1990).

Presiden Soeharto berbicang dengan Perdana Menteri Kerajaan Inggris, Ny. Margaret Thatcher dalam kunjungan kenegaraan di Istana Merdeka, Jakarta, Selasa petang (9/4/1985). (Antara)

Serangkaian kebijakan itu membuat Thatcher kian populer. Ia mampu membawa Inggris maju. Sekalipun harus mengorbankan nasib kaum buruh. Ia pun dibenci karenanya. Thatcher tak terlalu ambil pusing. Semuanya karena kehadiran uang yang banyak dapat menangani segala masalah yang dimiliki Inggris. Dari konflik hingga krisis.

Belakangan, narasi itu membuat rakyat Inggris berang. Apalagi, kala Thatcher mulai mencari ceruk baru untuk pendapatan negara. Thatcher menggelorakan kebijakan untuk seluruh warga dewasa Inggris wajib pajak.

Kebijakan itu diramalkan dapat menyelamatkan ekonomi rakyat Inggris pada era 1990-an. Namun, jauh panggang dari api. Rakyat banyak berteriak. Thatcher pun didesak untuk mundur. Opsi itu dianggap dapat menyelamatkan wajah Partai Konservatif di masa depan.

Ragam tekanan itu diamini oleh Thatcher. Ia pun mengumumkan pengunduran dirinya pada 22 November 1990. Keputusan itu membuat dua respons. Ada yang kaget dan ada yang bersyukur. Thatcher pun baru paripurna bebas tugas dari kursi PM Inggris pada 28 November 1990.

“Untuk pertama kali, PM Margaret Thatcher, yang sudah 11 tahun malang melintang di panggung politik, terancam. Tekanan agar Thatcher mengundurkan diri makin kuat di kubu Partai Konservatif, tempat ia berasal. Konon, para pentolan partai yang berkuasa kini sedang gencar mencari PM baru. Michael Heseltine bekas Menhan Inggris yang meninggalkan kabinet pada 1986, disebut-sebut sebagai calon kuat.”

“Pengungkapan hasil pengumpulan pendapat menunjukkan makin besarnya pihak yang kecewa pada gaya pemerintahan Thatcher. Terlebih setelah keputusan pemerintah memberlakukan pajak bagi seluruh warga dewasa Inggris sebagai kewajiban lokal. Diperkirakan, 20 juta pemuda Inggris untuk pertama kalinya harus membayar pajak, yang mulai berlaku 1 April depan. Pajak inilah yang ditentang hebat oleh mayoritas rakyat Inggris. Bahkan juga oleh para pendukung Thatcher. Di tengah kegagalan suku bunga tinggi mencegah naiknya tingkat inflasi (kini mencapai di atas 8%), ketentuan pajak baru dinilai sangat mencekik,” tertulis dalam laporan Majalah Tempo berjudul Tekanan untuk Mundur (1990).